T A K D I R

44 0 0
                                    

   Lama tak terlihat, gembel itu kembali bertingkah. Ia menjajarkan koran di trotoar kota metropolutan. Matahari sudah 40 derajat condong ke Timur. Debu dan angin menerpa badan dan korannya yang kering. Tapi ia selalu bersuara seperti kambing yang belum diberi makan.
   "Ayo bu, pak! Korannya bagus. Banyak berita menarik."
   Hanya suara kendaraan bermesin yang mendengar suara falsnya itu. Tak ada orang yang mau mendengarkannya. Entah karena suara yang fals atau orang-orang tak lagi minat membaca karena terpaku pada telpon genggamnya. Mungkin juga orang-orang jijik melihat tubuhnya yang kurus dan penuh lendir hitam tanpa busana.
   Gembel itu kembali menyeruput air ledeng yang keruh. Hanya air ledeng, ubi rebus tak ada. Air ledeng pun ia ambil dari Masjid dekat kantor pos. Sudah lama menunggu pembeli, gembel itu bosan. Ia membolak-balik dagangannya, hanya membolak-balik. Ia tak membacanya, ia tak bisa membaca. Memang pendidikan di Negeri kita seperti itu, hanya yang punya uang yang bisa menerima pendidikan. Sesekali gembel itu mengeluh dalam hati yang membuat bibirnya terbuka.
   "Ah sepi sekali hari ini, aku hanya menjual 7 koran dari 20 buah koran. Tapi tak mengapa, hasil hari ini cukup buat makan adikku, Sulastri." bibirnya bergetar tak beraturan.
    Supriyanto nama gembel itu, ia biasa dipanggil yanto. Kedua orang tuanya sudah terkubur dalam tanah, bapaknya meninggal karena malaria. Ibunya meninggal karena keracunan makanan yang ia makan dari gunungan sampah di Ibu kota. Hidupnya tak karuan, Ia tinggal di gubuk pinggir sungai bersama adiknya. Gubuknya pun hanya 3 x 4 meter, hanya ada satu ruangan. Dapur dan kamar tidur ada diruangan itu. Tak ada lampu, tak ada listrik juga tak ada wc. Ia dan adiknya selalu mandi dan buang hajat ke sungai samping rumahnya yang banyak ditumpuki sampah organik maupun non organik.
   Lakon senja habis sudah, gembel itu melipat koran-korannya dan menyimpulkan dengan tali rafia. Tiba-tiba gembel itu mengingat adiknya yang sakit. Sejak lahir Sulastri memiliki penyakit bronkitis, terkadang setiap hari ia batuk darah. Sukar buat si gembel untuk memeriksanya ke rumah sakit.
   "Di Indonesia, orang-orang miskin seperti kami dilarang sakit. Semuanya harus bayar! Kalau ada uang segera diperiksa. Jikalau tak ada uang silahkan pulang!"
   Ucap gembel sampai urat-urat tuanya mengakar.
  "Ah! Bicara apa aku ini, aku harus segera ke rumah pak anwar dan pulang untuk menemui Ningsih."         Sambung gembel itu lirih.
   Melangkahlah si Gembel dari trotoar jalan. Dengan bertelanjang kaki ia berjalan. Kerikil-kerikil tajam siap menghalang selama perjalanan. Sebagian tubuhnya yang kurus disinari lampu taman, tapi segeralah menghilang. Daun-daun merayu angin buat menendang-nendang tubuhnya yang kusam. Selama berjalan ia tetap bergumam tak karuan.
     Sampailah gembel itu di Rumah Pak Anwar.
    "Pak! Pak! Pak! Ini aku Supriyanto, Yanto!"
   Ucap gembel tak sabar sembari mengetuk-ngetuk pintu rumah Pak Anwar yang terbuat dari kayu Mahoni.
   Lantai rumah Pak Anwar melongo memandangi gembel yang urak-urakan. Srerettt terdengar suara pintu yang ditarik kedalam oleh Pak Anwar.
   "Iya To, berapa koran yang kamu jual hari ini?"
   Ucap Pak Anwar tanpa basa-basi.
"Aaa, aa, anu Pak! Aku hanya mampu memjual 7 koran."
   Jawab gembel itu dengan badan yang terguncang.
"Ya sudah, ini upahmu hari ini, terima kasih ya"
   Sergap Pak Anwar dengan tenang.    Gembel itu hanya menerima upah 3000rupiah, tangannya menyambar uang itu tanpa keragu-raguan. Sunyi menyelimuti kedua orang ini, gembel terdiam. Ia hanya bisa bicara dalam kepala.
     "Kalau cuma 3000 aku tidak bisa belikan Sulastri makanan, apa harus aku bon lagi? Ah! Ini demi Sulastri adikku."
    Tanpa ragu gembel itu bicara seperti buruh yang memimta haknya.          "Pak, aku bon lagi ya. Adikku kambuh lagi, tolong aku pak!"
     Kakinya ia lipat kebelakang dan menundukkan kepala pada lantai yang bengong memandanginya.
     "Oh iya, Sulastri adikmu sakit lagi ya. Aku kasih kamu uang 5000 termasuk upahmu. Jangan anggap sebagai bon, ambil saja. Adikmu lebih membutuhkan."
    Segat Pak Anwar.
    "Iya, matur nuwun pak. Matur nuwun."
     Bibirnya yang kering tak henti mencubit tangan pak anwar. Pak Anwar kembali masuk kerumahnya, sunyi kembali menemani gembel itu.         "Aku harus cepat! Beli makan dan pulang kerumah."
    Ucap kere itu senang.
   Sesampainya dirumah(baca: gubuk) yang hanya diterangi satu per empat potong lilin. Sulastri sedang membaca buku-buku non fiksi yang ia pinjam dari perpustakaan.
    "Dik!  Dik! Abang pulang! Mari makan, abang bawa nasi padang." ucap gembel itu.
    "Iya Bang."
  Samber Sulastri. Mereka menyantap sebungkus nasi padang yang lauknya tempe dan sayur-sayuran.
     "Bang, Sulastri tadi dipanggil kepsek. Suruh bayar spp yang 6 bulan itu."
    Ucap Sulastri sambil mengunyah-nguyah nasi padangnya. Gembel itu mengusap mulutnya yang dipenuhi nasi.
     "Iya Dik, nanti abang usahakan minggu depan. Bagaimana dengan kawanmu rani, nina dan laras, apa mereka masih mengejekmu?"   Sambung gembel mengalihkan pembicaraan.
    "Oh itu. Seperti biasa bang, Rani selalu bilang aku tak pantas sekolah karena tak punya sepatu. Nina selalu bilang aku tak pantas sekolah karena hanya pakai tas dari karung goni, dan Laras bilang aku anak gelandangan."   Ucap Sulastri sambil menenggak air putih yang agak panas.
    "Biarkan saja mereka menghinamu, kamu harus buktikan kalau kamu bisa jadi orang yang berguna buat orang banyak."
    Sambung gembel itu sok bijak. Nasi yang mereka makan sudah habis tapi masih terdengar suara gremoncong dari perut mereka. Seperti dadu yang dimasukkan dalam kaleng yang dikocok-kocokkan. Lilin yang mereka bakar sudah padam apinya, begitupun dengan mereka yang mulai terlelap dalam dinginnya kemlaratan.
   Seminggu kemudian, gembel bisa membayar spp Sulastri. Tapi hanya membayar 3 bulan, sisanya ia terus usahakan. Sakit Sulastri makin menjadi-jadi. Darah yang dipilurkan dari mulut makin kental dan hitam, air mata dan darah selalu berdzikir berdetak. Gembel itu bingung tak kepalang. Ia sudah tak punya uang. "Apa yang harus aku perbuat sekarang?"
    Keluh gembel ditemani air mata yang mengucur deras.
    "Bang, Sulastri tak kuat lagi."
    Suara Sulastri tak berdaya. Tangis gembel makin menjadi-jadi seperti kera yang terhimpit pintu lemari.   "Tolong dik, jangan pergi! Jangan tinggalkan abang!"
   Bibir gembel bergetar dirayu air mata yang berlinang.
   "Bang, Selamat tinggal."
    Ucap Sulastri yang tak lagi bernadi. Gembel itu berteriak sungguh kencang seakan gubuk yang mereka tempati runtuh akan frekuensi suaranya. Gembel itu mendekap tubuh Sulastri dengan hebat. Ia Seakan-akan gila sesaat. Kini gembel itu tak punya sanak saudara, ia hanya sebatangkara yang dihujani hujan.
   Gembel itu bertingkah tak karuan. Ia Termangu-mangu dalam gubuk yang kian ditusuk-tusuk sepi. Akhirnya gembel itu melangkah meninggalkan gubuk kenangan adiknya Sulastri.
     "Dik! Aku menyayangimu. Ibu aku mencintaimu. Bapak, aku ingin memelukmu. Aku ingin bertemu kalian keluargaku!"
    Ucap gembel bagai sumpah serapah kepada Tuhan sambil mendongakkan matanya di angkasa murka.
   Gembel itu berjalan dengan sempoyongan bagai orang yang mabuk semalaman. Sesekali ia terjungkal ke aspal yang memanas karena cahaya semesta. Yang ia lihat, yang ia dengar, dan yang ia rasakan hanya ketidakadilan hidup yang disandiwarakan Tuhan.
   Malam makin bertaring-taring, menampar-nampar beban hidup yang kere jalankan. Mengoyak-ngoyak tubuh gembel yang haus keadilan Tuhan.
    "Apa yang harus aku lakukan? Ucap gembel sambil menggandeng belati di tangannya. Senyap malam itu. Kere itu melihat kembali belati yang digandengnya. Matanya memancarkan keragu-raguan. "Engkau dimana Tuhan? Adikku sakit kau tak menengoknya, kami kelaparan kau tak memberi makan, kami butuh uang tapi kau tak memberikan. Hidup macam apa ini Tuhan?! Apa kau tak bisa melihat? Apa kau tak bisa mendengar? Apa kau tak bisa merasakan? Apa kau tak bisa sedikit saja menikmati kemlaratan hidup keluargaku yang kumal?" ucap gembel dengan kesedihan. Di atas gunung, gembel itu bertengkar hebat dengan amarahnya. Tak ada bunyi manusia, hanya ada bunyi alam yang berirama tenang namun mencekam.
Gembel menusukkan belati ke tengah jantungnya namun ia mati sebelum belatinya benar-benar menancap. Kunang-kunang mengejek gembel itu dengan menyala-matikan lampu tubuhnya seperti diskotik, akar rumput pun ikut menertawai kepergian gembel itu ke alam lainnya. Diboyonglah gembel itu ke tempat yang jauh dari semesta.

T A K D I RTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang