Haloo!! Well, ini adalah cerita gue yang paling pertama di wattpad, jadi mohon komentarnya yaa, berhubung gue masih junior disini. Hope you like and enjoy it :)
**************************************************************************************************************
Langit sore yang merah kejinggaan dan angin yang bertiup semlohai mengundangku untuk berbaring di hamparan rumput yang terpotong rapih di areal belakang rumahku. Apalagi saat itu sedang musim hujan; biasanya awan kelabu dan angin yang bertiup menggebulah yang biasa menyambangi langit kota Medan, bukan angin yang gemulai apalagi langit yang cerah nan langka semacam ini.
Aku mengambil sebuah bantal dari sofa di ruang keluarga, lalu melemparnya malas dan kujatuhkan kepalaku dengan lembut diatasnya. Memandang langit lamat-lamat. Memutuskan untuk mencoba sekali lagi mengenang semuanya dengan tenang. Untuk entah keberapa kalinya. Berhasilkah kali ini?
**************************************************************************************************************
Saat itu aku masih dipenghujung umur 14 tahun. Sedang giat-giatnya mempersiapkan diri untuk menghadapi UN. Dan sejujurnya, aku malas luar biasa jika harus menekuni pelajaran yang sama setiap minggunya. Bukan bermaksud sombong, kawan, tapi tak semua orang suka semua hal yang dilakukan berulang-ulang, bukan?
Hanya, Denia, perempuan yang kini duduk di sebelahku yang daritadi berkicau tentang bagian-bagian ginjal serta fungsinya, yang membuat semangat belajarku sedikit terdongkrak. Ah, dia selalu berhasil membuatku tersenyum di penghujung umurku.
"Hey, ngerti gak?" suara Denia tentu saja membuyarkan lamunanku.
"Eh, ya semacam itu." jawabku ngelantur
"Yah gituu, udah dijelasin capek-capek juga." Denia mendengus kesal. Dia pasti tahu kalau aku sama sekali tidak memerhatikan pelajaran siangnya.
Aku hanya tertawa, "Iyaiya maaf. Aku janji nanti aku belajar ulang dalam 2 jam kedepan. Seriusan." kataku sambil mengacungkan jari, meski dalam hati rasanya ingin kubuang semua buku Biologi--terutama bab pembahasan ginjalnya.
Denia hanya mengerutkan dahi, "Bukannya abis ini kamu...." ucapannya terpotong ketika suara klakson sebuah mobil sedan mengkilap memasuki halaman parkir sekolah yang sudah sepi.
"Duluan ya. Kalau ada apa-apa, telepon aja, oke?" kataku sambil memegang bahunya singkat, dan dijawab oleh anggukan mukanya yang murung. "Udahlah, kata kamu sendiri kan yang bilang kita harus positive thinking terus?" kataku lagi, kini mengguncang bahunya lebih kencang.
"Ya tau, cuman....." katanya, menunduk.
"Udahlah, gak usah takut. This is life, and we just have one chance, so enjoy it."
Denia hanya mengangguk pelan kemudian tersenyum memberi semangat. Mataku yang menangkap gesturnya itu meyakinkanku bahwa aku berhasil meyakinkannya--atau justru membohonginya--untuk kesekian kalinya. Klakson mobil sedan itu sekali memanggilku, tidak sabar menunggu. Aku pun melangkah pelan mencapai mobil tersebut.
Mungkin mudah untuk mengatakan, "Udahlah, gak usah takut. This is life, and we just have one chance, so enjoy it." pada Denia. Tapi, secerah apapun sorot mataku meyakinkan, gaya ceria apapun yang kutampilkan, sesering apapun aku mengucapkannya dan Denia percaya terhadap apa yang kulontarkan, tetap saja aku tak bisa menipu diriku sendiri.
Aku takut.
Ketakutan yang sudah delapan bulan terakhir ini membayangiku setiap waktu, ketakutan akan semakin menipisnya kesempatan dan harapan, ketakutan akan takdir apa yang telah ditorehkan dalam garis nasibku, ketakutan terhadap apa yang ada didepan sana, yang berisi segala sesuatu yang tidak dapat diperkirakan dan dipastikan.
Namun tentu saja, lima buah mesin pencuci darah, seorang dokter dan tim medisnya adalah salah satu hal yang pasti selain hukum serta pajak.
***********************************************
YOU ARE READING
As The Way
RomanceDo you know the poor man who is feel guilty in his whole life? That's me.