Fata sudah lelah. Cinta yang selama ini ia berikan kepada seorang wanita ternyata berujung sia-sia. Wanita itu lebih memilih orang lain, lelaki lain yang bahkan tidak memperjuangkan kembali diri wanita yang Fata cinta. Tetapi, Fata tahu kalau cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta ada karena hasrat dalam hati, bukan dorongan dari seseorang apalagi sebuah pemaksaan. Saat ini, Fata benar-benar lelah. Setiap ia mencintai seseorang, cintanya selalu bertepuk sebelah tangan. Fata tidak bisa menyalahkan cinta yang datang dengan suci itu. Bosan sudah, Fata tak mau menahu lagi dengan cinta.
-o-
Baru saja Fata menyelesaikan sekolahnya di tingkat sekolah menengah kejuruan. Katanya, biar bisa cepat kerja. Bahkan, baru satu hari setelah ujian nasional berakhir. Dia sudah siap membuat resume untuk melamar ke berbagai perusahaan. Fata memang memiliki keahlian di bidang desain karena otodidak dan bantuan teman-temannya. Sehingga, resume yang ia punya itu kreatif dan tidak kaku.
Dengan gencar ia kirimkan resume ke berbagai perusahaan yang membutuhkan pekerja baru. Fata sudah tidak tahan ingin mendapatkan penghasilan sendiri dan membuat orang tuanya tidak kesusahan. Selang beberapa minggu Fata terus mengirim dan mengirim resume-nya untuk bekerja, tak kunjung ada yang benar-benar mempekerjakan Fata. Fata merasa lelah, apa ada salah dengan resume-nya atau memang Tuhan yang sudah siapkan pekerjaan yang lebih baik. Fata hanya yakin pada takdir Tuhan.
Akhirnya, sebuah pesan masuk menyatakan bahwa Fata akan memulai training bekerjanya mulai minggu depan. Fata yakin ini sebuah takdir Tuhan yang akan membawanya kepada kebaikan, karena Fata awalnya sangat tidak yakin bisa diterima di perusahaan tersebut. Tapi, Tuhan menjawab iya. Bukan main, semangat dia berkobar-kobar bak prajurit Indonesia yang melawan penjajah. Semangatnya bukan hanya dari orang tua atau kesempatannya kali ini saja. Tapi, karena melihat seorang wanita yang muncul bagai bidadari dari surga saat pertama kali ia datang untuk interview kerja, di tempat yang sekarang Fata akan mengabdi kepada atasannya.
"Kenalin, aku Indah." Katamu dengan senyum dan menjabat tanganku.
"Eh iya, aku Fata."
Nama yang sesuai dengan paras wajahnya, indah. Aku akhirnya hanya duduk termangu di sebuah kursi, tak tahu harus melakukan apa di pagi hari pertama saat bekerja, aku terlalu malu untuk menanyakan. Apalagi kepada Indah. Tapi, akhirnya Indah yang memberiku pekerjaan pertama. Tak sulit, langsung aku kerjakan. Aku ingin memberi kesan kepadanya kalau aku adalah seorang pekerja yang cepat dan bisa diandalkan. Tak lama, aku memberikan hasil pekerjaanku kepadanya, dia tersenyum.
Fata merasa bahwa ini adalah sebuah kesempatan besar untuk merubah hidupnya. Selain sudah mendapatkan pekerjaan, sudah saatnya pula Fata mendapatkan seorang pendamping. Semangatnya dalam hidup akan bisa lebih besar jika memang Fata memiliki seorang wanita di sampingnya, apalagi Indah adalah teman satu pekerjaan dengan Fata. Cinta bisa berbunga-bunga setiap hari di tempat kerja.
Waktu istirahat akhirnya datang, Fata kebingungan. Fata yang tak biasa berbicara dengan orang-orang baru hanya bisa diam. Menunggu seseorang bertanya, atau mulut Fata hanya akan diam mengunyah makanannya. Setengah jam berlalu, Indah tidak bertanya sepatah kata sedikitpun. Mungkin dia malu, atau memang tidak ada hal penting yang ditanyakan. Jikalau malu, wajar saja, saat kita makan dengan bekal masing-masing banyak karyawan dan karyawati lain di sekitar kita. Enggan kamu bertanya, apalagi aku. Sudahlah, ini baru awal saja. Semuanya pasti akan bisa baik jika memang itu jalannya.
Langit kembali berwarna jingga, menandakan waktu sore dan kami sudah boleh pulang. Untungnya, saat itu tidak hujan. Fata lupa akan kebiasaannya yang membawa payung. Biasanya Ibu Fata mengingatkan, tapi kali ini tidak. Mereka sama-sama lupa. Segera Fata pulang kerumahnya. Fata akan pulang dengan mengendarai angkutan umum dan pergi dengan Ayahnya tercinta. Maklum saja, Fata sampai saat ini belum bisa menaiki motor roda dua, bahkan sepeda sekalipun. Mungkin, jika motor roda tiga atau empat itu ada, Fata sudah pasti memilih lebih dari roda dua.
