"Nikmat mana lagi yang kau dustai?"
Aku termenung mencoba menafsirkan makna dari kata-kata tersebut.
Detik demi detik terus berlari menghampiriku yang masih terdiam dipinggiran Mushola Sambil memegang sebuah Al-quran kecil. Aku menatap langit dan membayngkan seperti apa kelamnya kisahku dulu. Saat Aku melihat orang-orang yang tengah Asyik meneguk minuman keras, Aku selalu teringat akan diriku dulu yang tak jauh berbeda dengan mereka. Mungkin lebih tepatnya Aku adalah salah satu dari mereka.
Aku terdiam, Iyaa,, Aku adalah salah satu dari mereka. Aku tak ubahnya lalat yang hinggap dikotoran-kotoran yang dengan bangganya menampakkan kekotoran jiwaku.
Sejujurnya masa kecilku Aku tak seperti itu, Aku dilahirkan didalam sebuah keluaarga yang begitu paham agama. Orang tuaku mendidik Aku dan Adikku dengan baik. Mengajari kami sholat dan mengaji. Suasana rumah kami begitu hangat saat itu hingga saat itu pun tiba.
Suatu hari Orang tua ku meninggal saat dalam perjalanan hendak menghadiri sebuah acara pengajian. Mobil yang mereka tumpangi bertabrakan dengan sebuah bus. Waktu itu umurku sudah mulai remaja, dan begitu sangat membutuhkan sosok seorang orang tua.
Aku yang masih labil terus saja menyalahkan takdir Tuhan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Dalam hati kecil ku kadang berfikir kenapa Tuhan tidak adil, kenaapa Tuhan mengambil orang-orang yang begitu Aku sayangi. Namun disaat-saat tertentu Aku mampu tuk berfikiran jernih, Mungkin ada hikmah yang tersembunyi dibalik ini semua.
Selang beberapa bulan sejak Orang tuaku meninggal, Adikku jatuh sakit. Aku enggak tau harus dapat uang dari mana lagi untuk membayar pengobatan Adik. Sedangkan uang peninggalan Orang tua ku telah habis untuk membayar hutang-hutang mereka pada BANK.
Hingga suatu sore saat Aku pulang dari cari pinjaman uang Aku mendapat kabar yang begitu menghujam hatiku. Adikku meninggal karena belum sempat di obati oleh dokter karena Aku belum melunasi biaya pengobatan Rumah Sakit. Duka kian menghujam jiwaku, Pikiran jernihku makin tak Nampak lagi. Hari demi hari pun Aku mulai berani meninggalkan Sholat wajib, Aku mulai sering keluar malam untuk menghilangkan penat dalam kepalaku. Masjid yang dulu selalu setia Aku kunjungi kini tak sedetikpun tak pernah Aku singgahi. Keputus asaan benar-benar telah membutakanku. Nafsu dan Setanpun mungkin telah mulai jadi sahabatku.
Aku yang masih berumur 17 tahun memutuskan untuk berhenti sekolah. Hari-hariku penuh berisi dengan keputus asaan. Bukan tanpa alas an Aku melakukan hal itu, karena memang enggak ada uang untuk membayar biaya sekolah. Sedangkan saudara-saudara Ayah dan Ibuku seperti buta melihat keadaanku. Tak ada satupun yang perduli.
Kini Aku tinggal dijalanan, makanpun Aku terkadang mengais-ngais sisa-sisa makanan orang yang tergeletak di tong-tong sampah pinggir jalan.
Suatu ketika Aku diajak temanku untuk melakukan sebuah bisnis, dia bilang bisnis ini menghasilkan cukup banyak uang. Aku pun begitu tergiur melihat nilai uang yang dia tawarkan, Aku cukup lelah untuk terus hidup seperti ini, namun rasa hatiku menjadi bimbang saat Aku tau bisnis itu adalah menjadi kurir narkoba. Setitik kecil warna putih dalam hatiku bicara tuk menolak, namun hati hitam telah penuh akan hawa nafsu. Aku pun menerima tawaran temanku.
Hampir tiga bulan Aku menjalani pekerjaan ini, dan pundi-pundi uangpun telah lumayan banyak Aku kumpulkan. Aku tau dan sadar pekerjaan ini haram, namun Aku tak kuasa untuk mengehentikanya. Hingga suatu malam saat Aku hendak mengantarkan paket narkoba kepada seseorang, ada sebuah razia polisi di tempat yang telah dijanjikkan. Semua orang digeledah, Aku yang belum sempat digeleah mulai terlihat panik. Keringat mulai menetes deras dari dahiku. Tanpa piker panjang Aku pun lari dari tempat itu namun seorang polisi berteriak menyuruh Aku untuk berhenti, Aku tak memperdulikanya, Aku terus saja berlari. Suara tembakan peringatan pun tak Aku hiraukan. Beberapa saat kemudian Aku dapati diriku terjatuh terjungkal ke tanah. Sebuah peluru telah menembus kaki kananku. Aku tak kuasa lagi untuk berdiri saat ku tatap darah mulai mengalir dari kakiku. Perlahan Aku merasakan sakit yang begitu menyayat,hingga Akupun tak sadarkan diri.
Saat Aku membuka mata Aku telah berada dalam sebuah sel penjara. Seorang polisi mengatakan bahwa seminggu lagi Aku akan disidang dan kemungkinan besar Aku akan dikenai hukuman mati. Kata-kata itu begitu menggetarkan hatiku, Tanpa terasa tetes demi tetes air mata pun keluar dari mataku. Aku berfikir mungkin inilah Akhirnya, Aku begitu takut saat nanti harus mempertanggung jawabkan semua dosa-dosaku di hadapan Allah . Aku mulai mengingat-ingat dosa yang begitu banyak telah kuakrabi. Hari demi hari Aku kembali mencoba untuk rutin lagi melaksanakan Sholat wajib. Menit demi menit Aku berusaha untuk terus mengingat Allah, mengingat kebesaran Allah dan mengingat semua dosa-dosaku. Hingga saat di sepertiga malam setelah Aku selesai melakukan Sholat Tahajjud Aku mengakui semua dosa-dosaku dan Aku melakukan taubatan nasuha. Aku merasa begitu kotor dan sangat tak pantas, namun seperti apapun Aku saat itu Aku benar-benar ingin bertaubat sebelum akhirnya Aku benar-benar akan mati.
Satu minggu pun berlalu, hari ini adalah hari persidangan atas kasusku. Jantungku berdetak kencang menunggu keputusan hakim, dan sungguh ku akui Aku saat itu benar-benar telah pasrah. Menit berlalu dan jam pun berlalu, hingga keputusan hakim pun dibuat. Sungguh keputusan itu jauh berbeda dari yang selama ini Aku bayangkan. Aku tidak jadi dijatuhi hukuman mati karena masih dibawah umur dan Aku akan segera dibebaskan. Mendengar pernyataan hakim yang seperti itu Aku pun langsung bersujud dan berteriak"Allahhu Akbar. . .Alhamdulillah. .Subhanallah. . Maha Suci Engkau Ya Allah yang masih memberi hamba waktu untuk memperbaiki diri hamba. . ." Aku pun tak mampu menghentikan air mata yang mengalir deras dari mataku. Dan mulutkupun tak henti-hentinya menyebut-nyebut Asma Allah. Hati dan jiwaku serasa bergetar saat itu, Aku hampir-hampir mengira itu hanyalah sebuah mimpi.
Setelah keluar dari penjara, Aku memutuskan untuk mondok di salah satu Pesantren di daerahku. Dan sampai saat inipun statusku adalah seorang santri di Pesantren tersebut.Aku berharap mampu merubah hidupku yang kelam menjadi hidup yang baik seperti masa kecilku. Hidup yang terang yang dipenuhi dengan pengetahuan-pengetahuan Agama Islam.
The End
Karya : Nabil Fumio
YOU ARE READING
Nikmat Mana Lagi yang Kau Dustakan
РазноеSebuah cerita tentang seseorang yang menjelaskan tentang kisah seorang anak muda yang tengah merasakan kerasnya hidup dan berada diambang kebimbangan.