"Fay, sudah siap belum, sih? Cepetan keluar!" Ketukan keras di pintu membuat Fayre menghentikan jemarinya menekan tuts keyboard. Mama yang kesal karena Fay tak juga keluar dari kamar mulai meninggikan suaranya.
Kalau dihitung, ini sudah ketiga kalinya Mama memanggil Fay supaya ia bergegas bersiap. Dasar Fay-nya yang bandel, bukannya segera berganti pakaian malah sibuk dengan pekerjaannya. Pekerjaan ini sudah menumpuk dua hari dan dia benar-benar harus menyelesaikannya! Bukan karena Fay suka menunda-nunda, tapi ada pekerjaan dadakan yang harus dilakukannya dua hari lalu.
Fay benar-benar malas terlibat dengan rutinitas keluarga yang satu ini. Makan malam bersama keluarga sahabat. Apa mereka tidak bosan membicarakan hal itu-itu saja? Fay mengeleng. Gadis itu sudah berusaha mengabaikan teriakan-teriakan mama yang membuat telinganya berdenyut. Namun, rasa hormat dan sayang pada orangtua membuatnya tidak mampu melakukannya. Fay tidak mau dikutuk jadi patung taman!
"Iya, Ma. Bentar lagi selesai." Fay menggeliat untuk melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku. Kedua tangannya terangkat lurus ke udara dan mulutnya menguap lebar-lebar. Setelah mengembuskan napas dengan kasar Fay melirik ke tempat tidur di mana baju itu tergeletak. Sungguh, kalau tidak seperti ini situasinya Fay pasti memilih untuk bergelung di atas tempat tidur dan memimpikan masa depannya bersama Andrenya yang luar biasa tampan.
"Kak, cepetan dong!" Dika menggedor pintu kamar Fay.
Fay mendelik. Apa-apaan ini?!
"Dikaaa! Nggak perlu sekenceng itu kali. Bisa rubuh nanti pintunya!" Dia berteriak kesal, benar-benar kesal. Pasti Dika mendapat tugas dari Mama. Untung saja tidak ada klien yang diterimanya di rumah. Bisa hancur kesan profesional yang dia bangun selama ini.
"Nggak usah dandan segala, Kak. Nggak bakal berubah kok. Tetep judes, kayak nenek sihir!" Terdengar tawa Dika.
"Bawel amat sih, Dik. Pergi sana. Lagian nenek sihir nggak judes, tau!" Fay heran dengan adik satu-satunya itu. Anak cowok satu ini kenapa cerewet sekali?
Fay membuka gawainya yang baru saja bergetar, ternyata Senna. Akhir-akhir ini dia sering menceritakan masalah rumah tangganya. Suami Senna ingin bercerai di saat Senna mulai mencintainya. Yah, mereka memang menikah tanpa cinta. Fay sendiri tidak tahu harus memberi nasihat apa pada sahabatnya itu. Dia hanya bisa menguatkan dengan cara mendengar dan menanggapi setiap keluh kesahnya.
Senna sahabat baiknya sejak SMA. Dia memilih berbisnis selepas kuliah, membuka kafe kopi yang letaknya tidak jauh dari rumah Fay. Menurut Senna, beberapa hari setelah menikah suaminya mulai berubah. Mereka menikah baru satu tahun yang lalu dan perubahan itu terjadi dengan sangat cepat dan mengerikan. Dan sampai sekarang Fay tidak tahu arti mengerikan yang dimaksud Senna.
Sebenarnya sudah dua jam lamanya Fay duduk di depan komputer mengerjakan proposal yang harus selesai malam ini. Sebenarnya butuh waktu setengah jam lagi untuk menyelesaikannya. Sayang, semua rencana yang disusunnya tidak berjalan dengan baik gara-gara acara paling menyebalkan dalam sejarah kehidupannya itu terulang kembali malam ini.
Fay mendesah pasrah. Dia sudah kehabisan alasan untuk kabur dari acara rutin ini. Baginya makan malam ini memang paling membuatnya kesal diantara makan malam lainnya, tapi tak ada yang bisa dilakukannya lagi. Semua usahanya untuk menghindar telah gagal; dari alasan kecapaian, pusing, banyak pekerjaan, semuanya mental di depan papa.
Fay sangat membenci tidur larut malam. Dia tidak mau mata pandanya terlihat saat menemui klien nanti. Ditambah dengan muka yang layu karena kurang tidur yang membuatnya terlihat tidak segar, dan itu bukan gayanya.
Kedatangan keluarga Santoso malam ini untuk memenuhi undangan makan malam bambang, papa fayre, seperti yang biasa mereka lakukan selama ini. Santoso adalah teman baik Bambang sejak mereka masih berstatus mahasiswa di Universitas Gajah Mada. Padahal keduanya asli dari Jakarta, tapi sama-sama menjadi anak perantauan untuk mengejar ilmu.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Sweet Enemy
RomanceFayre gadis yang mandiri dan sangat menyayangi keluarganya. Dia mampu mengatur segalanya dengan baik. Namun, kemampuannya itu lenyap ketika Ayah menjodohkannya dengan Evan. Evan tunduk pada aturan tertulis dan tersirat. Dia selalu mencari jalan yang...