Aisyah memeluk erat tubuh sahabat baiknya. Deru tangis yang sedari tadi belum terhenti seakan mengoyak hati Aisyah. Bagaimana bisa sahabat sekaligus besannya ini yang seorang periang menjadi serapuh ini. Memang tidak ada yang bisa merasakan betapa sakitnya saat kita kehilangan seseorang yang sangat kita cintai bahkan untuk membayangkannya saja Aisyah tak sanggup.
"Istighfar Karin. Sebut nama Allah." Ucap Aisyah dalam tangisnya
Karin semakin mengeratkan pelukannya pada Aisyah. Saat ini yang dia butuhkan adalah sandaran untuk bisa melewati ini semua. Kedua orang tuanya telah meninggalkannya, sekarang takdirpun telah menjemput suami tercintanya. Ya, tepat tadi setelah dia selesai sholat dhuha suaminya menghembuskan nafas terakhirnya karena sakit yang telah dideritanya selama satu bulan terakhir. Penyakit itu datang tak diundang dan sekarang pergi bersama jasad suaminya.
Cukup rasa sakit yang suaminya rasakan selama satu bulan ini, seharusnya Karin bersyukur bahwa Allah telah mengurangi rasa sakit itu dengan mengambil nyawanya tapi kenapa terlalu cepat. Itulah yang Karin rasakan saat ini. Karin merasa belum banyak berbuat baik dan berbakti pada suaminya. Bahkan mungkin dirinya belum bisa dikatakan sebagai istri yang sholehah. Jika Tuhan mengizinkannya untuk menunda, Karin berjanji akan menjadi istri dan ibu yang baik.
Karin bahkan sempat menyalahkan dirinya yang tidak becus mengurus suaminya sehingga kanker itu bersarang pada otak suaminya dan merenggutnya dari sisi Karin. Sekarang Karin turut mempertanyakan gaya hidup yang suaminya jalani, dia seorang dokter yang seharusnya bisa lebih menjaga dirinya dari penyakit. Tapi lagi lagi Karin harus mengalah pada takdir Allah.
"Semua sudah Allah tuliskan. Jodoh dan kematian sudah Allah tentukan jadi kita sebagai manusia hanya akan menunggu sampai saat itu tiba. Siapapun tidak akan ada yang sanggup melawan takdir Allah ". Ucap Aisyah sambil mengelus lembut punggung Karin.
Karin tersadar jika tangisnya pun tak dapat merubah keadaan saat ini. Dia bahkan belum melihat jasad suaminya yang sudah selesai dimandikan.
"Ingat jangan menangis. Kasihani suamimu Karin. Biarkan dia beristirahat dengan tenang." Ucap Aisyah memperingatkan Karin sebelum Karin bergerak menuju jasad suaminya yang sebentar lagi akan memakai pakaian terkahirnya, kain kafan.
Karin mengangguk lemah lalu menyapu air matanya dengan tisu.
Dilihatnya dan diciuminya wajah suaminya yang sudah begitu dingin "pah, aku janji akan jadi ibu yang lebih baik lagi untuk anak kita Gibran. Aku ingat pesanmu tadi malam bahwa aku harus kuat dalam menjalani hidup walau tanpamu. Papah sayang, mulai hari ini akan aku buktikan bahwa aku akan menjadi kuat dan menjadi Karin yang selalu kamu banggakan. Gibran akan menjadi sepertimu, seorang dokter yang baik hati dan rela berkorban demi orang lain. Dia juga sudah menuruti keinginan terakhirmu untuk menikah dengan gadis kesayanganmu, Maryam. Sekarang aku berharap papah mendapat tempat disisi Allah. Tepati janjimu yang akan menungguku di surga nanti." Usai mengucapkan kalimat panjang itu Karin mundur dan kembali memeluk Aisyah.
"Kamu hebat Karin, aku yakin kamu pasti bisa nelewati ini."
Maryam menutkan kedua tangannya saat melihat kesedihan ibu mertuanya itu. Dia tahu benar bagaimana perjuangan Karin selama satu bulan ini merawat papah mertuanya. Semuanya dia lewati dengan besar hati. Tak ada air mata yang dia tunjukan di depan suaminya. Sungguh Maryam ingin menjadi seperti Karin, wanita yang kuat. lalu bagaimana dengan dirinya? apakah dirinya juga sanggup seperti ibu mertuanya? Mungkin tidak dengan suaminya, Gibran. Dia bisa melihat kesedihan yang dalam dari mata itu. apa yang harus Maryam lakukan untuk mengurangi kesedihan itu? mereka tidak sedekat itu untuk Maryam pergi kesisi dan memeluk tubuhnya. Maryam hanya bisa terdiam dan mengamati dari sini.
Di sisi lain Gibran yang baru saja datang dari kampus barunya meremas sebuah surat yang telah dia bawa dengan penuh kabahagiaan.
Hari ini adalah jadwal pengumuman kelulusan tes masuk universitas. Sebelum berangkat Gibran sempat mampir ke rumah sakit dan mencium tangan papahnya untuk meminta restu agar hasil dari tesnya sesuai dengan keinginannya. Saat menerima surat pernyataan bahwa Gibran berhasil masuk universitas dengan fakultas yang sesuai dengan cita citanya, dia begitu bahagia sampai dia berfikir bahwa papahnya lah yang akan membuka surat itu dengan wajah bangganya tapi apa saat dia sampai di rumah sakit ternyata kamar yang biasa di tempati ayahnya selama satu bulan ini telah kosong. Gibran berlari menuju ruang penjaga perawat untuk meminta informasi kemana papahnya telah dipindahkan tapi saat yang dia dengar bahwa papahnya telah kembali ke rumah membuat dia kembali bertanya. Apakah papahnya telah membaik sehingga bisa kembali pulang ke rumah. Tapi kembali jawaban dari perawat membuat tubuhnya seakan lemas, tulang-tulangnya remuk dan hatinya begitu sakit. Papahnya telah tiada bahkan saat dia belum sempat memberitahukan bahwa dia akan menjadi seorang dokter seperti dirinya.
Mengingat itu membuat Gibran meremas surat itu hingga menjadi tak beraturan. Hatinya benar-benar sakit. Ditambah lagi saat melihat mamahnya yang menagisi jasad papahnya membuat Gibran bertanya tanya apa ini semua ? Papah pernah bilang bahwa Allah akan mengabulkan semua doa orang yang mau berdoa padaNya dengan tulus dan Gibran sudah melakukannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan disepertiga malamnya, saat orang lain terlelap tidur Gibran bersujud meminta agar papahnya diberikan kesembuhan tapi nyatanya apa? Dia bahkan juga sudah menuruti permintaan papahnya untuk menikah di usia muda, Gibran tak menyangka jika itu akan benar-benar menjadi permintaan terakhir dari papahnya. Allah telah mengambil papahnya bahkan saat dia sudah rajin berdoa.
Jadi untuk apa dia sekarang berdoa jika semua tidak ada gunanya? Batinnya bergejolak antara ini adalah takdir dan ini adalah karena Tuhan telah merebut paksa papahnya. Saat ini iman seorang Gibran tengah diuji oleh Allah.
Lalu bagaimana jika hati yang penuh benci ini jatuh cinta? Apakah dia juga percaya pada cinta ? Yang nyatanya cintapun tak sanggup membuat hidup seseorang bertahan lama.
Ini tentang bagaimana kita menyikapi takdir dari Allah. Tentang hati yang tersesat dari jalan Allah karena tak sanggupnya dia menerima takdir. Dan ini tentang bagaimana pernikahan Gibran dan Maryam yang baru berlangsung dua hari yang lalu itu, apakah itu bisa merubah keadaan?
(Bukan) Cinta Maryam
***
BCM versi baru prolog udah meluncur yaa^^Banjarbaru, 5 Feb 18
KAMU SEDANG MEMBACA
(Bukan) Cinta Maryam ?? Di UNPUBLISH sebagianSELESAI
RomanceMaryam El-Barack " Jadi jika lo tidak percaya akan takdir, lalu lo sebut apa pernikahan kita ini? Sebuah kebetulan ?? " Muhammad Gibran "... " jadi apakah Gibran (bukan) cinta Maryam? Sumber foto : google