it happen

12 1 2
                                    

  Cuaca sejuk hutan tidak lagi terasa, pohon pohon yang tingi menjadikan langit luas hanyalah berupa bayang-bayang gelap, hanya sesekali terlihat kerlip sinar matahari yang dengan takut mengintip apa yang sedang terjadi

 "Dor.. Dor.." suara senjata api kembali terdengar memecah kesunyian hutan, entah untuk keberapa kalinya, kepak sayap burung ketakutan terdengar dikanan kiri dua anak yang kini mulai menambah kecepatan larinya menaiki bukit, nafasnya terengah-engah, peluh mengalir deras membasahi tubuh, kakinya terasa panas dengan luka gores di sekujur tubuhnya, otot betisnya seakan hapir pecah saking kerasnya, segerombolan pria dengan senjata laras di tangannya berlarian mengejar mereka setelah dengan ganas menyiksa dan membunuh kedua orang tuanya, dari tempat persembunyiannya beberapa saat yang lalu yang terlihat adalah tubuh ibunya dengan kondisi kedua kaki dan tangannya di ikat dengan tali dan buntalan kaos kaki besar berada di mulutnya, pisou bedah menancap tipis di perut orang tuanya itu,

orang yang lebih tingi lagi botak dari kesemuanya dengan perlahan menarik kesamping pisou itu hingga mendekati ujung tulang punggung, tubuhnya menggelliat layaknya cacing di atas tanah, matanya terpejam dengan semua otot yang menegang menahan sakit, darah segar menyembur mengalir ke segala arah, tanah tandus yang sebelumnya adalah alas bagi tubuh korban berubah menjadi genangan darah yang kini hampir mengenai seluruh tubuh korban, usus putih bercampur darah perlahan menyeruak keluar diantara daging yang hampir terbelah menjadi dua, air matanya menetes menggantikan jeritan yang tidak lagi bisa di dengar, sedang ayahnya terbujur kaku dengan luka tembak tepaat di tengah wajahnya, kesepuluh jarinya hancur menjadi potongan daging cincang dengan kulit lengan yang terpisah dari daginnya.
Bau amis kini memenuhi udara, menembus semak belukar tempat kedua anak itu bersembunyi, detik demi detik yang terlewati adalah tragedi yang takan terlupa sepanjang hidupnya, tubuh keduanya gemetar dan matanya melotot menyaksikan kengerian atas apa yang dilihatnya, dylan yang tertua dari keduanya merelakan jari manis kirinya untuk patah karena digigit adiknya menahan emosi, dia sendiri hampir memotong lidahnya sendiri karena menahan rasa ingin berteriak, entah berapa banyak air mata yang telah keluar, seakan air mata telah habis dari sumbernya, pipinya terasa kering dalam kondisi wajah yang basah, dalam hati kecil ingin sekali dia berlari keluar dari tempatnya sekarang dan membakar mereka semua,namun apa daya, bahkan untuk tetap dalam keadaan sadar dibutuhkan usaha yang sangat besar
.
 Kini keduanya sampai di ujung bukit nafasnya terengah-engah dan tengorokannya terasa kering, tubuh kecil dylan membungkuk untuk mengambil nafas sedang adiknya sudah terpuruk menyentuh tanah saking capeknya,nampak tangan kecil adiknya memegang lembut luka di kaki kanan kakaknya, medan miring tempat mereka bersembunyi saat melihat penyiksaan atas orang tuanya membuatnya terperosok jatuh, hal itu juga yang membuatnya bisa sampai di atas bukit, suara yang keluar karena reflek kaget mengalihkan fokus para segerombolan sikopat itu, hingga akhirnya segerombolan itu menyadari dan memburunya.

  Dengan sedikit harapan, keduanya menghabiskan waktu istirahatnya walou sebentar. Angin sore berhembus dengan syahdunya, seakan tidak peduli dengan apa yang terjadi, mereka turun dari awan yang tinggi dan menghilang begitu saja, benar, sekalipun bernafas adalah wajib bagi mereka yang bernyawa, rasanya begitu berat saat tahu bahwa ambang hidup dan mati terlihat beberapa langkah dekatnya dari pandang mata.

  Dylan menghembuskan nafasnya yang berat untuk kesekian kalnya, di lihatnya bekal bungkusan dari ibunya yang kini telah habis, dalam diam, fikirannya melayang, teringat kembali dongeng tudung merah yang dulu sering di ceritakan ibunya kala hendak tidur,tiap kali dongeng itu selesai, dengan lembut ibunya mengatakan bahwa "mereka yang hanya memiliki gelapnya hutan dalam hatinya adalah srigala yang lebih ganas dari bangsanya, mereka memiliki api tanpa tahu apa itu panas, mereka akan menggigit, mencabik bahkan tanpa segan memakan sesamanya sampai tak tersisa, mereka yang bahagia atas kematian tanpa tahu arti dari kematian" air mata menetes dengan sendirinya, menyadari bahwa kenangan itu telah menjadi kenangan seutuhnya tepat di depan matanya, seberapapun inginnya dia untuk untuk membakar orang-orang itu, tangan kecilnya hanya mampu untuk menusap air matanya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 08, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BE GONESWhere stories live. Discover now