Air itu bergelombang saat kami lemparkan batu. Kami sangat menyukainya, kami sering bermain di sungai ini. Dan yang paling kami sering mainkan yaitu memantulkan batu di air. Hingga batu itu memantul-mantul di atas permukaan air. Kami sering bertaruh, jika salah satu dari kami menang, maka dia berhak meminta yang kalah untuk melakukan satu hal dan yang kalah tidak boleh menolaknya.
Dari beberapa batu yang sudah kulempar, hanya tiga batu yang memantul. Sedangkan Zaara, dia memang hebat dia berhasil memantulkan delapan batu. "Jadi, siapa yang menang kali ini?" Tanya ayahku. Dia ayahku, tetapi dia memperlakukan Zaara seperti putri kandungnya, bahkan terkadang aku pun tidak diperlakukan seperti itu. Mungkin, ayahku yang sering ku panggil baba itu, tidak pernah menganggapku anaknya. Karena istrinya yang cantik telah hilang nyawanya karena aku. Ya, ibuku yang belum pernah kulihat rupanya itu meninggal saat melahirkanku.
Banyak orang bilang, kecantikan ibuku tidak ada yang menandinginya. Selain rupanya yang cantik, elok juga wataknya. Ibuku orang terpandang di daerah ini. Beliau mapan, cerdas, berkarisma, dan cantik. Gelar kembang desa pun disandang olehnya.
"Kali ini aku yang memenangkannya paman," jawab Zaara yang menunjukkan lesung pipitnya. "Wah, manisnya Zaara," ujar Baba sembari menyentuh lesung pipipitnya Zaara. "Kau memang anak yang berbakat. Kau hebat Zaara." Sambung Baba lagi.
"Dia memenangkannya tiap kali Baba. Lagipula apa pula hebanya bakat seperti itu?" tanyaku kesal. Untuk yang kesekian kalinya, hal ini terulang lagi. Zaara menang, lalu ayah memuji Zaara dan aku kembali menunjukkan ekspresi sebal. Cemberut.
"Haha, Taani. Kau memang masih kecil. Bakat adalah kemampuan. Dan Zaara memiliki kemampuan yang luar biasa. Bakat ini jarang sekali ada orang yang memilikinya. Kau saja tidak punya bakat seperti ini kan Taani?"
"Bakatku lebih istimewa dari bakatnya Zaara." tukasku dengan ketusnya. "Apa itu putriku sayang? Bakatmu kan hanya bisa marah-marah." Goda baba padaku. Aku kesal, dan aku pergi meninggalkan sungai. Baba memang selalu seperti itu, dia akan melupakanku saat ada Zaara di dekatnya.
"Hei Taani, kau mau kemana? Aku kan belum meminta hadiahku?" Ujar Zaara yang menghentikan langkahku. Tanpa membalikkan badan, aku berteriak "Baiklah apa maumu?"
"Aku ingin kau meminta sesuatu dariku." Ujar Zaara dengan lembutnya.
Aku lalu membalikkan badanku sembari menatap Zaara dengan tidak suka. "Aku minta ayahku!" Kemudian aku berlari sekencang-kencangnya dari tempat ini. Untuk saat ini, aku ingin sendiri. Aku ingin tidak ada dua manusia menyebalkan itu untuk sementara ini. Dan selalu seperti ini akhir dari permainan ini.***
"Hiks, he hates me aunti. He hates me," aku biasa menangis hanya pada aunti saja. Dia adik dari Baba. Dia lama menetap di Amerika. Jadi sedikit-sedikit aku belajar bahasa Inggris darinya.
"No, he doesn't hate you my darling. He loves you. He loves you very much," aunti berusaha menghiburku sembari menyeka air mataku.
"If he loves me. Why does he love Zaara too? I am his daughter. He also said there is no anyone who can replace me in his heart. He lie me." Aku menumpahkan segala kekesalanku padanya, belum selesai aku menangis ada seseorang yang mengetuk pintuku.
"Taani, boleh Baba masuk?" ujar Baba dengan nada yang pelan. "Nah, itu Babamu. Sudah auntie bilang kan, Baba sayang Taani. Auntie buka pintunya nya," kemudian bibiku pun menuju pintu dan membukanya.
"Ah, Salim. Untung kau datang, putrimu yang cantik itu menangis lagi, pusing aku," ujar bibiku sembari melihatku yang cemberut. "Haha, itu sudah biasa Salima. Tapi, bukankah bonekaku terlihat lucu saat cemberut? Terimakasih sudah mencoba menghibur bonekaku Salima," ujar Baba. "Baiklah, aku pergi dulu Salim. Jaga bonekaku ya Salim. Permisi," bibi pun kemudian pergi meninggalkan kamarku yang kini hanya menyisakan aku dan Baba.
Baba kemudian menuju ranjangku, tempat aku duduk. Aku membuang muka pada Baba. "Hallo tuan puteri, apakah kau melihat sesuatu?" Tanya Baba mencoba untuk menghiburku. Namun, aku bergeming seperti es.
Baba kemudian mengambil salah satu boneka barbie ku. "Hallo cantik, apakah kau mau membantuku? Aku kehilangan sesuatu. Maukah kau mencarinya?" Baba bertanya pada bonekaku. Aku heran, aku pun melirik Baba, memerhatikannya lamat-lamat. Namun Baba mengetahui aku memerhatikannya, dengan segera aku mengalihkan pandanganku pada jendela kamarku.
"Hei boneka, aku sudah hampir melihatnya! Tetapi, dia menghilang lagi! Ayo bantu aku untuk menemukannya lagi!" Ujar Baba lagi pada boneka barbie ku. Aku melirik Baba dan memalingkan wajahku segera karena Baba menatapku juga.
"Yah, boneka! Sepertinya aku sudah benar-benar kehilangannya. Itu benar-benar menyedihkan ya!" Baba menatap sedih ke boneka yang kini dipeluknya erat.
"Memangnya apa sih yang Baba cari?" Akhirnya aku mengalahkan egoku. Saat itu aku masih 6 tahun. Dan saat itu lupa kupikir Babaku mulai gila.
"Jika Baba beri tahu apa yang Baba cari, apakah puteri Baba yang cantik akan memberikannya?"
Aku mengernyitkan dahiku tak mengerti. "Apa yang Baba mau?" Dengan polosnya aku mengatakan hal itu. "Yang Baba mau adalah ini," ujar Baba sembari mengelitiku. Aku tertawa geli bersama Baba.
KAMU SEDANG MEMBACA
mungkin esok tiada
General Fictiontersenyumlah, tertawalah, bersamalah, maafkanlah, karena bisa jadi besok tiada.