Beberapa hari yang lalu langit begitu mendung dan awan petir datang menggulung, membuatku bahkan orang-orang disekitarku lari tunggang langgang agar tak terkena dinginnya air hujan. Namun hari ini, pagi ini, walaupun udara terasa dingin tetapi cahaya matahari tak terhalang oleh mendung. Hari ini cerah hingga siang menjelang. Sekolahku tetap ramai seperti biasa dan begitu juga kelasku. Teman-temanku entah sedang membicarakan apa hingga mulut mereka berbusa karenanya. Aku menggeser kursiku agak ke belakang agar aku bisa meletakkan kepalaku di atas meja. Tapi dengan tiba-tiba, seseorang menggeser mejaku jauh ke samping. Hampir saja aku jatuh. Aku melotot padanya.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku tanpa suara. Jengkel tapi ragaku tak berdaya menghadapinya.
"Gomen. Ayo ke kantin, katanya sambil menarik tanganku." Aku berdiri dengan enggan. Menolaknya berarti membuatnya marah. Semua orang tahu bahwa kami adalah kembar walaupun tidak identik. Dia dikaruniai wajah imut dan tentunya pintar begitupun aku. hanya saja, adikku yang lahir sekitar 5 menit setelahku ini lebih mudah dalam berteman. Hal yang ia sukai adalah bercerita, berjalan-jalan di mall, dan segala yang disukai oleh gadis seusianya. Dan aku berbeda jauh darinya. Aku begitu menyukai olahraga, bela diri, musik, sendiri, dan juga perpustakaan. Dari perbedaan ini aku mengalah,dengan begitu kami terlihat tanpa konflik.
Hingga suatu hari di sekolah.
"Rose. Untuk apa kau melakukan itu padanya?" Dia berteriak di depanku. Aku tak mengerti apa yang ia katakan. Aku diam menunggu kalimat berikutnya. Semua orang di kelas kami menengok ke arah kami.
"Rose. Katakan padaku. Kenapa kau memberikan fotoku padanya? Bagaimana mungkin. Aku tak mengenalnya hingga aku tahu dia mengedit foto itu dan memajangnya di depan kelasnya. Tak tahukah kau betapa malunya aku?" ia mengeluarkan semuanya. Aku paham. Tapi apa yang sedang ia katakan aku tetap tak paham. Menatapnya ialah hal yang kulakukan saat ini untuk meminta penjelasan padanya.
"Rose. Kau belum mengerti juga! Lihat ini!" dia mengeluarkan foto berbaris dari sebuah gulungan kertas besar hitam. Aku terkejut. Pria yang ada di foto ini adalah siswa sekolah kami entah kelas berapa. Tapi untuk apa dia menempelkan fotonya dengan foto adikku. Aku belum menangkap maksud gadis di depanku. Apakah ada yang sedang bermain-main ataukah pria ini menyukai adikku.
"Untuk apa dia menempelkan foto ini?" tanyaku padanya.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu! Untuk apa ia melakukannya? Aku menemukan ini tadi pagi ketika kita berangkat. Dan untungnya kelasnya tak ada orang. Tapi tentu saja sudah ada sejak kemarin. Aku benar-benar malu kau tahu." Pantas saja. wajah adikku ini masih merah padam. Dengusannya menandakan ia marah bercampur malu.
" Aku tak pernah memberikan fotomu pada siapapun. Dan bukankah ini adalah fotomu ketika di sekolah. Kita tak pernah mengambil foto di sekolah. Ini foto baru." Jawabku enteng. Sudah jelas sekali kami tak pernah membawa kamera ke sekolah, tak pernah mendapatkan kesempatan berfoto karena jelas di tata tertib tak diperbolehkan. Ini baru tahun pertama di SMA. Aturan itu sungguh tak masuk akal. Tapi, membuat masalah berarti menabung untuk tidak naik kelas.
"Lalu siapa yang melakukannya?" ia masih menyentakkan suaranya padaku.tapi intonasinya menandakan ia tidak terlalu marah seperti tadi.
"Tanyakan langsung pada pria yang ada di samping fotomu. Daripada kau terus menduga dan menyalahkan orang lain." Jawabku. Aku tahu ini terlalu jahat tapi ini benar. Aku melihatnya merengut.
Semua penghuni kelas yang tadinya terdiam mulai ramai kembali. Perlu kalian tahu bahwa adikku sangat menakutkan jika sedang marah. Teman kami sudah tahu itu dan paham, terkadang rasa marahnya bisa menular ke orang lain, terkadang juga salah orang. Dia terdiam selama pelajaran berlangsung. Guru matematika yang biasanya ia babat habis dengan rumus-rumus canggihnya yang ia tahu dari buku ayah, hari ini ia selamat karena adikku tak memperhatikan sama sekali.
Saat jam pulang ia menggandengku erat. Berjalan menuju entah kemana. Aku mengikutinya dengan diam. Ternyata bertemu dengan teman karibnya dari kelas lain, Kiki.
"Kiki, ayo ikut kami. kau sudah mengerti apa yang ku sms kan tadi kan?" tanya adikku pada Kiki. Kiki hanya mengangguk dan tersenyum. Dia adalah orang dengan tipe seperti aku.
Kami berjalan menuju ke kelas lain. Baru kusadari adikku menuju ke kelas pria yang ada di foto tadi. Tiba di kelas itu, masih ada beberapa orang yang ada di sana. Dan aku melihat pria itu ada di ujung meja guru. Adikku masuk.
"Hey kau!" Sarina menunjuk pria yang ada di foto. Aku memperhatikan di pintu masuk. Orang-orang yang ada di kelas tertegun. Lalu memperhatikan peristiwa langka itu.
"Apa yang kau lakukan dengan fotoku, hahh?! Apa kau tak pernah diajari makna sebuah kata "izin"?" Sarina melotot dan membuatku ingin maju menenangkannya, tapi kubiarkan karen kulihat si pria foto juga terkaget--ataukah takut....
"Tu..tunggu. apa maksudmu? Aku tak tahu apa yang kau lakukan." Dia mengelak. Dan elakannya malah membuat adikku semakin marah. Sarina mengeluarkan barisan foto-foto yang ditempel di gulungan kertas. Aku tersenyum.
"Apa yang kau bisa jelaskan dengan ini?!" Sarina geram.
"Ahh...Ah iya, Sarina. Maafkan aku, aku sedang meledeki dia kemarin. Ini bukan salahnya. Kau salah paham. Tapi aku tak tahu kenapa ini bisa ada di tanganmu." Seorang pria dari barisan belakang berjalan dengan cepat ke arah pertengkaran terjadi.
"Apa katamu?" Sarina terlihat bingung dan kaget. Lalu mukanya memerah. Ia malu.
"Iya, aku sedang meledeki dia dan foto ini aku ambil diam-diam beberapa hari lalu. Maafkan aku." pria ini jujur sekali. Aku juga merasa bingung. Jarang sekali ada pria yang seperti ini.
"Jadi maksudmu, kau yang melakukannya dan pria di depanku ini tidak bersalah, begitu?" Sarina memastikan.
"Begitulah." Dia hanya garuk-garuk kepala.
"Siapa namamu?" Sarina bertanya.
"Aku? Sandy." Dia semakin kencang menggaruk kepalanya yang tidak gatal kurasa.
"Terimakasih atas kejujuranmu Sandy. Dan kau pria foto, maafkan aku atas kesalahanku. Karena kukira kau yang melakukannya." Tak pernah kuduga adikku tak memiliki rasa malu. Dia keras kepala. Lalu kulihat dia pamit dan beranjak pergi. Sarina dan Kiki keluar lebih dulu. Aku menengok ke arah kedua pria itu dan menundukkan kepalaku tanda minta maaf. Pria bernama Sandy tersenyum dan pria foto hanya melihatku. Aku mengejar adikku Sarina. Mereka berdua masuk ke kamar mandi, akupun masuk.
"Kiki...Aku malu. Bagaimana ini. Bagaimana tadi? Apakah aku terlihat meyakinkan dan tidak terlihat malu sedikitpun kan?" tanya Sarina mencerca sahabatnya.
"Kau tak terlihat malu sama sekali Rina. Hanya saja itu tidak baik. seharusnya kau bicara pelan tadi. Tidak perlu tergesa-gesa." Kiki menambah kekecewaan adikku.
"Kau harus minta maaf dengan sopan." Kataku sambil membuka keran wastafel.
"Rose...."
"Kau tahu itu salah bukan?" tanyaku tanpa mengharap jawabannya. Aku membasuh muka dan hendak pergi dari kamar mandi.
"Aku akan ke lapangan. Mungkin pulang sore. Sebentar lagi ada kompetisi badminton. Kami harus berlatih. Kiki, pulanglah bersama adikku. Bisakah?" kataku sebelum meninggalkan kamar mandi.
"Baik." jawab keduanya. Lalu entah mereka membicarakan apalagi karena langkahku sudah semakin jauh dari kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
A MATCH FOR it
RomanceWe dont know where it begin. We just feel it so annoying when they ignore us. Thats love anyway.