Akhir Jabat Tangan Kita (Jabat Tangan #2)

162 4 11
                                    


KITA tidak pernah bertemu lagi sejak malam pelepasan wisudawan. Malam itu, setelah kau memperkenalkan kekasihmu padaku, saat kita melangkah keluar dari ballroom tempat acara pelepasan tadinya berlangsung, kita seperti melangkah keluar dari kehidupan masing-masing. Kau dari kehidupanku dan aku dari kehidupanmu. Aku masih menyimpan nomor ponselmu, pin BBM-mu, juga alamat email-mu. Aku percaya kau juga. Tapi, tidak ada satu panggilan pun yang kita layangkan, tidak ada satu kata pun yang kita tukar. Kau dan aku... kita berdua tahu kalau malam itu adalah momen yang tepat untuk mengakhiri apa yang telah kita bagi, apa pun itu, sebelum kita melangkah terlampau jauh dan lupa untuk berhenti. Bukannya aku ingin berhenti. Hanya saja kita diharuskan begitu oleh sekelompok orang, oleh sejumlah pandangan.

Maka, ketika kau menepuk bahuku di sore yang kelabu itu dan bertanya, "Boleh minta waktunya sebentar?", belasan pertanyaan pun berkejaran dalam kepalaku. Belasan pertanyaan yang pada akhirnya urung kusuarakan. Seperti yang sudah-sudah.

"Rendy?" responsku setelah berbalik. Mataku melebar memandangi sosokmu yang menjulang selalu beberapa senti lebih tinggi dariku.

"Tadinya aku takut kau sudah lupa," katamu sambil terkekeh pelan.

"Omong kosong," aku mendengus. "Kita sama-sama kuliah di sini, satu kelas pula selama dua tahun. Bagaimana mungkin aku bisa lupa."

Kau terkekeh lagi sementara aku dibuat bungkam oleh perkataanku sendiri. Ingin rasanya aku mengulang kalimat tadi, mengucapkannya dengan cara yang berbeda sehingga kalimat itu tidak terdengar sambil lalu. Agar kalimat itu terdengar sedikit lebih bermakna.

Bagaimana mungkin aku bisa lupa setelah apa yang kita bagi lewat semua yang tidak terucap? Lewat jabat tangan-jabat tangan itu....

"Apa kabar?" tanyamu.

"Baik, baik. Kau sendiri?"

"Jauh lebih baik sekarang," sahutmu, lalu tersenyum. "Jadi dosen nih sekarang?" tanyamu dengan nada menggoda.

Aku mengangkat bahu. "Aku selalu ingin jadi guru dari dulu."

Kau mengangguk. "Kalau kau sih aku tidak ragu. Kan lulusan terbaik dari angkatan kita."

Aku tersenyum kecil. "Kau sendiri anak kantoran sekarang?" tanyaku sembari memerhatikan tubuh tegapmu yang dulunya sering dibalut dengan kaus longgar dan celana jins, namun sekarang berganti dengan kemeja biru lengan panjang dan celana hitam formal.

"Cuma sementara," balasmu tidak antusias. "Aku tidak sabar menunggu saat aku berhasil mendirikan rumah produksi software-ku sendiri."

Ah, mimpi itu.... Mimpimu sedari dulu. Selalu yang itu. Saat dosen kita menanyakan apa tujuan kita mengambil jurusan Teknik Informatika, saat teman-teman bertanya apa yang bakal kaulakukan sesuai lulus, kau selalu memberikan jawaban yang sama dengan nada optimistis yang tidak pernah berkurang kadarnya: aku ingin mendirikan rumah produksi software.

"Cari tempat duduk yuk," ajakmu tiba-tiba. "Bangku yang dulu sering kita duduki masih ada?"

Aku mengangguk. Sebentar kemudian, kita telah berpindah, dari koridor kampus ke bangku kayu dekat taman kampus. Lalu obrolan pun terjalin begitu saja, dengan mudahnya, seolah-olah kita tidak pernah putus komunikasi. Dari obrolan itu aku pun tahu kalau kau sekarang bekerja sebagai programmer di salah satu perusahaan pengurus jasa transportasi laut. Sebelum itu, kau adalah programmer di satu perusahaan penjual dan penyewa alat-alat berat. Tidak mengherankan. Dari dulu, kau memang yang paling menonjol di mata kuliah Pemrograman. Aku memang lulusan terbaik, tapi ilmu pemrogramanku tidak pernah bisa menyamaimu. Berapa bahasa pemrograman yang kau kuasai? C, C++, Visual, dan terakhir kuingat, sebelum lulus, kau sedang memperdalam bahasa Java. Aku mengagumimu karena itu.

Kumpulan Cerita PendekWhere stories live. Discover now