Awal Cerita.

498 2 1
                                    


Malam ini angin bulan Juli murka. Menggebrak jendela dan ranting-ranting pohon, menggugurkan anak-anak buah mangga yang sedang ranum berbunga. Membuat jendelaku berderit-derit, "Ngik...ngik..ngik...", karena engselnya yang longgar. Kelambu kamarku juga tak mau diam, seolah ada teman sepermainan, "Srek..srek..srek..", berlarian kesana-kemari. Malam ini tidurku sama sekali tak tenang.

Alam seolah bersekongkol, menyusun rencana jahat untuk menghancurkan hari pertamaku sekolah. Oh, tentu saja begitu! Aku sedang tidak ingin didebat, bahkan oleh akal sehatku sendiri. Ini adalah perspektif seorang remaja 16 tahun yang terlalu banyak terpapar sinetron roman picisan.

Jadi, aku sengaja tidur awal. Dua jam lebih awal dari jam tidurku yang biasanya. Semua keperluan sekolah sudah kubereskan, buku, alat tulis, seragam abu-abu putih yang sudah licin disetrika, sepatu hitam mengkilap, dasi dan topi yang sudah stand by bergantungan di paku-paku tembok kamar. Semua sekenario juga sudah kupikirkan, bagaimana aku akan menyisir rambutku, menata belahan poni, mengukur tinggi kaos kaki, bahkan cara memarkir motor butut warisan Bapak juga sudah dipikirkan.

Oh, asal tahu aja poin terakhir itu amat sangat penting, mengingat motorku bukan motor biasa. Dia adalah Yamaha Alpha keluaran tahun 1995 yang bunyinya sekencang Sangkakala. Aku tidak main-main kawan. Tidak perlu menjadi primadona sekolah untuk menarik perhatian, pakai saja motor bututku, pasti perhatian seisi sekolah langsung tertuju padamu. Oke, agar lebih jelas, kutegaskan padamu bahwa bunyi motorku sekencang motor-motor modif kampungan, yang ketika lewat membuat semua orang ingin mengumpatnya. Jadi sudah jelas perkara ini tidak main-main.

Aku sudah memikirkan tentang bagaimana pergi ke sekolah yang jaraknya kira-kira 13 kilometer dari rumahku. Setelah ditimbang-timbang, bagaimanapun juga cuma ada 2 opsi yang masuk akal. Pertama, pakai sepeda motor butut bapak dengan resiko terlalu menarik perhatian. Atau kedua, keep it low profile dengan tetap mempertahankan sepeda pancal yang sudah kupakai sejak 3 tahun yang lalu, hadiah dari Bapak dan Ibu karena menjadi lulusan terbaik di SD, dan membutuhkan waktu 45-60 menit untuk sampai ke Sekolah, dengan resiko bau ketek.

Pilihan yang cukup sulit bukan? Tentu saja minta dibelikan motor baru atau diantar jemput Bapak sudah lama kucoret dari list-ku. Bapak adalah seorang guru SD dan ibuku ibu rumah tanggal fulltime yang tidak bekerja. Aku tidak pernah merasa miskin atau kekurangan, hanya saja aku memang tidak terbiasa minta dibelikan ini-itu. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali minta dibelikan sesuatu, kecuali satu set spidol dan stabilo saat kelas 4 SD setelah aku keluar dari rumah sakit seusai kecelakaan. Atau sebatang coklat setiap awal bulan. Yang perlu digaris bawahi adalah, bahwa aku merasa sangat berkecukupan, sehingga tidak perlu meminta apapun.

Jadi ketika Bapak mengajukan kredit motor baru beberapa bulan lalu, dan mewariskan satu-satunya motor butut yang dimiliki keluarga kami, reaksi pertamaku adalah bersyukur. Tidak memaksa Bapak untuk meminjamkan motor barunya (meskipun sempat tergoda), tidak pula memberontak seperti mental kebanyakan remaja lainnya. Jadi kuterima dengan lapang dada, tapi tetap mengastisipasi berbagai kemungkinan.

Deru angin yang tiba-tiba menggebrak jendelakamar menyeretku kembali pada kenyataan. Malam semakin larut, dan aku semakin gelisah. Rasa kantuk tidak juga datang, seperti menunggu hujan di musim kemaraupanjang. Kutarik selimut menutupi kepala, berharap amarah angin bulan Juli akancepat mereda.    

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 26, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Just a Typical Love Story: Ciuman PertamaWhere stories live. Discover now