18 - Swarbanu

215 13 4
                                    

"Aji Saputra, kau bahkan tidak memiliki kendali sepenuhnya pada ingatanmu, lantas bagaimana bisa kau menuduhku yang merupakan Ayah kandungmu sendiri atas kematian Cakra?

Aku tahu hubungan kalian begitu dekat dan aku tak pernah mempermasalahkan hal itu, tapi kebencianmu padaku benar-benar tidak beralasan!"

Tuan Anjasmara berbicara dengan tenang sambil mengelus arca tanpa kepala seolah makhluk itu adalah binatang peliharaannya. Dalam balutan kemeja santai dan celana hitamnya ia tampak tenang menghadapi anak biologisnya.

"Demi darahmu yang mengalir di tubuhku Anjasmara! CERITAKAN SEMUANYA PADAKU!"

"Ah... baiklah Aji Saputra. Sebenarnya aku hanya ingin membiarkanmu tetap bahagia bersama dengan kebohongan ini, tapi sudahlah."

Malam itu, semua rahasia dibalik kisah yang dimulai sebelum malam jumat tergelincir mulai terungkap.

Semuanya dimulai semenjak pernikahan Cakra dan Wati yang tidak pernah diinginkan oleh siapapun. Wati yang dikaruniai seorang anak laki-laki memilih menyendiri di perbatasan desa Kijing dan Kota Bandoso. Sementara ia merawat anak biologis dari Tuan Anjasmara, Cakra memilih berkeliling pulau Jawa bresama Anjasmara muda untuk mencari benda pusaka lain dengan harga jual tinggi.

Suatu hari mereka menemukan sepasang benda pusaka berbahaya yang membunuh dua rekan mereka, dan terpaksa disegel ke dalam sebuah peti. Benda pusaka pertama berwujud keris bernama Atmajakala, kemudian benda pusaka kedua adalah sebuah tempat menyimpan peremata bernama Cupumanik Candikakala.

Keris Atmajakala disimpan di kediaman keluarga Cakra, sementara Candikakala berada di rumah Anjasmara. Selang beberapa tahun setelah itu istri Anjasmara dari hasil perjodohan keluarga hamil. Kehamilan Rahayu membuat Wati menjadi marah dan diam-diam ia mendatangi kediaman Anjasmara dan membuat Rahayu membuka peti berisi Cupumanik Candikakala. Anehnya Cupumanik itu tidak membunuh Rahayu dan malah merasuk ke dalam kandungannya. Ajeng kecil terpaksa terlahir premature karena air ketuban Rahayu pecah sebelum waktunya.

Mengetahui hal ini, Cakra begitu marah pada istrinya. Ia beranggapan bahwa Wati ingin berkhianat pada Tuan Anjasmara dan akhirnya ia berniat menghukumnya dengan menggunakan keris Atmajakala pada Aji Saputra. Ia bereharap dengan kematian Aji, Wati akan berhenti berharap pada Anjasmara.

Namun kejadian yang sama seperti pada kandungan Rahayu terjadi, Aji malah menghisap keris itu ke dalam tubuhnya. Hal itu merubah sifat Cakra 180 derajat. Ia menjadi benar-benar menjaga Aji Saputra berkat keris Atmajakala yang ada di dalam tubuhnya.

"Kau pikir kenapa Pak Tua Slamet repot-repot mengutus cucu jin ifritnya untuk mengawasimu? Hal itu tentu saja karena dia menganggap Keris Atmajakala merupakan suatu ancaman.

Alasan kenapa aku memasukkan adikmu ke dalam asrama juga karena alasan yang sama."

Bibir Aji Saputra bergetar mendengar kata-kata ayah biologisnya itu, semua kata-katanya begitu berbeda dengan apa yang selama ini ia percayai. Bahkan ia sangat berharap agar semua yang orang tua itu katakan adalah kebohongan.

"Tidak mungkin!"

"Kau boleh tidak percaya padaku Aji Saputra, tapi kau sendiri yang bertanya padaku."

"HAL ITU BELUM MENJELASKAN KENAPA AYAHKU MATI!"

Tuan Anjasmara tiba-tiba tertawa mendengar pertanyaan Aji Saputra, nyaris saja ia menumpahkan cangkir kopinya jika ia tidak sigap menjaga keseimbangannya.

"Apanya yang belum jelas Aji Saputra? Kau pikir apakah percobaan pembunuhan belum cukup bagi ibumu untuk membunuh Ayahmu? Ah tapi ada satu bagian yang aku lupakan. Tepat pada sore sebelum kematian Ayahmu, sahabat baikku itu meninggalkan petunjuk berupa baju kalian yang telah dikemasi dengan baik dalam koper. Menurutmu, apa yang ingin ayahmu coba lakukan?"

"Tentu saja, dia ingin mencoba menyelamatkanku dari Ibu bukan?"

"HAHAHAHAHAHA, lelucon macam apa itu? Ibumu tidak pernah mencoba mencelakaimu Aji. Sebaliknya, Ayahmu sendiri yang sudah menemukan seseorang untuk mencabut keris Atmajakala. Meski hal itu bisa membunuhmu."

"BOHONG!"

