Part 2

12.9K 910 5
                                    

Cinta.., mengapa sulit untuk kuberkata
Namun, teramat mudah untukmu bertahta
Tumbuh subur meraja di dada.

RD

~|~

"An... nanti sore jadi kerja kelompok kan? Tugas kita nanggung nih, tinggal dikit lagi." Tanya Arya.

"Boleh, tapi jangan lama-lama ya. Aku lagi flu nih, pusing. Lagian bentar lagi ujian nasional kok ya masih ada tugas kaya gini sih?" Keluh Ana, disertai bersin.

"Kamu pasti kelamaan lihat langit malam ya? Masuk angin tuh, An. Jadi beli kamera itu?" Tanya Givi kepada sahabatnya itu.

Ana menggeleng perlahan, uang tabungannya memang lebih dari cukup untuk membeli kamera yang diinginkannya, tapi lebih baik disimpan untuk keperluan kuliahnya kelak.

Diam-diam Arya mendengarkan pembicaraan dua gadis ini. Yang dia tahu, Ana sangat tertarik pada astronomi dan fotografi. Beberapa kali Ana bahkan dipercaya untuk food photography. Hasilnya bagusss. Tampak natural, seperti di buku resep yang sering ada di toko buku.

Arya sungguh kagum pada Ana, sudah bisa menghasilkan uang dari hasil keringatnya sendiri. Tidak sepertinya yang masih saja tergantung pada papa mamanya. Yaah mau bagaimana lagi, sebagai anak lelaki satu-satunya dan anak bungsu dari tiga bersaudara, dia amat dimanja.

Sepulang sekolah, mereka langsung ke rumah Givi untuk menyelesaikan tugas sekolah mereka. Beberapa kali Ana bersin, matanya berkunang dan dia merasa ngantuk. Mungkin efek kurang tidur beberapa hari ini karena sedang tidak enak badan.

"Nih, milo hangat sama mie cup kesukaanmu. Baru banget aku buatin." Segelas milo hangat dan satu cup mie instant muncul di depan wajah Ana. Membuatnya tersenyum melihat dua hal itu. Ana mendunga, dan melihat siapa pemberinya. Arya.

"Kamu tiduran dulu aja gih di sofa, bentar lagi selesai kok. Ntar kalau mau pulang aku bangunin." Kata Arya bijak, kasihan melihat Ana yang tak henti bersin. Ana mengangguk dan segera menuju ke sofa di ruang tamu rumah Givi.

Di mobil Arya, saat perjalanan pulang, Ana kembali melanjutkan tidurnya. Rumah Givi cukup jauh dari rumahnya dan Arya, yang ada di pinggiran kota. Jadi lumayanlah untuk melanjutkan tidur.

Sudah sampai di depan rumah Ana. Arya menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang rumah Ana. Halamannya luas dan hijau karena pepohonan.

Arya tak tega membangunkan Ana. Dipandanginya wajah di sebelahnya yang sedang tertidur. Siluet yang terbentuk dari samping, tampak menarik hatinya. Mata yang terpejam, hidung bangir, bibir penuh yang berwarna merah muda walau tanpa polesan lipstik, dagu yang belah, dan rambut hitam lebat sepundak, membuat Arya baru menyadari bahwa gadis yang ada disebelahnya yang sedang tertidur itu, ternyata cantik.

Ternyata kamu cantik juga, An. Bersama selama belasan tahun, membuatku tak bisa melihat keayuannu. Lagian kamu adiknya Mas Gibran sih, yang sungguh overprotective sama kamu. Mau jadi apa aku kalau aku cuma iseng aja sama kamu.

Perlahan Arya mendekatkan wajahnya ke bibir Ana. Dikecupnya perlahan bibir itu. Seulas senyum tersungging di bibirnya.

Then, your first kiss is mine, An.

"An... bangun, heii bangun. Sudah di depan rumahmu nih." Goncang Arya perlahan.

"Euuhmm..." Ana membuka matanya, dan mengucek mata beberapa kali.

Riana (complete): Di Penghujung RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang