Segera, setelah Baba menemukan apa yang dicarinya--senyumanku-- Zaara mengetuk pintu kamarku. "Masuk saja Zaara," tanpa disuruh dua kali, Zaara langsung membuka pintu dan memasuki kamarku.
Zaara mematung sepuluh langkah dari jarakku duduk bersama Baba. "Zaara, ayo kemari, duduk dipangkuan Baba," senyum simpul terlukis diwajahnya. Tatapannya menyiratkan kasih sayang. Saat itu aku belum mengerti arti tatapan itu. Zaara menurut, lantas duduk disebelah Baba. Zaara menatapku dengan takut, mungkin karena aku mendelikkan mataku. Digenggamnya begitu erat seprai kasurku."Taani, kau masih sebal ya?" tanya Baba sembari merangkul pundakku. Aku tidak menghiraukannya. Baba tersenyum. "Taani dan Zaara. Kalian bersaudara. Kalian sama-sama puteriku." Lanjutnya.
"Benarkah? Lalu mengapa Zaara mempunyai 2 ayah?" tanyaku. "Taani, saudara lebih dari itu nak, kau akan mengerti," jawab baba. Ada guratan sendu di wajahnya. Saat itu, aku tidak memerdulikannya. "Ayo, sebagai sahabat dan saudara. Kalian harus selalu bersama. Bermainlah habiskanlah waktu bersama. Karena siapa tahu esok tiada, "***
Kami bermain berjalan-jalan mengelilingi desa. Kekesalanku hilang saat Zaara mengatakan maaf dengan polosnya. Kemudian menyerahkan tangannya untuk berjabat denganku. Manisnya Zaara, yah kuakui dia lebih baik daripada aku. Seulas senyum terlukis pada wajah kami saat kami berjabat tangan dan berpelukan setelahnya."Zaara, aku bosan. Aku lelah berjalan terus," keluhku sembari duduk di bawah naungan pohon yang rindang dan beralaskan rumput hijau yang segar. Zaara menyusul duduk di sampingku. Dia menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan. "Sejuk dan segar sekali suasana di sini, kalau seperti ini, aku mau mempunyai rumah pohon di sini. Untuk kita bermain, kau juga mau kan Taani?" tanya Zaara yang kemudian dibalas dengan anggukanku.
Mata kami menyapu pemandangan yang terhampar dengan indah di depan kami. Begitu sejuk mata memandang. Hijau bersih nan asri. Ingin rasanya mengabadikan momen ini sebagai potret. Sejenak aku menutup mata untuk mengenang lukisan alam ini.
BUK! Sebuah bola kasti tepat mengenai kepalaku. Sontak aku membuka mata untuk melihat siapa pelakunya yang entah dengan sengaja atau tidak telah membuat bola kastinya mengenai kepalaku. Setelah aku membuka mataku dengan sempurna, di retina mataku terlihat bayangan musuhku yang paling nakal sejagat raya. Dia adalah Ameer, laki-laki yang paling aku benci seumur hidup. Aku bersumpah, aku sangat membencinya.
"Hei, Ameer! Jika ingin melempar bola lihat-lihat dulu! Kau ini selalu saja membuat masalah!" Aku mengucapkannya sembari mengaduh tertahan, aku tidak mau terlihat cengeng di depannya meskipun dengan setengah mati aku menahan air mataku yang ingin keluar. Demi melihat itu, Zaara kemudian mengusap kepalaku lembut supaya dapat meredam rasa sakitku.
"Apa Taani? Seharusnya dirimu yang menghindar! Sudah tahu ada bola, kau malah asyik bersandar dan memejamkan mata di pohon tua itu! Dasar anak setan!" Ameer malah menyalahkanku. Dan kata-kata terakhir yang dilontarkannya itu sangat menyakitiku. "Kau yang salah Ameer! Tempat ini milik semua orang. Dan aku berhak menyandarkan tubuhku di sini. Kalian seharusnya berhati-hati jika bermain di sini. Karena bukan hanya kalian yang ada di sini!" balasku juga tak mau kalah.
"Sudah-sudah! Ameer kau yang salah, ayo minta maaf kepada Taani," Zaara berusaha menengahi. "Baiklah! Aku akan meminta maaf, tapi dengan ini!" Ameer mulai menyerang kami lagi dengan bola-bola kastinya. Ameer dan teman-temannya melempar bola-bola kasti kepada kami. Tujuan utamanya adalah aku. Aku yakin itu. Bola kasti itu mendekat ke arahku. Entah kenapa kakiku menjadi lumpuh seketika dan mulutku malah lebih memilih berteriak dan dengan spontan tanganku menutupi wajahku. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi percayalah kalian juga akan melakukan hal bodoh ketika dalam keadaan panik.
BUK! Bola kasti sudah mengenai sasarannya. Tetapi, tidak ada satupun bagian tubuhku yang merasakan sakit. Aku heran, kuturunkan tangan yang sedari tadi menutupi wajahku. Astaga! Bola itu malah mengenai Zaara. Zaara melindungi aku. Dia rela bola kasti mengenainya daripada aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
mungkin esok tiada
General Fictiontersenyumlah, tertawalah, bersamalah, maafkanlah, karena bisa jadi besok tiada.