Sinden

353 38 15
                                    

Kesibukan sebagai emak-emak, membuat saya jarang membaca tulisan di wattpad. Sekalinya ada waktu, saya memilih untuk nerusin tulisan sendiri.

Nah, suatu hari saya membaca sebuah cerita dengan gaya penulisan yang benar-benar saya suka. Saya acungin jempol papat ke authornya. Tulisannya benar-benar selera saya. Saya suka dengan karakter tiap tokoh dan settingnya. Dan, beliau sedang mengadakan give away untuk ceritanya. Karena saya jatuh cinta banget sama cerita ini, saya mau ikut partisipasi.

Semoga berkenan ya mas JohanesJonaz

***

Matahari yang terik, membakar kulit Edi Gudel, namun tak membakar semangatnya dalam mencari nafkah untuk anak isteri di rumah. Dia terus mengayunkan cangkul penuh tenaga, menggempur tanah liat di sawah. Agar tanah itu, fajar besok sudah bisa ditanami bibit-bibit padi.

"Kamu belum selesai, Di?" Trimo duduk di tepi galengan sawah, bersender dibawah pohon kelapa. Dia melepas kaos berwarna putih yang menjadi keabu-abuan karena cipratan lumpur merata, mengibas-ngibaskannya ke dada, sebagai pengganti kipas. "Panas banget hari ini, sepertinya mau hujan."

"Tinggal sedikit lagi Kang, Sampeyan pulang dulu saja."

"Terusin saja. Tak tunggu. Kita pulang sama-sama. Kalo perlu, sini tak bantu, biar cepet selesai."

"Eh, nggak usah Kang. Kedok ini kan memang jatahku mengerjakan. Tadi aku banyak aso, makanya belum selesai."

"Yo wes, tak tunggu. Daripada aku jalan kaki sendirian."

"Bentar ya Kang, tinggal dikit." Edi Gudel kembali bergelut dengan cangkul dan lumpur. Dia bekerja makin cepat, karena Trimo sedang menunggu.

Edi Gudel sudah menganggap Trimo seperti kakak sendiri. Lelaki itu sungguh berhati mulia. Delapan tahun silam, ketika dia pertama kali memijak bumi Probolinggo bersama Trimasih, hanya Trimo yang sudi ramah padanya. Sedangkan penduduk desa lain, menatap Edi Gudel dan Trimasih penuh curiga. Mereka merasa janggal, ada sepasang suami istri yang mengaku merantau, pindah tanpa alasan jelas dan tidak diantar oleh satupun sanak saudara.

"Istrimu masih ikut Ki Ageng Suroto?" Sejenak, Edi Gudel berhenti mencangkul. Dia menelan ludah yang terasa hangat, menghembus nafas berat, lalu kembali bekerja. Pura-pura merespon pertanyaan Trimo dengan biasa-biasa saja.

"Tidak banyak orang yang sanggup nanggap wayang untuk acara-acara besar mereka. Jadi, Trimasih juga jarang dipanggil sama Ki Ageng."

"Tapi walau jarang, dia masih tetap kerja sama Ki Ageng, kan?" Edi Gudel tidak menjawab, hanya mengangguk saja. "Aku mau ngomong, tapi aku minta maaf kalo omonganku ini bikin kamu tersinggung. Semua ini demi kebaikanmu sama Trimasih."

"Ngomong saja Kang, nggak apa-apa." Trimo toleh kanan-kiri, untuk memastikan tak ada orang lain di sawah, setidaknya dalam radius mendengar percakapan mereka berdua. Setelah memastikan bahwa pondok kayu beratap daun lontar, yang berdiri tak jauh dari mereka--kosong, Trimo mulai bicara

"Bilangin istrimu, Di. Kalo bisa, berhenti nyinden dari sekarang. Dia sudah jadi buah bibir penduduk desa. Yang laki-laki, banyak yang mengelu-elukan kecantikan istrimu. Naksir berat. Tapi kamu pasti tahu, istri-istri mereka nggak akan tinggal diam. Itu bahaya buat keselamatan Trimasih."

Dada Edi Gudel bergemuruh dan panas, seperti air yang mendidih diatas tungku. Dia tak menyangka, Trimo yang dia kenal sebagai orang yang tak pernah mau mencampuri urusan orang lain, kali ini sampai berbicara sejauh itu. Artinya, keberadaan Trimasih di desa itu tengah jadi perbincangan panas. Persis seperti sindiran-sindiran yang kerap dia dengar dari tetangga-tetangga tiap dia lewat warung dekat rumah. Ibu-ibu yang selalu ngomong dengan lantang, bagaimana seorang suami harusnya bisa mendidik istri agar tak menjadi perusak rumah tangga orang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 27, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GA Kembang KawisariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang