TUMBUHNYA CINTA DI UJUNG SENJA

77 6 14
                                    

Aku pernah jadi bangsat
Aku pernah jadi bajingan
Aku pernah jadi gelandangan

Aku pernah rasakan bahagia
Aku pernah rasakan cinta
Aku pernah rasakan rindu

Tapi itu semua sekarang sudah ku jadikan abu, yang telah habis di tiup angin.
Namun ketika aku telah kembali ke tempat aku pernah mengalami kehilangan, dengan suasana baru, cerah hati yang aku yakini itu sedari awal.
Dengan rindu yang ku simpan dan ku genggam erat.
Posisiku tak dianggap sedikitpun.

Memang aku pernah jadi bajingan, bangsat dan hidup bagaikan gelandangan sebelum bertemu kamu.
Tapi apa tak pantaskah bagiku saat ini untuk meramu cerita hidup yang baru bersamamu?
Kenapa selalu aku yang dipaksa pergi ketika semua rasa yang ku tanam ini telah tumbuh indah, mekar dan berkembang.

Jika memang seperti itu nyatanya aku yang tak pantas nikmati keindahan cinta dan rindu seperti mereka.
Hitamkan saja hatiku ini, Tuhan.
Biarkan dia kelam di dunia nan penuh cahaya cinta ini.
Biarkan aku merasa sunyi di keramaian bumi ini.
Untuk apa di merahkan hatiku, lalu di padamkan cahayanya ketika semua rongga kalbuku yang mulai terang benderang di hiasi lentera cinta.

Di ujung dermaga senja pada pertemuannya dengan labuhan malam, semilir kata yang telah terurai dalam lamun jinggaku yang hanyut di gulung-gulung riak.

Hatiku akan jauh lebih tegar lagi dalam menghadapi gelombang yang di hadirkan Poseidon untuk berlabuh pada dermaga cintamu.
Aku akan selalu berhatimu dalam hatiku ketika meniti pelangi dalam bianglala senja.

Jika tiba masanya nanti dalam teduh senja di pelupuk matamu dapat ku jumpai, berpeganganlah dengat erat pada kelopak jantungku yang merah merekah. Perlahan rasukilah aku dengan nada syahdu cintamu.

Akan ku temani engkau selalu dalam gelap malam hingga kita temui kembali sang fajar di keesokan harinya, bersama degub yang kau hadirkan dalam hangatnya genggam eratmu itu.

Dalam pejammu akan kurangkai butiran kekata cinta dengan hati menuju dengarmu.

Cintaku padamu sehangat samudera hindia kala senja berlabuh di tatapmu.

Sekujur ragamu adalah indahnya semesta bagi puisi-puisiku.

Satu pekan sudah semenjak kepergian Ramadhan tahun ini. Sudah cukup lama rasanya bagiku tak melihat mentari bermandikan samudera di kala senja.

Dalamnya resah hati, aku selalu bertanya kepada bukit barisan perihal kabar Gadis Surian, adakah ia dalam keadaan baik-baik sahaja di luar jangkauan pandangku.

Aku sangka terik berjalan hingga petang, ternyata hujan di tengah hari. Cinta yang hanya menyisakan segumpal kenang, dikala rindu mulai tumbuh di dalam diri. Deraian dari langit tak kuasa aku membendung, seketika itu hati kian merenung.

Rerumputan bersuka cita serta menari-nari, ketika butiran basah hadir basuh dahaga di bawah lindungan awan hitam.

Begitupun halnya denganku, jika nanti kujumpai teduhnya senja di pelupuk matamu, akan terasa begitu sejuk dalam hati, senang dalam angan-angan.

Senjamu, senjaku jua.
Walau pintu gerbang hatimu masih tertutup rapat, kuusahakan tiada nelangsa yang berlarut demi memperjuangkan sebuah tempat dalam ruang rindumu.

Semoga di sana, di tempatmu bernafas saat ini, senja menjaga keindahanmu. Sebab ketika fajar engkau akan kembali mekar.

Menjelang senja hari ini, kota biru tidak menunjukkan tanda persahabatan. Deraian dari cakrawala berguguran. Aku datang dengan baik-baik untuk menikmati keindahan. Langkahku harus terhenti di Ngalau Indah yang telah dibuai genangan.

Padamu, mengatakan rindu begitu berat. Beku sikapmu yang harus selalu ku pahat. Karang di hatimu begitu kuat. Hatimu yang tak sanggup saat ini untuk ku pikat.