Sebelum menaiki angkot, Fata harus berjalan sedikit jauh dari tempatnya bekerja. Tempat Fata bekerja memang cukup jauh dari akses jalan utama yang biasa dilalui angkutan umum. Mau tak mau, harus jalan kaki. Menaiki ojek online hanya membuat kantong uang nya sesak. Harganya bisa sampai empat kali lipat dari harga menaiki angkutan umum. Gajinya akan terpotong banyak hanya untuk transportasi jika memang begitu. Tapi, Fata sudah terbiasa jalan kaki sejak dia masih berseragam celana biru. Berjalan pulang sekian kilometer dari tempatnya sekolah hampir sebuah kebiasaan bersama teman-temannya saat dulu. Saat Fata sudah setengah jalan menuju dimana biasa angkutan umum lalu lalang, sebuah motor membunyikan klakson dan seseorang berkata.
"Hey! Mau bareng gak? Pulang kemana?"
Ternyata itu Indah.
"Eh, gak usah. Pulang ke daerah Sanjaya sana." Kataku
"Beneran nih gak akan?"
"Iya gak usah, udah setengah jalan ini lagian. Besok lagi aja."
"Oke deh, aku duluan ya. Dah, hati-hati."
Seperti lirik lagu lawas ST12, aku bergetar di sentuh dia. Tidak, memang dia tidak menyentuh bagian manapun tubuhku, tapi dia menyentuh hatiku. Senang bukan main memang rasanya, Fata senyam-senyum sendiri saat perjalanannya pulang. Membayangkan bagaimana jika dia duduk bersamanya, bukan di jok motor, melainkan di pelaminan. Jikalau kamu tahu Indah, kau sudah mengalihkan duniaku.
Sejak saat itu langit senja, tak lagi sama. Lirik lagu milik Monita Tahalea mengalun di telinga Fata saat angkutan umumnya menembus jalan raya dengan hati-hati. Maklum saja, sore adalah waktunya semua orang untuk pulang kerumah. Bertemu keluarga mungkin adalah jadi salah satu hal yang paling dinanti. Lelah bekerja delapan sampai sembilan jam bisa hilang sekejap karena bertemu istri dan anak-anak. Hanya saja, Fata belum saatnya untuk hal itu. Fata masih meraba masa depan. Masih banyak hal-hal yang harus dinikmati dan dijalani sebelum berkeluarga. Tapi, keyakinan Fata adalah bisa bersama, berdua, bersamamu. Indah.
Langit pagi yang biasanya diabaikan Fata, kini ia nanti-nanti untuk melihat keindahannya. Motor yang Ayah Fata bawa pagi itu merobek jalanan dengan pelan. Sinar matahari masih malu untuk menunjukkan kehangatannya kepada bumi ini. Begitu pula dengan diriku. Aku masih belum bisa menunjukkan kehangatan yang bisa aku berikan untukmu. Namun, satu hal pasti. Aku akan bersamamu.
-o-
"Fata, kami mohon maaf bahwa kita harus memberhentikan kamu dari pekerjaan ini. Perusahaan membutuhkan yang lebih berpengalaman dari kamu."
Deg! Seketika Fata tak bisa bernafas. Udara saat itu seakan-akan hilang. Pekerjaan yang baru dia dapatkan sekejap hilang. Belum bisa Fata membahagiakan orang tuanya karena pekerjaannya. Semua orang pasti berkata ini takdir, Fata berkata lain. Fata yakin bahwa ini sebuah kesalahan perusahaan, tidak seharusnya Fata diberhentikan karena kurang pengalaman. Jika memang begitu, Fata lebih baik tidak pernah mengirim lamaran pekerjaan ke perusahaan ini. Fata kecewa. Fata pulang dengan menahan kemarahan yang ia tahan sambil membawa tasnya dari perusahaan tersebut. Saat melewati tempat parkir, Fata melihat sosok wanita dengan seorang lelaki. Sosok itu sepertinya tak aneh, Fata menyipitkan mata. Ya, itu adalah Indah. Dengan belaian lembut, lelaki itu membelai kepala Indah, Indah tersenyum. Emosi Fata memuncak, saat itu pikirannya hanya berusaha menyingkirkan semua yang mengganggu kehidupannya. Fata hanya tau karena merekalah hidupnya menjadi hancur seperti ini. Diberhentikan dari pekerjaan dan perasaannya yang ikut dipaksa diberhentikan. Fata tidak mau diam. Langit yang memerah di sore itu seakan sangat mendukung dirinya saat itu. Dan Fata beranjak dari diam.
Lantaiterasa lebih dingin dari biasanya, Fata pada akhirnya tak bisa kemana-mana. Iahanya termangu kesal akan hidupnya sendiri, Ia sudah salah memilih jalan. Fatamenjambak rambutnya dengan kesal sambil memandang jeruji besi yang ada dihadapannya. Juga bercak darah yang menempel di tangannya karena kejadian soreitu.
YOU ARE READING
Pahit Hidup
Short StoryBaru saja Fata merasakan keindahan hidup setelah keterpurukannya datang. Naas, semua itu kembali lagi ke dunia Fata. Tidak bisa dipungkiri, Fata telah berbuat salah.