Kiba menatap kesibukan Naruto dalam mengepak potongan baju dari koper ke lemari kamar tamu apartemen miliknya tanpa sepatah kata. Sudut bibirnya sebenarnya sejak tadi terus berkedut hendak melontarkan berbagai macam bait pertanyaan kepada si pirang, namun dia mencoba menahannya sampai Naruto menyelesaikan kegiatannya.
Akan tetapi, ketahanan kendali emosinya seketika melonjak naik saat matanya tanpa sengaja melihat segaris lebam biru di sudut bibir dan pelipis kiri Naruto. Kiba tentu tidak akan sanggup berdiam diri lebih lama dari ini ketika tubuh sang sahabat terkasih kembali dihujani tindak amoral oleh seseorang yang sesungguhnya telah dapat dia prediksi kebenarannya.
"Kesalahan apalagi kali ini?" Suara Kiba menghunus tajam, lebih terdengar mengintimidasi dari pada sekadar bertanya. Pergerakan tangan Naruto terhenti dengan salah satu potong baju berwarna biru yang terletak di tangan kanan. Dia menghela napas sejenak kemudian mendongak menatap Kiba dengan kening berkerut.
"Maaf bila kedatanganku malam ini mengganggu waktumu, Kiba."
"Bukan jawaban itu yang aku harapkan darimu, Naruto."
Suara Kiba terdengar semakin menghunus tajam disertai geraman tertahan. Sorot matanya memicing terganggu oleh sikap Naruto yang seolah hendak mengalihkan topik pertanyaannya ke hal yang sungguh tidak masuk akal. Suatu hal yang mustahil bila tiba-tiba Kiba merasa terganggu dengan kedatangan Naruto di apartemennya.
Naruto meneguk ludah payah, bulir basah itu tiba-tiba terasa berat dan mengeras bagai batu ketika suara Kiba beserta sorot matanya terkesan menindas dirinya. Baiklah, Naruto tidak akan mencoba menyumpah serapahi teman anjingnya itu malam ini karena sudah berlaku layaknya hitler di depannya. Tetapi, tidak bisakah untuk malam ini saja Kiba tidak kembali menjadi teman yang terlalu overprotektif kepadanya. Sungguh, dia sangat lelah dan ingin bergegas beranjak ke tempat tidur.
Katakan bila dirinya tidak sopan, sudah menumpang hendak membisu pula; tidak berniat mengutarakan alasannya mengetuk pintu apartemen Kiba di waktu nyaris tengah malam dengan sebuah koper hitam berukuran sedang di tangan kanan sambil mengulaskan satu cengiran andalannya, seolah tidak terjadi apapun sebelumnya. Ya, dan katakan bila dirinya ini adalah seorang teman kurang ajar dan suka berbuat semaunya, akan tetapi, semua itu tidak semudah kilasan khayalan di angan-angan.
Kenyataannya Kiba tidak akan pernah memandang Naruto seperti yang diharapkan bocah pirang itu. Karena pada kenyataannya kedatangan Naruto ke apartemennya memang selalu diikuti oleh suatu sebab.
"Aku lagi-lagi membuat kesalahan, Kiba," jawab Naruto lirih mencoba menenangkan kemarahan Kiba.
Kiba memalingkan wajah ke kanan dengan mendecih keras, ingin rasanya dia berteriak sekeras mungkin demi meredakan dentuman amarah di hatinya sebab perilaku Naruto yang lagi-lagi lebih memilih menyudutkan dirinya.
"Berhenti menyalahkan diri sendiri, Naruto!"
"Ini memang kesalahanku, Kiba," sergah Naruto cepat sambil beranjak dari posisi simpuhnya. Kali ini dia benar-benar hendak menanggalkan kegiatannya dalam mengepak baju ke dalam lemari.
Kiba terdiam, memandang wajah Naruto dengan sorot mata yang sedikit meluruh ketika seulas sinar mentari yang berbinar indah di sepasang mata biru Naruto meredup lelah.
"Baik, aku tidak akan membahasnya karena sepertinya kau terlihat keberatan dengan pembahasan ini," putus Kiba menyerah yang seketika menuai hela napas lega dari Naruto.
"Aku memang lebih memilih melihatmu di usir dari rumah ketimbang mendapati goresan luka di bagian anggota tubuhmu. Tapi, sepertinya malam ini aku benar-benar kecewa dengan keluargamu, Naruto."
Kiba tampaknya masih geram, terbukti dari lontaran kalimatnya yang sedikit banyak masih menyenggol topik pembahasan yang dihindari Naruto malam ini. Lelaki bersurai cokelat dengan sepasang tato segitiga terbalik itu mengulurkan sebuah kotak obat ke dada Naruto.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHAT HAPPEN
RandomApa yang terjadi? Aku merasa bingung, dia yang tanpa sengaja aku nodai dengan segelas kopi mendadak menjadi pendampingku. Seharusnya dia memarahiku, tetapi mengapa dia justru meminangku? Meminang seorang laki-laki yang bahkan tidak memiliki orang tu...