Padamu, mengucapkan cinta begitu pilu. Sapaanmu tiada jua ku temu. Mendambamu tiada ku jemu. Walau harus bergelimang sendu.

Padamu, aku terbiasa menceracau dalam diam. Ketika jingga mulai menghitam. Peluh bercucuran ke dalam. Aku terjerembab pada kenangan singkat yang mendalam.

Cintaku selalu hadir di ujung senja, yang menghantarkannya pada gelap malam tiada gemintang.

Sendu kelabu di pelataran Kota Biru. Dalam suasana hati yang ku raut begitu syahdu.

Maafkan aku yang telah mencintaimu terlebih dahulu dalam senja sebelum lahirnya malam.

Sebelum kamu mengenal jauh siapa aku, ada baiknya kamu ikuti kata hati. Jangan dilawan, jika semakin kamu lawan hati, hasilnya tidak akan sesuai dengan apa yang kamu inginkan.

Sebelumnya aku ingin mengucapkan terimakasih kepadamu, sejak mengenalmu, aku merasakan tumbuh kembali dengan kelopak semangat yang mekar setiap harinya.

Kepadamu,
Aku hanya ingin katakan "ini hati, bukan ampas kopi", setelah nikmatnya diseduh tersisalah aku dalam genangan lembab yang terkungkung dalam cangkir.

Aku paham, saat ini aku bukanlah apa-apa dan bahkan bukan siapa-siapa kamu. Wajar saja kamu rasanya tiada membalas bahkan mengindahkan setiap kata dan rasa yang aku tuangkan selama ini.
Aku paham, sebab saat ini yang hanya aku miliki hanya sebuah kata tulus yang ku gandengkan dengan keyakinan yang kuat akan hal itu.

Memang sulit rasanya bagiku yang bukan apa-apa ini untuk berteduh di hatimu dalam teriknya sengatan cinta.
Dan aku pun paham perihal kekatamu yang telah kamu ucap itu "tidak munafik rasanya jika memang memilih yang lebih mapan". Saat ini mungkin menurutmu lontaran kalimatku ini terlalu jauh. Sebab kamu masih berharap yang akan datang menjemputmu laki-laki yang membentangkan karpet merah di hadapanmu menuju singgasananya.

Aku pun tersadar, aku yang saat ini hanya menjadi debu jalanan, yang berseliweran di tengah lalu lintas kehidupan di bumi. Dan aku pun sadar, saat ini jangankan membentangkan permadani di hadapmu, untuk mengurus dengan baik hidupku sendiri saja belum terpenuhi.

Satu hal yang harus kamu ingat "Aku masih tetap berjuang. Aku memasuki medan peperangan ini sudah mempersiapkan diriku untuk menang!".
Terimakasih untukmu sudah berhasil selalu mematahkan hati aku.

Aku tidak akan berhenti dari semua ini, walau sejauh apapun kamu menghindar pergi jauh dariku.

Karena aku telah memulainya, maka aku lah yang harus menyelesaikannya sampai akhir.

Di ujung senja ini, aku sudah merasakan kenyamanan walau saat ini engkau hanya dapat ku sandingkan dalam tahta imajiku.

"Yang namanya cinta, tidak akan pernah lepas dari yang namanya ujian. Maka perjuangkanlah".

Pada tepian sunyi ini, sebenarnya ingin sekali kuberlari mengejarmu pada senja yang menjingga diri.

Daulat lautan rinduku terancam gencatan senjata dari hatimu, sebab aku yang berusaha melewati batas zona nyamanmu. Karena tiada labuhan yang tampak untuk bersandar dalam segala pandangku.

Menuju hatimu memang tak semudah menemukan sederhananya bahagia. Saat ini bahagiaku bisa kuciptakan, namun bahagia denganmu tak dapat kugapai jua.

Rinduku tak berpuan dan tak tahu dimana samuderanya.
Rinduku hanya labuhan angan, angan yang selalu menerawang dalam senja yang membayang.

Pada tepian sunyi ini, aku selalu menyemogakan hati agar terobati.
Biarlah bingkai paras yang kucuri ini menjadi nelangsa yang tak temu henti, biarlah.
Biarlah aku menikmati sadar diri ini.

--Racunbaratt

-END-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 21, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TUMBUHNYA CINTA DI UJUNG SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang