FAHRI MUHAMMAD
Aku suka sendirian, maksudku itu menyenangkan bukan? Larut dalam keheningan, menikmati apa yang sedang dilakukan tanpa perlu merasa terganggu dengan orang lain?
Aku tahu, sangat tahu bahwa manusia memang ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang harus selalu bekerja sama dengan orang lain, atau setidaknya berinteraksi sebagai bukti nyata dari kehadirannya. Namun, bagiku, menghabiskan waktu seharian dengan membaca buku lebih menyenangkan daripada bermain dengan teman-temanku atau membicarakan sesuatu yang tidak jelas, bergosip.
Sejak SD, aku selalu mencoba untuk menyelamatkan hidupku. Tidak! Tolong jangan berpikir aku sedang sekarat. Aku sangat sehat dan baik-baik saja. Aku juga masih waras, belum menjadi gila. Aku hanya melakukan apa yang diperlukan. Ke sekolah untuk belajar, mengerjakan tugas yang diminta dan berinteraksi seminimal mungkin dengan orang di sekitarku.
Aku tidak mau mereka mengenalku lebih jauh, cukup tahu bahwa anak berkacamata yang suka sekali membaca buku di bangku paling pojok bernama Fahri Muhammad. Aku lelah jika harus menanggapi sikap sok akrab mereka, jika nanti kami benar-benar berteman.
Saat SMP, aku juga melakukan hal yang sama. Menjauhkan dirimu dari penglihatan orang lain sehingga tidak menarik perhatian membuatku bisa bebas menikmati masa remajaku dengan ketenangan yang sejati. Aku tidak harus terlibat perkelahian, percintaan yang menyebalkan atau hal lain yang ahrus dirasakan oleh remaja kebanyakan.
Pengalaman hidup memang membantu seorang remaja untuk tumbuh, akan tetapi mengamati orang lain seolah itu pengalaman yang dirasakan sendiri, juga tidak terlalu buruk. Aku banyak belajar dari pengalaman orang lain.
Pecundang? Maybe, tapi selama itu tidak merepotkan bagiku, aku tidak masalah dengan itu. Aku ingin sendirian tetap menjadi prinsipku saat masuk SMA, meski kemudian aku tanpa sengaja merusaknya. Ada seorang gadis yang mencari masalah dengan beberapa kelompok pemuda yang jika dinilai dari penampilannya—bisa dibilang mereka kumpulan berandalan.
Oke, jangan menatapku begitu! Aku bukan tipe manusia yang menilai seseorang dari penampilannya. Hanya saja, bukan salah aku atau gadis itu jika menilai seseorang dari bagaimana dia terlihat bukan? Toh otak manusia mengambil kesimpulan dari apa yang mata mereka tampilkan, bukan dari hati yang bisa merasakannya, like when you wanna buy something. We will prefer buy a good one than bad look.
Keterlibatanku dengan gadis itu, sebenarnya hanya berlangsung sehari. Dia langsung lari begitu aku yang dipukul. Aku juga tidak mengharapkan apapun darinya. Meski harus mendapat beberapa pukulan, sedikit tendangan di perut dan dirawat selama seminggu di rumah sakit.
Aku bersyukur yang dipukuli hanyalah aku, sehingga masalah selesai begitu beberapa anak berandalan itu dihukum. Ayahku juga tidak peduli, terlalu asyik dengan dunianya sehingga tidak ingin mengurusi hal-hal yang dianggapnya sepele. Jika gadis itu terlibat, akan sangat repot. Untunglah, dia selamat.
Saat aku masuk sekolah kembali, semua kembali normal, sampai aku bertemu dengannya, gadis paling menyebalkan yang ingin sekali aku berteriak padanya agar berhenti memperhatikanku. Bukan maksudku untuk mengajak seorang perempuan berkelahi atau melakukan tindakan kasar, aku hanya ingin dia berhenti menatapku. Aku merasa seperti diawasi.
Gadis yang aku maksud di sini bukalah gadis yang aku tolong kemarin. Mereka adalah dua orang yang berbeda, bahkan tidak saling mengenal. Anehnya, gadis itu entah bagaimana menemukanku dan memaksaku masuk dalam labirin kegelapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST SCENE | TERBIT |
RomanceDihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan. BISA DIPESAN MELALUI SHOPEE, TOKO PEDIA DIANDRA_CREATIVE DAN DITEMUKAN DI TOKO BUKU TERDEKAT. :)