Prolog

79 30 45
                                    


  Dari balik pintu terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat dan tepat sekali pintu itu akhirnya terbuka menampilkan wajah paling rupawan.

  "Hei," sapanya. "Apa kabar?" dia sedikit tertawa yang terkesan dipaksakan.

  "Sekarang gue di sini." dia menghela napasnya lalu menjatuhkan pantatnya di kursi.

  Dia menghela napasnya lagi lalu mengacak rambutnya frustasi, dia meraih bantal sofa di dekatnya dan mulai membenamkan kepalanya di sana.

  "Lo tau apa yang gue suka dari lo?" Tanyanya tanpa berharap jawaban, dia mencoba tersenyum, saat tersenyum bibirnya menipis dan berwarna cerah.

  "Ok, gue tau ini salah gue. Semua ini gara-gara gue. Dan, sekarang gue sadar. Mungkin apa yang terjadi di antara kita ....." kalimat itu mengambang di udara. Sisa kalimat itu berat untuk dikatakan karena terbaca dari ekspresi wajahnya yang frustasi.

  "Gue yang terlalu ambisius ..." suaranya nyaris tak terdengar, terlalu lirih karena hal itu membuatnya merasa bersalah.

  "Gue gak pernah peduliin semuanya. Padahal lo di depan gue, mencintai gue dengan tulus. Tapi, apa yang gue lakuin? Menatap jauh ke masa depan." lagi ia tersenyum yang sangat di paksakan.

  "Lo tau? Gue menyesal dan terlambat menyadarinya. Boleh gue jujur sekarang?" dia terdiam dan tengah menyiapkan dirinya untuk melanjutkan ucapannya.

  "Dulu gue pernah sayang sama lo, lebih dari sayang. Cinta? Entahlah gue gak ngerti bahkan gue gak berharap bisa mengenal kata itu, tapi gue merasakannya. Semua itu imbas dari perasaan lo selama ini."

  "Gue terlalu bodoh karena menghindari itu semua, gue terlalu bodoh karena takut mengenal cinta. Entah apa yang ada di pikiran gue waktu itu. Gue cuma gak mau kalau sampai cinta ngerusak semua rencana yang udah gue susun 3 tahun yang lalu." dia menghela napasnya lagi.

  "Gue terlalu bodoh karena terus menghindari perasaan padahal gue bahagia dengan lo yang selalu melindungi gue dari fans-fans agresif di sekolah, lo yang selalu marah kalau gue tinggal dengan tumpukan buku tebal yang lo pinjam dari perpustakaan, gue gak pernah menganggap penting perhatian lo yang membuat gue senang, gue yang selalu marah saat lo peluk gue tiba-tiba walaupun sejujurnya gue nyaman ..." dia terdiam sejenak, kini dia menatap langit-langit agar air matanya tidak jatuh.

  "Kejutan indah yang gak pernah bisa gue lupa, saat lo membawa gue di bawah derasnya air hujan, saat gue merasa lelah dengan ambisi gue. Lo membuat gue melepas semua rasa lelah dengan menari dan tertawa di bawah derasnya air hujan waktu itu, bahkan kita gak peduli dengan seragam sekolah yang sudah basah kuyup."

  Dia tersenyum saat mengenang salah satu momen terbaik yang pernah mereka lewati.

  "Tapi sayangnya gue gak sekuat lo, gue jatuh sakit setelah melalui hal yang membuat gue bahagia. Dan gue masih ingat gimana paniknya lo waktu itu."

  Dia berhenti bicara. Kini, dia berdiri dan mendekatkan bibirnya pada telinga Davika. Bibirnya sedikit menyentuh telinga Davika dan berbisik "Aku masih mencintaimu. Aku masih menyayangimu. Aku ..."

  Dia menggantung kalimatnya. "Aku dan kamu gak ada lagi lo gue, seperti yang kamu mau." ucapnya lalu mengecup kening Davika yang masih diam seakan raganya membeku.

  Dia pergi meninggalkan Davika dengan satu harapan Davika akan memanggilnya, menahannya agar tidak pergi.

  Dia berhenti melangkah dan menoleh ke belakang, dia menghela napasnya dengan berat karena Davika tetap diam sampai dirinya berada di balik pintu dan berlalu pergi.


Dellaantica.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 03, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I am DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang