Seberapa ku bersorak ria. Saat ada yang mengajakku bicara. Aku tak tau apa yang akan dibicarakan. Bak kerbau yang dicocok hidungnya, aku iyakan.
Sore itu kami bertiga memutuskan untuk bertemu. Kok bertiga ? Iya. Setiap pertemuan itu kami putuskan untuk menjamakkan orang. Menggandakan massa. Agar tak terciduk kalut. Ah apalah namanya. Sebelum sore tepatnya. Mata kita mulai menyusuri warung warung sekitar tempat kita janjian. Warung kuning lantai dua yang biasa kita tempati tutup. Padahal sedari rumah sudah kuniatkan memesan menu yang biasa kita santap.
Akhirnya kita menemukan warung makan dengan menu senada dengan warung kuning. Kita memesan dan mencomot kursi di ujung. Percakapan belum terpantik. Masing masing masih asik dengan gawai masing masing. Ah anak-anak millenia. Kemudian dibuka dengan sapa. Bagaimana?
Dia memulai. Harus. Karna dia yang mengajakku dan mengatur percakapan ini. Aku masih berpikir. Kemana arah percakapan ini? Karna sedari awal kita 'nyaman' , selalu saja banyak hal yang kita bahas. Dari hal kenegaraan hingga recehan. Laki laki yang obsesif. Dia tak pernah mau mengalah. Baik. Aku masih bisa meladeni. Walau kadang terlihat bodoh. Bertarung dalam karya karya absurd. Ah biarlah. Itulah atmosfer pertalian ini. Sebelumnya belum pernah segila ini menggandeng sekawan yang satu sisi kawan satu sisi lawan. Entah siapa yang kelak menyandingnya mungkin harus bersabar ekstra karena tak pernah mau mengalah.
satu pertanyaan yang harus terjawab banyak. Menyebalkan. Namun bukankah itu tipe wanita betul. Saat ditanya satu kata dia menjawab dengan satu paragraf. Ku ceritakan segala yang ia tanyakan. Jujur memang aku sendiri talkative. Namun berhadapan dengan yang satu ini, kemampuan bicaraku teruji. Dalam sebuah diskusi yang lain, kemampuan retorikanya membetot halusinasiku bahwa aku sudah yang terbaik. Aku suka saat dia berbicara banyak. Bukan saat ia bertanya banyak. Belum pernah kujumpai beberapa pertanyaanku diuraikan dengan retorikanya yang panjang. Lagi lagi aku mengalah.
Diskusi semakin asik tatkala bau seblak bandung menghampiri kami. Masing masing memesan menu yang berbeda. Hingga menjelang sore itu, aku tahu satu lagi. Dia bukan peminat minuman dingin. Selalu hangat atau cukup air putih. Kesimpulan yang bukan tanpa dasar tapi telah melalui proses keajegan. Yah sebelas duabelas dengan penelitiankan. Tanpa kata kita langsung terjebak pada hidangan yang ada. Efek lapar dan bagiku membuang kekakuan.
Oh ternyata. Ia menanyakan kabarku sepekan. Kabar tak sekedar baik atau buruk kesehatanku. Kabarku setelah sepekan lalu di Bogor. Apakah ini wujud rindu ? Bukan. Itu kupikir hanya sebuah narasi keingintauan yang menyebalkan sekaligus mencurigakan. Ku ceritakan dari A hingga Z. Agar setelah itu aku tak lago dicecar irama tanya.
Satu pertanyaan lagi yang belum terjawab. Bagaimana kau terjemahkan ilmumu di marhalah keduamu untuk lingkaran kita ? .
Deg.
Maafkan aku belum sejauh itu.
Aku butuh kamu.
Yang tak hanya melengkapi lingkaran itu kini.
Namun juga hingga akhir nanti.Tapi bolehkah (?)
Tapi pantaskah (?)
Biar waktu yang menakhodai
Jalan cerita ini.
YOU ARE READING
Catatan Sepi
RomanceIjinkan aku mengukir cerita yang tak sempat terbaca. Agar kelak peradaban mengerti bahwa rasa itu sempurna