Sebuah kecelakaan motor di simpang jalan melibatkan seorang pemuda dan gadis sebaya.
Batapapun Tara di posisi benar, Pipit masuk rumah sakit dan divonis gegar otak. Pipit jadi bisu juga lumpuh.
Sementara Taratumpu, nama kecil Tara, hanya luka lecet di beberapa bagian tubuhnya dan memar. Ia cuma perlu obat merah dan tukang urut.
Segala kebenarannya tiba-tiba seperti hujan sehari setelah kemarau panjang.
Orangtua Pipit tidak menerima keadaan ini.
Ndopita, nama asli Pipit, anak semata wayang dan sebentar lagi menikah.
Lantaran Pipit lumpuh, si calon suami batal menikahinya.
Tara bukan saja diserahi tanggung ongkos pengobatan tapi juga kewajiban tak masuk akal.
Orangtua Pipit menuntut pria 25 tahun menikahi Pipit.
Mereka beranggapan, lantaran ulah Tara maka Pipit menjadi seperti ini. Jadi, Tara harus membayar masa depan Pipit yang kelam dengan menjadikannya istri. Impas.
Sebenarnya, Pipit bukan saja tidak punya masa depan tapi juga kehilangan masa lalu. Memorinya hilang, di usia 21.
Orangtua Tara tidak masalah dengan hukuman ini asal jangan anaknya dibui..
Akhirnya, keduanya pun dinikahkan di rumah sakit. Mempelai wanita dan pria terbaring di pelaminan.
Pernikahan dilakukan diam-diam, hanya sebatas keluarga intim serta petugas urusan agama.
Sejak itu Tara diserahi merawat penuh Pipit di RS.
Betapa marahnya pacar Tara mendengar kabar itu. Keduanya terlibat pertengkaran hebat.
Sekuat apapun Tara menjelaskan, pacarnya memilih pergi.
Cinta Tara hancur tapi tentu saja tidak seburuk Pipit.
Berpikir sampai di situ, Tara muncul iba pada Pipit.
Lama kelamaan Tara dan Pipit mulai akrab dalam bahasa isyarat.
Boleh dikata, Pipit tinggal matanya yang membersitkan kehidupan, dan tentu saja napasnya.
Tara berusaha keras menciptakan isyarat yang bisa dimengerti Pipit.
Misalnya kalau Pipit setuju maka Pipit harus mendelikkan matanya ke atas. Kalau tidak setuju, Pipit hanya menggerakkan bola matanya ke bawah.
Tara pun mulai sayang Pipit. Terlebih Pipit memang cantik. Ia perempuan rebutan. Seorang pengusaha jati berhasil membuat orangtuanya jatuh cinta dan menyetujui anaknya dikawini.
Pipit yang patuh pada orangtua bersedia menerima pengusaha itu jadi suaminya. Tiba-tiba musibah datang.
Bahkan dalam kondisi sakit, Pipit masih cantik. Sepertinya benturan di kepalanya tidak begitu hebat melainkan hanya membuatnya benjol, tapi mengapa efeknya separah ini.
Suatu malam dalam pengaruh alkohol setelah keakraban yang terjalin baik, Tara memecah sepi dengan menggoda Pipit sedikit nakal. Dari isyarat matanya, Pipit tampaknya tidak masalah.
Tapi tanpa sadar Tara bertindak sangat jauh sampai membuka celananya dan celana Pipit.
Pipit mangatup matanya. Dan terjadilah.
Tara menjadi binal sampai lupa bahwa Pipit tidak dalam kondisi normal. Tara mengesampingkan semua itu. Ia telanjur dilanda gelora membara.
Di sisi lain, Pipit jiga menikmati malam pertamanya. Uratnya menegang, syarafnya mengejang, sum-sumnya mendidih.
Matanya yang berbinar mendelik ke atas, setinggi-tingginya.
Bila Tara mendekati puncaknya, ia mengeratkan gelungan tangannya di tubuh Pipit.
Pipit menggeliat pertanda ia juga siap meledak. Napasnya keduanya turun naik.
Tak lama kemudian Tara mengerang hebat. Pipit mendesah, lebur, hilang dalam samudra kenikmatan.
"Aku mencintaimu Pipit" desah Tara, setelah napasnya kembali. Ia belum juga turun dari menindih Pipiti. Peluhnya membusai.
Di sisa-sisa kenikmatan itu ia tersenyum waktu sebuah suara lembut menyapa telinganya.
"Aku juga mencintaimu Tara,"
"Apa?" Tara serta-merta berteriak, melompat, dan jatuh di samping Pipit. Senyumnya berubah perangah," Kau,..apa kau bilang tadi?"
'Plak,"
Bibir Tara pecah dan berdarah waktu telapak tangan Pipit mendarat di mukanya.
"Syukurlah, kau sudah pulih. Tapi bagaimana ceritanya?" kata Tara tersenyum lebar, giginya merah.
Pipit tidak kalah terkejut. Dalam terkejut, lidahnya kelu, tubuhnya kaku. Perlahan-lahan rebah.
Cepat-cepat Tara memeluknya, membenamkannya di dadanya, meneriakan nama perempuan itu berulang-ulang. Tiada respons.
Air mata Tara pecah terurai. Putus asa.
Di dalam pelukan, mata Pipit terkatup rapat tapi bibirnya menyunggingkan senyum. Senyum kemenangan. Terlintas di benaknya penggalan kalimat Emily Bronte: When the pulse begins to throb, the brain to think again. (Watonea, 2017)
KAMU SEDANG MEMBACA
Getar Serebrospinal
Short StoryTak disangka kecelakaan itu membawanya ke pelaminan. Dalam keadaan lumpuh layu dan bisu, ruang ICU sekaligus menjadi kamar pengantinnya.