"Aku tidak berbohong anak muda, Rahayu juga menemukan cara untuk memisahkan Ajeng dari Candikakala. Tapi begitu ia mengetahui bahwa mengambil benda pusaka itu sama dengan membunuh putrinya. Ia memilih untuk bunuh diri."

Tubuh Aji Saputra melemas, kedua matanya kosong menatap karpet di bawah kakinya. Ia tidak paham lagi siapakah yang bisa ia percaya. Jika memang yang ia percayai selama ini salah bukankah itu berarti tidak ada satupun tindakannya yang benar?

"Kenapa? Kenapa kau bersikap seolah semuanya bukanlah masalah yang besar?"

Kedua mata cokelat itu menatap nanar wajah laki-laki di hadapannya. Tanpa sedetik pun membalas, laki-laki itu memilih untuk menyeruput tandas cangkir kopi miliknya lalu tersenyum bagai iblis pada anak biologisnya itu.

"Karena itu bukan masalah bagiku. Aku hidup demi pengetahuan masa lalu dan juga benda-benda pusaka. Dimataku kau, Cakra, Rahayu, Ajeng, bahkan ibumu Wati hanyalah batu loncatan untuk mencapai pengetahuan itu."

Tinju Aji Saputra terkepal, lalu dengan cepat melayang hendak mendarat pada wajah tua Anjasmara. Tapi tepat sebelum hal itu terjadi, arca di atas meja mendadak mengeluarkan cahaya keperakan.

"Perlu sedikit luapan emosi ya untuk menghidupkannya?"

Cahaya itu meledak lalu mendorong Aji Saputra dan membuat tubuh bocah lelaki itu menghantam sebuah meja dengan benda-benda artefak di atasnya. Benda-benda bernilai sejarah itu hancur berserakan di atas karpet, tapi Tuan Anjasamara seperti tidak terlalu memperdulikannya.

"Sekarang Ketu, satukanlah komet hitam utara dan selatan. Mewujudlah, KALARAHU!"

Tubuh Aji Saputra terangkat ke udara, sebuah cahaya muncul dari dalam dadanya lalu terbukalah sebuah portal hitam yang membelah dadanya. Anak laki-laki itu meraung kesakitan begitu sesosok kepala tanpa tubuh menyeruak keluar dari dalam dadanya.

Arca di atas meja berguncang dengan hebat, ukurannya membesar bagaikan tumbuh dengan cepat. Tuan Anjasmara berjalan mundur mendekati dinding dengan wajah terkagum-kagum melihat tubuh ketu dan kepala rahu yang muncul dari dada Aji Saputra mulai menyatu.

Kepala rahu memiliki wujud yang begitu mirip dengan Batara Kala, tapi perbedaan kedua makhluk itu terletak pada ekor Rahu yang membuat makhluk itu seperti ular raksasa.

"MENAKJUBKAN, DUA PUSAKA DARI DUA KEBUDAYAAN DARI DUA BELAHAN BUMI YANG BERBEDA BISA MENYATU MEMBENTUK SATU MAKHLUK MITOLOGI UTUH.

BANGKITLAH! BANGKITLAH SANG RAKSASA ASURA PENAKLUK CANDRA DAN SURYA, SWARBANU!"

Rumah dinas itu hancur begitu saja dengan sesosok raksasa berdiri menjulang ke langit. Tubuhnya hitam kelam dengan sepasang mata kebiruan dan aura keperakan mengelilinginya. Kedua tangan raksasa itu masing-masing memegang sebuah busur yang bisa menghancurkan matahari dan rembulan dalam sekali serangan.

Aji Saputra terkapar diantara puing-puing bangunan, ia tak bisa berbuat apa-apa selain menatap sepasang kaki hitam kelam yang berpijak tak jauh darinya. Tuan Anjasmara masih tenggelam dalam kegilaannya, ia kini terlihat bagaikan seorang laki-laki paling berbahagia di dunia ini.

Dalam reruntuhan rumah dinas itu, sesosok gadis kecil muncul bagaikan bidadari yang turun dari surga. Sepasang selendang perak membalut pinggangnya dan berperan sebagai sayap, rambut hitamnya memanjang dan mengembang berkilauan pada malam yang hampir habis itu. Dibalut oleh kebaya putih dan juga kain jarik berwarna cokelat muda gadis kecil itu menghancurkan setiap puing bangunan yang menyentuhnya.

Ia adalah perwujudan dari penghancuran, ketiadaan, dan juga sang waktu.

Begitu menemukan Aji yang terjebak di balik meja kayu, gadis itu mengubah meja jati itu menjadi kepulan debu lalu menyembuhkan luka-luka Aji Saputra. Ia bopong tubuh remuk penuh luka itu terbang menuju angkasa sambil menatap monster yang merupakan perwujudan dari iblis malam.

"Asura yang pernah menghancurkan matahari dan rembulan, perwujudan dari malam tiada akhir. Swarbanu.

Takkan kubiarkan kau menghancurkan dunia dimana Aku dan Kala berhasil bersatu!"

Kedua mata Aji Saputra terbuka, dan samar-samar ia memandang wajah adik perempuannya yang seharusnya kini berada di Setra gandamayit.

Malam Jumat [4] Sang KalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang