CHAPTER 2

0 0 0
                                    

"Sore ini kalian akan bertanding satu sama lain sebagai pemilihan siapa yang akan maju mewakili sekolah kita di turnamen badminton se kota. Tunggal putri dan putra begitu juga ganda putra dan putri sudah dipilih kemarin. Hari ini kita akan bertanding untuk ganda campuran. Pemanasan silahkan dilakukan sendiri-sendiri." Pelatih membuka latihan sore ini.

Aku sedikit takut. Walaupun aku lumayan tangguh untuk cabang olah raga ini tapi untuk bertanding melawan senior adalah sesuatu yang tidak mungkin. Club ini memiliki 12 orang perempuan untuk saling bertanding. Sudah ada 6 orang yang terpilih. Tinggal 6 orang lagi. sedangkan jumlah pria ada banyak sekali namun pelatih sendiri yang akan memilihnya. Karena jam latihan kami terpisah aku tak akan tahu siapa mereka.

"giliran pertama Sinta dan Meri melawan Windy dan Rose." Pelatihku meminta kami masuk lapangan. Aku hanya bisa berusaha dan berdoa semampuku.

Beberapa menit kami bertanding pelatihku banyak menegur kami. lalu beberapa menit kemudian pelatih menghentikan pertandingan dan meminta grupp selanjutnya untuk bertanding melawan grup pertama. Dan beberapa kali teguran juga keluar dari pelatih. Dan sore itu aku merasakah lelah hanya untuk bertanding tanpamendapatkan apapun. aku berjalan gontai menuju gerbang sekolah. Kulihat kantin masih buka, ada 2 orang kakak kelas sedang mengobrol sambil makan.

"Pak, soto tanpa seledri dan jus jeruk." Pesanku pada pak Jono penjaga kantin soto.

Kemudian aku duduk di ujung barat jauh dari pintu masuk. Memencet tombol handphone ada beberapa sms masuk. Sarina. Sarina. Sarina. Apa yang dia lakukan kali ini. Kubuka salah satu sms. Lalu sms lain. Sms lainnya. isinya sama.

Rose. Ibu dan ayah akan pergi malam ini. Jika kau tak pulang lebih cepat mereka akan meninggalkanku sendiri di rumah berhantu ini. Tidaaaak.

Aku membalas sms nya dengan emoticon senyuman dan setan. Pak Jono datang dengan pesananku.

"Non Rose latihan hari ini?" tanyanya sambil menurunkan sambal dan minumku.

"Ia pak. Ada pertandingan sebentar lagi. terimakasih." Aku menjawab dan mulai memasukkan sambal banyak.

"Non, jangan banyak-banyak. Sambalnya pedas sekali hari ini." Pak Jono mengingatkan. Aku berhenti memasukkan sambal ke soto ku. Lalu mulai memakannya. Suapan keduaku mulai membuat mulutku panas.

"Hah.hah.hah. pak, air putih anget." Teriakku. Seseorang datang dan meletakkan botol minuman di mejaku. Dia mengangguk. Aku langsung meminumnya. air satu botol habis. Aku masih merasakan pedanya dan membuatku berurai air mata. Baru kusadari seseorang yang memberikan minum padaku adalah pria foto.

"Kau terlalu beranafsu dengan sambal." Katanya seraya mengambil tempat duduk di depanku.

"Terimakasih." Kataku.

"Tak perlu." Katanya sambil mengambil sendok dari mangkkuk sotoku lalu mencoba kuahnya.

"wuaach. Ini sangat pedas.berapa sendok kau masukkan ke sana?" tanyannya dengan ekspresi kepedasan.

"hanya 2." Jawabku.

"iya non. Kan bapak sudah bilang ini cabai yang berbeda jadi pedasnya luar biasa." Pak Joko menimpali.

"Pak, pesan 1 lagi sotonya." Kataku. Aku masih lapar. Sungguh. Aku harus makan, bisa jadi Sarina tidak mau masak dan kami kelaparan hingga malam. Ini hanya untuk antisipasi saja.

"Untuk siapa? Untukku?" tanya pria foto.

"Bukan. Untukku. Aku harus makan." Jawabku.

"Kukira." jawabnya. Lalu kami terdiam begitu lama.

"Oh iya, siapa namamu?" tanya pria foto.

"Rose. Kau?" tanyaku kembali.

"Sandy." Jawabnya.

"Bukankah itu nama temanmu tadi?" tanyaku. Aku tahu bahwa dia sedang bermain-main.

"Kau punya ingatan yang tajam. Aku Sandy. Dan temanku tadi Andy. Dia suka melakukan itu untuk membuatnya aman." Jelasnya.

"Sandy, maafkan kelakuan adikku tadi. Dia memang seperti itu." kataku. Kenapa aku malu sendiri mengingat kejadian tadi.

"Ah..tak apa. Dia adikmu? Sudah kuduga, kau begitu mirip dengannya. Kembar?" aku hanya mengangguk.

"Kau ada di klub yang sama denganku bukan? Apa kau tertarik ikut turnamen itu?" ia bertanya mengenai pertandingan yang diminta oleh pelatih tadi.

Aku menggeleng. Tidak ingin ada yang tahu aku mengikuti penyisihannya. Pak Jono datang membawa soto yang ku pesan. Aku mengambilnya dan mulai memakannya. Tapi kenapa pria ini tidak beranjak dari tempat duduknya.

"Kenapa kau tak pergi?" tanyaku.

"aku hanya ingin melihatmu makan." Ucapnya. Apa yang ia katakan membuatku malu.

"Aku makan layaknya manusia yang sedang makan. Apa yang ingin kau lihat? Lebih baik kau berlatih untuk pertandinganmu. Jangan ganggu aku." Usirku dengan suara datar. Aku tak ingin membuat jantungku semakin berdetak kencang.

"Kau. Baiklah, Rose. Aku tak akan mengganngumu. Tapi jika aku bisa masuk turnamen besok dan memenangkannya apa kau mau jadi pacarku?"

"Kau... Untuk apa aku melakukan itu. kita baru saja mengenal nama satu sama lain." Jawabku menjadi tak selera makan.

"Mungkin karena aku mulai menyukaimu." Aku tertegun dengan kalimat yang ia ucapkan.

"Aku tidak semudah orang lain untuk jatuh cinta." Jawabku.

"Baiklah, tunggu saja. kau akan mulai menyukaiku dalam beberapa hari ke depan." Dia pergi sambil tersenyum. Aku terdiam.

Begitu mudahkah untuk jatuh cinta?

A MATCH FOR itTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang