Emak tengkurap nikmat dalam tidurnya. Senyum mengembang dari bibir yang warna lipstiknya sudah memudar. Rambutnya acak-acakan untuk ketiga kalinya dalam sepekan ini. Kulitnya masih langsat meskipun sudah tak seketat dulu. Ya, dulu. Waktu aku masih belajar bicara, masih disusui dari botol plastik. Emak memang tidak menetekiku, sebab katanya gumpalan di dadanya aset berharga yang mesti dijaja untuk dimanja. Bukan olehku tentunya, buat tamu-tamu kelakarnya.
Ah, Emak. Lelap sekali tidurmu. Mungkin dia hampir lupa selang hari lalu seperti singa saat laki-laki itu kembali untuk kesekian kali. Emak mencaci entah apa yang dimaki. Seingatku semua soal kisah pilu. Segala barang pecah belah dilempar menuju dinding yang kebetulan jadi sandaran lelaki baplang pemicu amarahnya. Hanya nyaris, tak sampai kena. Serapah menggelegar hingga ke lain kavling.
"Dasar anjing kurap, babi ngepet, lu kata gua sudi nerima gitu aja maaf lu! Bangsat!”
Haduh Emak, kalau urusan bahasa memang urakan betul. Tapi, segala binatang menjijikkan keluar dari mulut jika Emak memang benar-benar amuk. Atau setidaknya kalau tamu yang datang cuma bawa duit sedikit, apalagi gratisan. Diamuk habis-habisan. Akupun pernah diamuknya. Dulu, ketika tak sengaja aku bermain keterlaluan hingga temanku kudorong ke comberan dekat gang. Emak duluan yang kena semprot Bi Esih, emaknya temenku itu. Eh, pulangnya aku juga kena marah.
“Anak haram jadah! Malah bikin Emak lu susah. Kelakuan kok sama kayak Bapak. Sampah!”
Aku masih kecil, mungkin baru berumur lima tahun. Aku juga masih ingat, sepertinya tak pernah ada bapak di rumah kami. Aneh betul memang Emak ini.
“Nong! Gua tau lu sedih, tapi beneran Nong, gua minta maaf. Lu juga tau kan gua pasrah waktu polisi penjarain gua. Lu tau juga kan, gua terus kirim surat sama uang buat lu. Gua banting tulang Nong demi menebus kesalahan.”
Lelaki baplang itu masih melawan meski dirinya kerap jadi sasaran gelas dan alat dapur Emak. Dia serius. Bahkan terlalu serius hingga berkali-kali menyambangi rumah kami meski yang ia tuai ribuan caci. Bahkan lagi, diriku pun tak pernah disadarinya. Ah, semua juga begitu.
“Eh anjing lu ya! Belaga pahlawan lu? Duit lu cuma tusuk gigi, mana mungkin bisa nyukupin makan gua, apalagi bedak gua, setan!”
Tak ada Emak yang biasa cantik bermaskara. Waktu marah, pupurnya juga ikut luntur digilas keringat. Alisnya nyaris lenyap, padahal sehari-hari tebal nian, macam ulat bulu pohon jambu, hitam legam.
“Emang lu ke mana aja waktu gua berojolin anak haram jadah itu, hah? Ngabur kan lu? Kumpulan juga nyebut lu sampah, lebih sampah dari gua yang jalang ini.”
“Bukan gitu, Nong…”
“Ah, anjing! Jangan banyak alasan lu. Aktivis taik kucing, lu!”
Duh, Emak memang singa betina.
Oh ya, Emak dulu aktif banget di Kumpulan. Mereka selalu berkegiatan. Bukan cuma Emak, perempuan sebaya Emak di kavling-kavling juga ikut Kumpulan. Sering mereka kumpul di rumah Pak RW di ujung gang. Belajar seperti anak sekolah, membaca, berhitung, kadang menjahit, bikin payung, bikin sendal. Nah, yang paling aku ingat bagi-bagi balon. Sayang, aku tak pernah dikasih, kata mereka buat orang dewasa. Jijik juga sih, kayak ada minyak di balonnya, licin.
Sampai sekarang Emak masih sering ikut Kumpulan. Biasanya kumpul hari Rabu. Apapun mereka lakukan, tidak hanya berkegiatan, sering juga cuma ngalor-ngidul sambil merokok. Bergosip, bahasa kerennya mah. Tidak banyak bedanya sejak dulu, waktu aku masih sering diajak Emak ke sana. Sekarang sih orangnya makin banyak. Iyalah, kavling-kavling saja makin padat.
“Nong, please maafin. Kejadian itu bikin gua gila, Nong. Gua sadar cuma ngerusak diri.”
“Memang lu gila! Anjingnya, lu mikir buat diri lu sendiri, bangsat. Senajis-najisnya gua, gua masih sayang sama itu anak.”
“Iya, Nong. Maafin gua. Gua sadar apa yang gua perbuat salah.”
Lelaki baplang itu terus mengoceh. Suaranya memang sudah tak senyaring dulu, waktu pertama kali aku bertemu. Saat itu dia sama galaknya dengan Emak. Bahkan lebih galak. Baru pertama kali bertemu sudah berani menempeleng aku, menendang kakiku yang jalan tak pernah menentu. Dia juga meninju ulu hati, mencekik, lantas menusukkan pisau di perutku. Padahal umurku baru lima, beranjak enam tahun.
“Dia cacat, anjiiiingggg… Dia anak lu, bangsaaaattt… Aaaaaakkkkk setaaaannn…”
Emak kalap sejadi-jadinya, meraung, menangis, dan memukul punggung lelaki baplang itu dengan besi hingga jatuh. Aku juga tak berdaya, megap-megap dengan rasa sakit yang teramat hingga tidur lama sebelum mengudara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Emak Singa Betina
Short StoryAh, Emak. Lelap sekali tidurmu. Mungkin dia hampir lupa selang hari lalu seperti singa saat laki-laki itu kembali untuk kesekian kali.