MITOS {Short Story}

853 40 8
                                        

Karya: HalfBloodElf

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karya: HalfBloodElf

Ada beberapa mitos seputar tujuh belas Agustus di daerahku. Beberapa cukup konyol, seperti peserta lomba makan kerupuk yang paling tengah cenderung berisiko kalah, penarik tambang terdepan akan memiliki nasib sial selama tujuh belas hari, sampai yang cukup serius, dan ini paling serius.

Tanggal 17 Agustus, semua orang tidak boleh menyebut kata 'mati'.

Aku serius. Ini benar-benar melegenda, setidaknya di sekolahku, ketika umurku kurang dari sepuluh tahun dan tidak berani tidur sendiri di kamar yang gelap. Desas-desus ini sudah berkembang sejak beberapa tahun aku di sekolah itu, terus disebarkan dari mulut ke mulut, turun temurun ke para adik kelas. Semua temanku berhati-hati untuk tidak menyebut kata terlarang itu, termasuk aku sendiri.

Hari itu adalah pagi 17 Agustus penuh semangat yang biasa, di mana semua anak-anak yang lebih kecil dibebaskan dari sekolah dan upacara wajib. Aku dan adik yang empat tahun di bawahku sepakat untuk sarapan lebih pagi, kemudian keluar ke jalanan, menggenggam tongkat balon yang ditempeli bendera merah putih plastik di atasnya. Kami berlari dengan tidak sabar ke taman kompleks, tempat sebuah panggung dan berbagai peraga disiapkan, walaupun acara baru akan dimulai siang nanti. Aku yakin, pasti beberapa anak lain sudah berjaga di sana, berkumpul di sekitar plastik besar berisi kerupuk dan menanti seseorang untuk membukanya, seperti yang selalu kami lakukan setiap tahun. Menunggu jatah gratis.

Aku tidak tahu apa yang ada di pikiranku saat itu, tapi melihat bendera plastik yang berkibar di tanganku ini membuatku teringat dengan salah satu mitos yang paling mengerikan. Menoleh ke arahnya, aku menimbang sesaat, sampai kemudian memutuskan untuk menurunkan informasi keramat ini pada adikku meskipun ia belum memasuki Sekolah Dasar.

"Hasan," panggilku. Sebenarnya dia perempuan, dan namanya hanya San. Tapi karena dia adikku, dan aku selalu berprinsip untuk tidak menyenangkannya, jadi aku sengaja memanggilnya begitu. "Kau tahu tidak, tanggal 17 Agustus kita tidak boleh bilang satu kata."

San tampak tertarik dengan ucapanku dan tidak memedulikan panggilanku padanya. "Apa?"

Aku memperagakan telunjuk yang menggorok leher dengan mata yang sengaja dibelalakkan untuk menakut-nakutinya.

"Potong leher?" lirihnya ketakutan.

"Bukan," sergahku. Beberapa anak di taman memanggil kami dari kejauhan. Aku dan San melambai, berlari lebih cepat menghampiri mereka.

Seharusnya kami melupakan soal itu dan tidak membahasnya lagi. Tapi malamnya, ketika kami hendak tidur, San kembali mengungkit tentang 'kata terlarang' tadi.

"Tidak boleh bilang," kataku serius, senang karena berhasil membuatnya penasaran sampai ketakutan. "Pokoknya begini."

Karena kami berada di tempat tidur, aku berpura-pura kejang-kejang, menutup mata, lalu kepala terkulai ke samping dengan dramatis. Sedetik kemudian aku kembali memelototi San sambil menunjuk bibirku dengan telunjuk. "Sst. Tidak boleh bilang."

San tampaknya mulai paham. "Kenapa?" bisiknya.

"Nanti bisa mati."

Kemudian rasanya seperti ada batu raksasa yang menghantam kepala, lalu menekan dadaku hingga kesulitan bernapas. Tubuhku membeku, dengan keringat dingin yang mulai mengalir di dahi. Aku tidak berani bergerak, apalagi mengeluarkan sepatah kata pun.

Aku sadar aku sudah mengucapkan kata itu. Dan sekarang masih 17 Agustus.

San memanggilku dengan kebingungan. Sepertinya ia tidak menyadari kesalahan fatal yang sudah kulakukan. Setelah beberapa menit mengajak ngobrol tanpa hasil, akhirnya ia menyerah dan tertidur.

Tidak denganku. Di kepalaku masih terngiang sebuah kata yang menghantui pikiranku.

Mati. Mati. Mati.

Aku belum ingin mati. Ulangan bahasa Indonesia-ku belum dibagi. PR MTK masih ada lima nomor yang belum siap. Aku belum memakai baju baru yang disimpan untuk hari raya nanti.

Mati. Mati. Mati.

Mungkin kau tidak tahu, kalau hal itu cukup berat bagi anak berusia kurang dari sepuluh tahun. Sepanjang malam itu aku tidak bisa tidur, terus berdoa kepada Tuhan untuk mengampuni semua kecerobohan yang kulakukan.

Kau tahu apa bagian terbaiknya?

Semua itu memang hanya mitos.

.
.
.
_END_

Merdeka! [Event]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang