Panas, dan kering. Musim kemarau di bekasi telah menyentuh suhu 39 derajat celcius, mungkin hampir setengahnya dari titik didih, kondisi ini diperburuk oleh sedikitnya pohon di komplek perumahan, seakan-akan kota ini telanjang di hadapan matahari yang gagah perkasa. Dalam kondisi dimana udara terlihat meliuk-liuk di atas aspal panas, ratusan motor dan mobil masih saling memenuhi jalan, dengan asap yang mengepul, klakson yang berbunyi, dan ejekan sumpah serapah yang keluar dari mulut pengendara. Mereka saling berkumpul membentuk barisan yang berantakan, kadang d antaranya memasuki trotoar tempat orang berjalan kaki, berjalan dengan ritme yang sangat lambat.
Saat itu orang-orang mengelus kepalanya dengan sapu tangan, keringat keluar dari ketiak mereka membekas warna kuning. Terutama orang ini, yang berteriak dari pagi memanggil namaku di depan pagar. Pak Tumpal namanya. Dia menggunakan jas hitam, dalaman putih berdasi. Memegang tas di tangan kirinya, helm di tangan kanannya. Dia penagih hutang yang tak kunjung kubayar, dan ini adalah kelima kalinya dia datang kesini. Aku sudah tebal muka dengan tetangga, istriku selalu mengeluh tentang omongan mereka kepada kami, tapi tetap kenyataannya memang bahwa kita tidak bisa membayarnya, mau bagaimana lagi?
"Bapak Rian! Buka pintunya bapak Rian! Kita selesaikan ini baik-baik!!"
Selesaikan baik-baik? Apa kita ingin berantem?
"Pah, papah!"
Anakku saat itu menarik bajuku yang kini tengah mengintip lewat gorden jendela.
"Tadi mas itu ngomong sesuatu loh pah, pas papah lagi di kamar mandi.."
Ketika aku mendengarnya, kuperhatikan bahwa terdapat air mata yang membekas di mata Ria. Sesuatu pasti telah terjadi padanya, pasti karena Pak Tumpal sialan di depan pagar tersebut, walau mungkin ini salahku juga karena Ria yang selalu kusuruh untuk berbicara dengan bapak itu di depan, berbohong bahwa aku sedang pergi bekerja. Jelas dia akan mengintrogasi anak-anak yang polos juga nurut ini, tapi membentak memang sudah keterlaluan.
"Kamu nangis karena mas-mas itu? Masnya ngomong apa tadi?"
"Kaget pah, aku diteriakin, terus...terus..."
Aku tersenyum, berjongkok dan mengelus rambutnya yang ikal, walau rasanya ironis diriku melakukan ini, seperti peduli dan akan segera memarahi pria tersebut ketika Ria akan mengatakan alasannya menangis, namun kenyataannya aku takkan melakukan apapun. Aku terlalu takut pada pria yang berada di depan itu, yang badannya lebih besar dari pagar kecilku, yang tangannya sudah mengepal keras untuk memukul jika saja aku bersikeras untuk tidak membayarnya.
"Tadi dia ngatain papah, ngen..."
Aku langsung menutup mulut Ria. Kata 'ngen***' jelas terlalu keras untuk anak kecil, walau dia tidak tahu arti atau gambaran dari kata tersebut, tapi ini keterlaluan!
"Itu... kata-kata yang gak bagus, kamu jangan ngucapin itu di depan orang yah."
Saat itu Ria mengangguk, menjauhiku bermain dengan adik-adiknya.
Ketika Ria sudah pergi, tak bisa kutahan lagi. Wajahku segera memerah, ekspresi marah dan gemas tidak bisa kutahan-tahan lagi, kukepal jari ini erat-erat, dan... dan... ah... kutarik kata-kataku, tetap rasanya aku yang akan kalah. Kubayangkan diriku menarik kerahnya, memarahinya sebelum kepalan tangannya mengenai mukaku, membuatku bonyok di depan anak-anakku. Ya, tentu saja, aku tidak melakukan hal tersebut karena takut Ria dan adik-adiknya menyaksikan hal memalukan tersebut lalu trauma karenanya. Oh Ria, aku melakukan ini semata-mata hanya untuk dirimu.
"..."
Aku akhirnya hanya bisa menghela nafas, mengikhlaskannya, dan pria tersebut masih berteriak keras, sesekali dia mengelap keringatnya, lalu berteriak kembali sampai akhirnya suara teriakan tersebut menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gunung Kawi [End]
HorrorTerlibat hutang, Rian (Febriansyah Putra) memutuskan untuk menjadi pesugihan di Gunung Kawi yang terkenal mistis dan mampu membuat orang kaya dalam waktu semalam. Namun dia tidak sadar bahwa terdapat konsenkuensi berat dari tindakannya tersebut. Cer...