SUARA hentakan dan erangan tanda kurang aliran air bening yang terasa panas di tenggorokan masuk dalam kuping seorang lelaki yang hanya menunduk memutar gelas kecil kosong di hadapannya. Badannya di sini, tapi pikirannya ada di mana-mana.Kancing kemeja hitamnya sudah terbuka semua, memperlihatkan kaos abu-abu longgar membalut tubuh tegapnya, jam hitam menunjukkan pukul 02.20 dini hari—melingkar di pergelangan tangan kiri lengkap dengan satu gelang berwarna senada. Rambutnya sudah acak-acakan karena memiliki hobi hanya disisir hanya dengan jemari. Celana khakinya ada beberapa bercak kecil basah yang terlihat di lutut, begitu juga dengan sepatu kets berwarna hitam di kakinya yang sedari tadi bergerak tidak menentu karena ia seolah hilang pijakan di atas kursi bulat tinggi.
Kesadaraan tinggal beberapa persen namun ia sanggup merasakan baru saja ada tangan lentik merayap dari bahu lalu turun ke punggung dan berakhir masuk ke dalam kemeja hitamnya.
Hingga lenguan terdengar di antara sahutan lagu bertempo cepat,
"Shit!"
Lelaki itu sadar tindakan itu bisa membawa hal buruk ; membawa dirinya pada akhir yang dapat menyalurkan hal yang lain.
Sial!
Suara halus dan lembut sanggup membuat dirinya bergumam tidak jelas di antara kesadaran yang menipis, seharusnya lelaki ini menurut untuk tidak lari ke tempat berpotensi tidak hanya menyalurkan suntuknya, tapi ke hal lain, seperti saat ini contohnya.
"Erlang..."
Posisi perempuan di belakang, sanggup membuat seorang Erlang mendongak, memutar balik tubuhnya. Perempuan cantik bergaun pendek warna hitam dengan rambut sebahu berdiri dengan senyum hangat namun ada keinginan lain di sana.
Jemari perempuan sangat cantik dan anggun dengan bentuk tubuh bak super model itu bergerak, mengusap bahu Erlang dibarengi menarik kemeja Erlang agar semakin dekat ke arah tubuhnya. "Kamu makin ganteng, Lang..." bisiknya. "I miss you."
Erlang justru bergumam, "Room?"
Erlang tidak pintar menolak, tetapi ia tidak bodoh untuk hanyut.
Perempuan itu tersenyum menang. "Okay. Sini aku bantu kamu berdiri."
Sebelum hal itu terjadi dan kesadaran seorang Erlang benar-benar habis tak tersisa, satu ingatan akan pesan sebelum ia lari ke sini berniang hebat di kepalanya.
Eza : jangan lupa, fisika 50 butir menantimu, nak. Atau Bu Farah nelan idup-idup.
Wajah Bu Farah terbayang di dalam ingatan seorang Erlang; kacamata bulat dengan pelototan maut, dan juga ceramah menasehati yang itu-itu saja. Andai saja masih ada taraf kurang ajar lebih di dirinya, ia akan tetap di sini.
Awas kamu bikin masalah aneh-aneh dan bikin gaduh lagi di kelas dua belas ini, kebiasaan tugas ga dikumpulin, saya panggil orang tua kamu. Saya serius ini, Lang.
Seharusnya Erlang tidak termakan ujaran penuh dusta Bu Farah. Karena setiap kali Erlang mengerjakan ujian nilainya selalu di atas rata-rata. Sepertinya Erlang sadar, alasannya menolak perempuan di depannya ini bukan hanya karena pesan Eza, namun juga bayangan seseorang yang menjadi alasan Erlang berakhir di sini.
Dan juga... dosa?
Sejujurnya, Erlang tidak yakin dengan point terakhir itu.
Erlang berdiri tegak. Merapikan kemejanya. Menyingkirkan lengan perempuan itu dari bahunya. "Nggak sekarang."
Yang perempuan menahan lengan dingin Erlang erat-erat. "Nggak mau!" tolaknya. "Semua orang tahu kita butuh ini sekarang."
Erlang menggeleng kuat menatap perempuan di depannya, meskipun ada sorot menyesal. "Nggak sekarang, Cha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance | ✓
Teen FictionTentang kita yang terbelenggu pada sesak dan rusuhnya jalan di depan sana. Ingin melupakan kilas lama yang sama, ingin menarik agar semua itu musnah dan melangkah pada angan yang diharapkan. Tapi semua tahu, semua angan itu terlalu tinggi... terlal...