Sebuah terik di siang hari. Saat sekumpulan manusia berseragam berjajar menanti angkutan yang berderet di tengah kemacetan. Seketika terlintas sebaris kalimat dalam puisi ciptaan Taufiq Ismail, “Kita adalah manusia bermata sayu yang di tepi jalan mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh”. Sebuah puisi yang berisi protes sosial terhadap keadaan yang ada.
“Permisi mbak”.
Seorang lelaki menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku. Tampaknya seorang pendatang. Seorang lelaki muda dengan ransel di punggungnya dan secarik kertas di tangannya. Mungkin hendak bertanya kalimat.
“Ya? Ada apa mas?”, jawabku tenang.
“Mau tanya, kalo mau ke alamat ini harus naik angkot yang mana ya?” tanyanya sembari menyodorkan secarik kertas di tangannya.
“Ooh, kalo alamat ini, nanti mas cari aja angkot yang warnanya kuning, tapi bagian bawahnya biru”, jawabku yang kemudian diikuti anggukan kecil dari lelaki yang tengah berdiri di sampingku itu.
“Tapi mas pastiin dulu, angkot itu bener jurusan yang mas tuju apa bukan. Soalnya angkot yang itu ada 2 jurusan”, tambahku. Yang kulihat kini hanya dirinya yang diam tanpa kata.
“Mmm, kalo mas bersedia, mas bisa bareng saya. Kebetulan saya juga naik angkot yang sama”, tawarku.
“Oh, boleh mbak. Terima kasih”. Kini kulihat senyum yang menyimpul di ujung bibirnya dan juga tetesan keringat di pelipisnya.
“Ah, itu angkotnya. Mari mas”, ajakku. Kulambaikan tangan pada teman – temanku dan berjalan menaiki angkot yang diikuti oleh pemuda tadi.
Seperti biasa, Ambarawa di siang hari sangatlah menyengat. Klakson yang bersahutan menambah kebisingan. Entah apa yang membuat kecamatan kecil ini macet. Mungkin juga karena angkot yang ngetem sembarangan. Bisa juga pembangunan halte yang kurang strategis.
Ah ya, aku melupakan pemuda tadi. Rupanya dia sudah duduk di sampingku. Kau mau tau seperti apa dia? Entahlah. Aku tidak begitu memperhatikannya. Dari sampingku dia tinggi, mungkin lebih dari 175 cm. Kulitnya putih terawat. Mungkin juga keturunan orang berada. Ku taksir umurnya masih 19-an.“Mas bukan orang sini ya?”, tanyaku memecah keheningan. Angkot yang kutumpangi kini tengah berjemur di depan sebuah pasar. Pasar Projo namanya. Sebuah pasar tradisional berlantai tiga. Awalnya hanya ada dua lantai. Setelah kebakaran yang melahap hampir seluruh kios pedagang beberapa tahun lalu, kini bangunan itu mengalami sejumlah pembaharuan.
“Iya. Saya asli Jakarta”, jawabnya singkat.
“Ooh...”, aku hanya mengangguk mendengar jawabannya. Kulihat dari raut wajahnya sepertinya moodnya sedang tidak bagus. Aku memilih untuk menyudahi saja percakapan ini.
Angkot yang kutumpangi kini mulai sesak. Satu per satu penumpang mulai berbagi udarapernapasan mereka. Kebanyakan dari mereka adalah ibu – ibu pedagang dari pasar yang kuceritakan tadi. Posisiku kini ada di barisan paling belakang dari bangku angkot yang memanjang. Dan pemuda itu masih berada di sampingku.
Udara panas dari luar angkot mulai terasa saat angkot kuning biru ini melaju perlahan. Meninggalkan persinggahannya.
“Mas, kita udah mau sampe”, ucapku setelah hampir 30 menit duduk diam selama perjalanan.“Oh, iya”.
“Dua ya pak. Makasih”, ucapku saat membayarkan ongkos kepada sopir angkot yang kutumpangi tadi.
“Loh, kok kamu yang bayar?”
“Ngga apa – apa mas. Sama tamu di desanya sendiri kok. Oh iya, kayanya kita harus pisah di sini. Saya ada keperluan lain. Mas nanti jalan lurus aja. Nanti ada pertigaan mas tanya aja orang daerah situ, udah deket sama alamat yang mas tuju kok”, jelasku.
“Iya, makasih. Tapi ongkosnya gimana?”
“Ganti aja kalo ketemu lagi, hehe. Mas hati – hati ya. Assalamualaikum”, ucapku setengah berteriak sambil berlari meninggalkan pemuda itu.
Kita berpisah disini. Di persimpangan jalan, di depan sebuah pos kamling bercat biru tua.
-
Halooo. Makasih udah setia sama R - aja. Gimana menurut kalian part 1? Oh ya, menurut kalian part 1 ini gimana? Kepanjangan / kependekan / pas? Jangan lupa kasih kritik dan sarannya yaa ^.^
Jangan lupa vote juga. Ketemu lagi di part selanjutnya.
See uu ^o^
KAMU SEDANG MEMBACA
R-aja
Teen FictionApa jadinya jika seorang gadis belasan tahun memikirkan nasib bangsanya? Apa jadinya jika pemuda pendamba kebebasan melalui permainan takdir dipertemukan kepadanya? Akankah melalui permainan takdir pula mereka akan dipersatukan atau justru dipisahka...