Karena sekuat apapun manusia berjuang. Jika Tuhan berkata cukup, maka artinya cukup.
*.*.*
Gadis malang, duduk nelangsa menatap pantulan wajahnya di depan kaca. Wajahnya yang merona hangat dilengkapi senyuman berbentuk bulan sabit sempurna.
Pantulan di kaca tersebut adalah dusta terhebat yang mampu ia tunjukkan. Tersenyum senang, seolah beban hidupnya seringan kapas yang mampu tertiup angin.
Asal kalian tahu, bahagia baginya terkesan sulit. Ia telah membagi kebahagiaan kepada sesama, ia bantu dengan penuh rasa peduli. Berharap dengan berbagi hatinya dapat sedikit mencicipi segurat rasa bahagia di akhir ucapan kata, 'Terima kasih.'
Kuperkenalkan kepada kalian, ia temanku Duan. Si gadis periang dengan mata cokelat bercahaya, si gadis yang tengah memutar-mutar badannya di depan pantulan kaca.
Duan sedari kecil memiliki penyakit, ia menderita penyakit kelainan paru, Penyakit yang sewaktu-waktu dapat merenggut nyawa Duan untuk selama-lamanya.
Setelah setengah jam berdiri di depan kaca, memandang raganya yang berbalut dress selutut berwarna blue ocean. Duan terlihat kelelahan, ia mengeluh, meremas bagian dadanya yang entah terasa sakit, nyeri, atau sesak. Melihatnya sudah hampir merengut separuhku, duniaku. Aku takut.
"Duan, are you okay?" Duan tak menjawab saat aku bertanya. Ia berjalan merintih ke arah ranjang, mengatur ritme napasnya yang tersengal. Sontak aku khawatir, segera memanggil suster serta dokter . Naas, tak ada seorangpun yang datang.
Merasa tindakanku akan berakhir sia-sia, aku berlarian macam orang gila di tengah sepinya malam. Memekik keras ke segala arah berharap seseorang dapat membantu Duan yang tengah kesakitan di ruangannya.
"Suster! Doctor!" Raungku lantang, memekik ke segala penjuru lorong rumah sakit. Segeraku percepat langkah ketika tak sengaja melihat paras Dokter Anna di seberang ruangan, tengah berlari memasuki ruangan.
"Tolong Duan, Dokter! Aku mohon," pintaku lemah.
"Sudahkah kalian lakukan penanganan pertama?" tanya Dokter Anna, kepada beberapa suster yang telah memenuhi ruangan. Kedua suster tersebut mengangguk secara bersamaan, mencoba menghilangkan setidaknya sedikit rasa sakit di tubuh Duan dengan tindakan pemberian oksigen.
Aku berjalan lunglai sesaat melihat Duan bergerak ke kanan dan ke kiri, lalu sesekali ia merintih kesakitan. Menutup kedua bola matanya yang kian berair lalu kemudian mengusapnya dan menoleh padaku dengan senyuman semu. Melihat dirinya yang diberikan suntikan penenang, jantungku berdetak tak karuan.
Dokter Anna menatap sedih ke arahku, ia memintaku agar aku keluar dan menunggu dengan tenang. "Keluarlah, Liam. Kita akan segera lakukan tindakan operasi."
"Bisakah Dokter selamatkan Duan?" tanyaku secara tiba-tiba. "Bisa, 'kan?"
Dokter Anna berbisik, "Pintalah kepada Tuhan. Karena Mukzizat-Nyalah keajaiban dapat terjadi." Seulas senyum manis Dokter Anna tunjukkan, sebelum seorang suster menggajakku keluar secara sopan.
Ketika menatap Duan, seketika pikiranku tak karuan. Ini tidak adil! Seharusnya Duan akan baik baik saja, setelah puluhan tahun terbaring di ranjang rumah sakit, merasakan pahitnya puluhan obat serta tersiksa akibat tak dapat bersosialisasi dengan orang lain seperti yang lain. Duan sudah sangat sering menderita. Dari sekian banyak umat manusia di dunia, mengapa harus Duan? Apakah ini bisa disebut adil, Tuhan?
Duan pernah bertanya padaku, jikalau nanti ia pergi, apakah aku akan merindukannya? Aku sedikit bingung untuk menjawab, pasalnya aku tak mampu memikirkan hal menyedihkan seperti itu. Aku tak mampu kehilangan seseorang, aku belum siap merasakan rasanya rindu setengah mati akibat di tinggal pergi dan menunggu kepastian untuk bertemu kembali.

KAMU SEDANG MEMBACA
DUAN [✔]
Short StoryBlurb : Sepenggal cerita singkat yang mengisahkan kehidupan seorang gadis bernama Duan melalui sudut pandang Liam, sahabat lelakinya. ***** "Karena sekuat apapun manusia berjuang. Jika Tuhan berkata cukup, maka artinya cukup." (*) Bittersweet Story...