.
"Eh, Yoongi-hyung."
"Ng?"
"Udaranya dingin ya?"
Menoleh enggan dari kisi-kisi jendela yang hampir separuhnya berbalut embun tipis—selain dua bekas telapak tangan yang sengaja ditinggalkan Jimin di sana (dan digunakan dengan iseng oleh pemuda itu sebagai celah untuk melihat) Yoongi mendapati sepasang boneka salju berdiri di pinggir halaman yang sedang dalam opsi gersang dan tertutup hamparan putih. Satu berukuran lebih besar dari yang lain, ember hitam menutup kepala, dua buah pemukul bola tertancap mengacung pengganti lengan, dan berkalung seuntai kain panjang yang langsung membuat Yoongi mengerenyit.
"Dasi?"
"Itu Yoongi-hyung," tunjuk Jimin tanpa bermaksud menjawab pertanyaan. Telunjuk kanannya menuding manusia salju kedua yang berukuran agak kecil. Ada sejumput jerami diletakkan di bagian kepala, bersemat ranting kering sebagai lengan, serta tampak dilapisi kain lebar warna biru tua yang menutup bagian dada, "Dan itu aku."
"Ha," lengos Yoongi, kembali menatap cangkir besar berisi cokelat panas yang baru diseduh, menambahkan dua potong marshmallow dan meletakkannya di meja selagi Jimin sibuk menempel di jendela, "Kalau memang bermaksud membuat sepasang, paling tidak beri mereka perlakuan yang sama."
Kalimatnya disambut tawa renyah tanpa gerakan berarti, "Aku selalu beranggapan jika hyung tampak seperti anjing polisi yang sanggup bersikap wajar di tengah musim dingin. Tidak terlalu besar, tapi kuat, berbahaya, dan tetap bergeming walau ada badai atau air bah. Beda denganku yang bisa terbang hanya karena tiupan pipa pembersih debu," sergah pemuda berambut merah itu, melankolis. Sepotong kecil marshmallow terlempar ke arahnya dan membuat Jimin berpaling diiringi cengir puas.
"Aku benar, kan?"
"Meskipun benar, aku tetap menolak disamakan dengan anjing," Yoongi mendaratkan tubuh di satu sofa tunggal sembari meniup uap samar yang menguar dari kopinya, "Daripada itu, aku belum dengar alasanmu mendadak datang dan menghabiskan waktu mengacaukan halaman. Tahu sendiri badanmu tak tahan dingin, malah menolak masuk."
Alih-alih merespon, Jimin hanya mengangkat bahu acuh dan meraih cangkir cokelatnya untuk dihirup perlahan. Mengerang nikmat, pemuda itu mengangkat kedua kakinya ke atas dan memangku minuman dengan imut, "Ingin saja."
"Berkelahi lagi?"
"Kenapa menuduh begitu?"
"Sejak kecil kau selalu datang padaku tiap selesai memarahi seseorang," ujar Yoongi kalem, menyesap kopinya agak lama, "Aku tak berminat ikut campur soal apa, dimana, dan kenapa. Hanya mengatakan fakta lama. Tak perlu tersinggung."
"Tidak kok," geleng Jimin ketus diiringi dengus, "Mungkin karena hyung jarang berkomentar dan tak pernah terlalu peduli dengan apa yang kukerjakan. Lagipula ruangan ini benar-benar nyaman dan selalu membuatku ingin pulang."
"Pulang?" pria berwajah tak ramah itu terkekeh kencang, menaruh cangkirnya lalu menopang pelipis di pegangan sofa, "Ini bukan rumahmu."
Mengerjap imut dari permukaan cokelat, Jimin menyunggingkan cengir tipis dengan sudut kiri terangkat tinggi, sumringah, "Ironisnya, tempat dimana aku disambut dengan ucapan selamat datang dan segelas cokelat panas seperti ini adalah tempat yang katanya bukan rumahku."
"Jangan berlagak puitis, aku hanya tak mau dituduh keterlaluan karena membiarkan seorang bocah meringkuk kedinginan setelah berjam-jam berdiam di kereta dengan perut lapar," delik Yoongi tanpa ekspresi, "Lain kali segera masuk dan makan sesuatu, tak perlu menunggu sampai aku pulang seperti tadi. Kalau kau mati kelaparan, aku yang akan susah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Slice of Life - SNOWMAN (YoonMin)
Fanfiction[BTS - YoonMin/SugaMin] Ditinggalkan begitu saja setelah menyatakan cinta, satu-satunya hal yang diinginkan Jimin adalah membawa bekas pengawalnya kembali. Tidak. Tak perlu ke rumah. Cukup pada hatinya. . . Min Yoongi. Park Jimin. AU. Oneshot.