Sign Up

21.7K 1.6K 68
                                    

Arsee menjatuhkan keningnya ke atas meja menyebabkan dua gelas soda dan sepiring kentang goreng bergetar. Beberapa pengunjung di sekitar melirik penasaran lalu kembali ke kesibukan mereka masing-masing.

Elfin yang duduk semeja bersama Arsee sudah tidak peduli pendapat orang soal kelakuan juniornya ini. Orang-orang itu juga tidak membayar makanan di atas meja mereka.

Who cares about others? I used to see how abnormal she is.

"Ar, pulang yuk!'' Ajak Elfin yang sudah gerah nongkrong di McD lebih dari dua jam. Perutnya sudah kenyang makan varian menu dan kakinya pegal bolak-balik mengantri pesanan yang bikin nagih.

"Nanti aja," desis Arsee frustasi. 

Kedua alis Elfin menyatu. Ini bukan aktivitas favoritnya, menghabiskan malam minggu di luar kamar kost tapi mendapat pesan Arsee di sore hari membuat tangannya mengetik 'Ok' untuk ajakan makan di luar.

"Kan udah makan. Udah kenyang. Mau ngapain lagi?'' Elfin menjaga tone suaranya tetap lembut.

Arsee mengangkat kepalanya. Menatap nanar pada Elfin.

"Kaaak!''

Elfin mengangguk ragu-ragu dipanggil dalam nada pilu Arsee. Kepalanya berspekulasi terhadap jutaan hal buruk yang tengah menimpa gadis muda itu.

"Bantu aku," lirih Arsee dengan mata berembun.

Tubuh Elfin condong ke depan. Kedua tangannya mengait di atas meja. Dia makin tidak nyaman melihat kesenduan Arsee yang sudah dia anggap adik kecil walau sebagian besar waktu yang dia habiskan bersama Arsee selalu menguras emosinya.

"Ya, kenapa? Cerita ama gue, Ar.''

Bibir Arsee bergetar. Dan sebulir air turun ke pipinya. Elfin mengusap air mata Arsee menggunakan ujung telunjuknya.

"Cerita, Ar," bujuk Elfin.

Arsee mengotak-atik ponselnya. Elfin tidak melepaskan matanya dari semua gerakan Arsee. Sampai layar ponsel itu beralih ke depan wajahnya.

Elfin melihat yang terpampang di layar itu tapi otaknya tidak bisa menjangkau maksud Arsee. Tidak sama sekali.

"Maksudnya?''

Arsee mengusap air matanya. "Ini foto teman-teman aku pas SMA, mereka kaya group dating gitu. Nggak ngajak aku karna aku nggak punya pasangan, kak.'' Setelah itu, Arsee terisak dan Elfin menganga.

Butuh beberapa detik bagi Elfin untuk pulih dari keterkejutan. Dia merapalkan semua pesan Sherly untuk menjaga emosi demi menolak wrinkles di penghujung usia dua puluhan.

Cara itu ampuh mengusir makian dan jambakan yang akan dia lancarkan kepada Arsee.

"Ar, apa pentingnya mereka groupie gitu? Cuekin. Nggak penting banget punya teman yang kayak gitu," kata Elfin. Dia berusaha keras tidak terdengar galak walau suaranya masih ketus.

Arsee menggeleng cepat. "Bukan itu masalahnya.'' Elfin menyipit. "Dari foto mereka, aku baru ngeh kalo aku belom pernah dirangkul ama cowok.''

Elfin membuang napas kasar. Lawan bicaranya memang di luar batas. Jutaan spekulasi yang masuk kepalanya langsung mental. Arsee tetaplah Arsee yang tidak mudah ditebak.

"Penting banget dirangkul?'' Elfin menatap sinis. Dirinya semakin susah mengatur emosinya yang nyaris meledak.

Arsee menatap menantang pada Elfin. "Kakak nggak tau gimana perasaan aku karna kakak udah punya banyak pengalaman ama cowok. Aku aja nggak tau kakak masih segel apa udah copot.''

Telunjuk dan ibu jari Elfin langsung memintir telinga Arsee. "Jangan asal ngomong! Gue masih segel, fyi. Gue tau batasan gue," desisnya dengan bibir yang nyaris tidak membuka.

Start Under Your NoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang