1

1.6K 115 31
                                    

Aku berdiam diri di perpustakaan, layaknya perpustakaan di sekolah manapun, perpustakaan di asramaku ini sangat sepi. Aku menelungkupkan kepala. Mataku sudah akan tertutup rapat sampai aku terintrupsi suara tepuk tangan.

Prok.

Tepukan pertama, aku langsung bersembunyi di bawah meja panjang. Aku melipat kakiku hingga menyentuh dada.

Prok.

Tepukan kedua, membuatku merapalkan segala do'a yang sudah kuhapal sejak kecil. Aku meringkuk. Aku melihat seseorang-siswa laki-laki- berkaca mata hanya berdiri kaku dengan wajah pias. Sepertinya dia tidak tahu harus bersembunyi di mana.

Prok.

Tepukan terakhir. Aku kasihan pada seseorang itu dan berharap dia tidak akan kenapa-kenapa.

Prang.

"Aarrggghh!" sebuah besi tajam menembus kepalanya. Darahnya terciprat sangat banyak. Aku menahan mual saat bola matanya menggelinding dikarenakan tongkat besi itu menembus matanya.

"Hide or die! Hahaha....." suara dari pengeras suara itu nyaring membuat bulu kudukku berdiri.

Aku keluar dari persembunyian, aku berjalan ke arah jasad itu. Kasihan. Tapi, aku tak bisa berbuat apa-apa, mungkin besok aku yang akan mati mengenaskan sama sepertinya.
____________________________________

"Astaga! Jadi Leon yang menjadi korban kali ini?" Aku terduduk lemas mengingat kejadian kemarin, aku hanya mengangguk mengiyakan. "Astaga Tuhan! Kasihan sekali laki-laki tampan itu." Aku hanya mengedikkan bahu saat Alina hanya berceloteh. "Teman-teman, aku merasa aneh dengan semua ini." Yuji membuka suara, pemuda sipit di sampingku ini--ah, ya dia kekasihku-- mengeluarkan setumpuk kertas.

"Lihatlah! Di data yang ada di kertas, saat aku menjumlahnya, maka jumlah siswa saat masih lengkap dan setelah game sialan ini dimulai, jumlahnya sama. Tidak ada yang berkurang sedikitpun. Yang anehnya tidak ada nama baru dalam data ini." penjelasan Yuji membuatku penasaran untuk membaca data tersebut, sama dengan temanku yang lainnya.

"Kau benar, Ji. Begaimana bisa? Sedangkan nama Dion, Fani, dan Yunita atau yang lainnya sudah dihapus. Dan aku tidak melihat ada penambahan siswa baru di asrama ini." aku setuju dengan Tio. Alina ikut mengangguk. "Bagaimana menurutmu, Ana? Kau,'kan pintar." aku memutar mataku saat Qinta menggodaku.

"Jangan bercanda di saat seperti ini, Qin!" aku mendorong bahunya. Aku juga bingung, kenapa jumlah siswa asrama tetap sama sedangkan sudah banyak kematian tragis yang terjadi. Tidak ada penambahan siswa baru. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

Prok.

Sial. Suara tepukan yang itu sangat jelas karena pengeras suara. Kalian tahu? Saat ruang di mana pengeras suara itu dikendalikan diperiksa, tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalamnya bahkan ruang itu terkunci dari dalam dan luar.

"Ana kemari cepat!" Yuji menarik tanganku. Dia mendudukkanku di bawah meja, dengan dia memelukku erat. Aduh bukannya takut aku jadinya deg-degan.

Prok.

Tepukan kedua, pelukan Yuji makin mengerat. Dia membiarkan wajahku berada di dada bidangnya. Tubuhnya yang memang menjulang membuatku serasa kurcaci yang diselimuti saat dia memelukku.

Prok.

Tepukan ketiga, kali ini aku yang memeluknya erat. Aku merasa tubuhku terguncang.

Bum.

"Hide or Die! Hahahah....." Aku tidak tahu apa yang terjadi karena pandanganku terhalang tubuh Yuji. Seketika pelukan itu melemas. Yuji membantuku keluar dari bawah meja, dia membantuku berdiri. Saat mataku bertubrukkan dengan pandangan yang benar-benar menjijikkan. "Kasihan sekali." Aku membekap mulutku menahan sesuatu yang bergejolak di perutku.

Jasad perempuan itu tertimpa beton, kepalanya hancur berserakan sedangkan tangan kanannya terlepas. Aku tidak sanggup melihat. Bahkan aku tidak bisa tahu siapa pemilik tubuh hancur itu. Aku tidak tahan apalagi darahnya bagaikan lumpur yang berkubang. Sungguh menjijikkan.

"Aku takut, Ji." aku merasakan tepukan pelan di bahuku. Dia menghadapku, senyum manisnya benar-benar membantu. "Kematian adalah kehidupan selanjutnya lalu kenapa harus takut? Yang kamu harus takuti itu dosamu selama hidup dan.... Putus dariku." dasar laki-laki manis. Bisa-bisanya menggombal. "Kenapa aku harus takut putus darimu?" aku melihat raut takut? "Karena tidak akan ada orang yang akan memelukmu saat kamu takut." aku tersenyum.

"Yuji! Ana! Aku punya sesuatu untuk ku beri tahu pada kalian." aku melihat Tio berlari ke arah kami. "A-aku melihat seorang gadis keluar dari ruang kendali pengeras suara. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia sudah memunggungiku saat aku berlari dari kelas." Tio menceritakan semuanya tanpa diminta. "Apa dia memakai seragam sama seperti kita?" Tio mengangguk. "Apa kalian yakin dia juga siswa? Yang aku bingungkan kenapa hanya siswa? Kenapa guru dan staf tidak ada yang terkena eksekusi?" Yuji benar. Kenapa tidak ada satupun dari pihak guru yang terkena permainan sialan itu?

"Kita perlu menyelidikinya!" sahut Alina yang entah datang dari mana. "Kau yakin?" Bahkan ada Qinta. "Aku setuju, jika kita hanya diam mengantri untuk dibunuh maka masalah ini tak,'kan selesai." aku ikut memberi ide.

"Kalau begitu besok kita akan mulai menyelidiki hal ini." kami mengangguk. "Kita bagi tugas saja, Alina kau kumpulkan data kematian anak-anak, pasti mereka memiliki kesinambungan." Alina mengangguk mengerti dengan maksudku. "Tio dan Qinta, kalian  perhatikan keanehan yang menurut kalian logis untuk dijadikan alasan permainan gila ini dimulai." lalu aku beralih menatap Yuji. "Yuji dan aku akan memeriksa ruang kendali pengeras suara malam ini." Yuji mengangguk setuju. "Kamu yakin, Ana?" Tio melihatku ragu. "Bagaimana kalau aku dan Yuji saja, kamu dengan Qinta." aku menggeleng. "Aku lebih suka sesuatu yang menantang." mereka berdecih, kecuali Yuji yang hanya terkekeh. "Baiklah, besok kita akan bicarakan ini lagi, usahakan tugas yang ku berikan kalian kerjakan dengan benar." mereka mengangguk.

Aku, Alina, dan Qinta menuju ke kamar kami. Setiap kamar sebenarnya diisi empat orang, tapi karena teman sekamar kami yang satunya sudah menjadi korban membuat kami hanya bertiga, dan aku yang harus tidur sendiri.

Prang.

Kaca kamar kami pecah, aku melihat ada sebuah buntalan. Aku mengambilnya, ternyata sebuahbatu yang ditutupi kertas. Aku membukanya, melihat kertas yang tak kosong itu.

'Yang selanjutnya mati adalah kalian. Untuk itu bersiaplah karena aku mengincar kalian. Jangan bodoh dengan berusaha menyelidikiku. Inilah permainan yang menyenangkan.'

Sial. Ini surat ancaman. Kenapa dia tahu kami akan menyelidikinya? Haduh, bodohnya kami yang membicarakan hal sevital ini di tengah koridor. "Bagaimana ini? Apa kita berhentikan saja penyelidikkan ini? Dan Ana apa kamu menemukan sebuah petunjuk?" Qinta yang memang berkulit putih semakin memutih karena ketakutan. "Tenanglah, Qin. Kita harus tetap menyelidiki, apa kita akan terima saja saat banyak orang mati?" aku setuju dengan Alina.

Aku memperhatikan kembali surat ancaman itu, aku melihat teliti. Tunggu! I-ini mungkin hanya kebetulan, tapi bagaimana kalau dia akan jadi korban selanjutnya? Atau malah dia yang menjadi dalang permainan ini? Tapi tak mungkin. Hah, aku terlalu berhayal sampai memikirkan hal yang tidak mungkin. Aku salah menyimpulkan mungkin kali ini.
____________________________________

Aku menarik napas dalam. Saat ini aku sedang menentang sebuah senter di gelapnya koridor asrama. Aku tidak sendiri, ada Yuji di sampingku. Aku sedikit merasa lega dan takut. "Jangan terlalu jauh dariku Ana, aku tidak mau kamu kenapa-kenapa." aku melihat raut khawatir. "Diamlah, aku bukan penakut." aku terus berjalan ke arah pintu ruang kendali pengeras suara.

"Siap?" tanya Yuji saat sudah berhasil membuka pintu ruangan. Aku mengangguk. Dan saat kami mengangguk aku merasa lemas. Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa seperti ini? Aku tak percaya!
____________________________________

Hai gaes! Ini cerita baruku, sok sok'an mau bikin cerita mystery & thriller.

Menurut kalian apa yang disimpulkan Ana dalam surat tersebut? Kalau tahu coba suarakan di kolom komentar. 😁

Jangan lupa vote, ya! Itu loh pencet bintang yang ada di sebelah kiri.

Sayang kalian semua! 😍😚

Hide or Die [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang