Pasar Insadong, Seoul memberikan romansa tersendiri bagi Bo-Gum, dia seakan menginjak dimensi masa lalu yang belum pudar dimakan waktu. Pukul 8 pagi, dia berangkat dari rumah menggunakan busway, lalu tiba sekitar 15 menit kemudian. Tidak membutuhkan banyak waktu, tapi sebelumnya saat dia hendak menuju stasiun. Ada satu tempat yang sering dilewatinya, sebuah tempat yang selalu menemani dirinya tumbuh hingga menjadi pria dewasa. Tempat les piano yang dulu sering dikunjunginya, kini hanya bersisa bangunannya saja. Semua berakhir karena tragedi kebakaran 10 tahun yang lalu.
Melihat puing-puing dan abu yang merapal di sana semakin membuatnya tersita dalam kenangan bersama seseorang. Ada senyum lebar yang tersimpan di sana, meskipun hari ini dia masih memiliki senyuman.
Bo-Gum menarik napas, lalu membuangnya dengan kuat. Mencoba menahan serangkaian ingatan yang terus-terusan menghunjam.
"Bo-Gum-ah! Kau harus ingat kunci dasarnya!" seruan dari masa lalu seakan sampai saat ini. Suara gadis kecil yang terngiang kembali.
Hari Minggu sangat menyenangkan jika dipakai untuk berjalan-jalan ke penjuru kota. Bo-Gum tidak suka menjadi manusia kamar sepanjang hari. Dia tahu, jika sepanjang hari hanya ditemani dinding dan benda-benda mati, penderitaannya tidak akan berkesudahan. Bo-Gum ingin pergi melihat orang-orang hilir mudik, bersibuk ria, ataupun melihat para penyeberang di zebra cross.
Setelah puas memanjakan mata melihat bangunan-bangunan kuno-modern di Pasar Insadong, dia pun memutuskan untuk berdiam diri di sebuah kafe EDWIN yang berada di depan perempatan terpadat di kota Seoul. Setelah mengambil tempat duduk di tepi jendela yang sudah mengembun, tak lama waiter pun datang dengan senampan kopi yang sebelumnya sudah dia pesan.
Bo-Gum mereguknya sedikit, lalu memandang ke luar jendela. Mengamati arus manusia melintasi jalanan. Ada yang bertubuh gempal sedang kerepotan membawa buku-buku—sepertinya dia sedang sibuk ujian, seorang anak kecil sedang dituntun ayahnya, kereta dorong yang digiring ibunya dan... seorang gadis memakai rok berlipit, rambut pirang, kulit pucat dan... sesuatu yang pernah dilihatnya tapi... entah di mana.
"Dia...," Bo-Gum bergumam mencoba menyebut nama seseorang yang sudah lama tak dijumpainya. Tapi ucapannya putus begitu saja, menyadari bahwa mustahil orang itu adalah dia.
"Pabo-ya!" Ada sesorang yang memanggilnya dengan lantang.
Renungan Bo-Gum terpecah, lalu teralihkan pada suara pria yang sudah ada di depannya. Lee Hyun-Woo, sunbae-nya di Universitas Myeongji. Mereka bertemu tidak sengaja saat kegiatan seni akhir tahun tepatnya saat di ruangan musik. Hyun-Woo dua tingkat lebih tinggi dari Bo-Gum saat itu sedang berlatih biola. Sebenarnya itu bukanlah pertemuan tidak sengaja, karena Bo-Gum datang secara khusus hanya untuk memastikan apakah benar apa yang orang-orang katakan.
"Hyun-Woo-ssi..." Bo-Gum ingat pernah dikira adalah Hyun-Woo oleh salah satu guru musik di sana saat Bo-Gum berdiri di ambang pintu.
Tentu saja Bo-Gum sedikit tercenung mendengar hal itu. Dan sekarang dia mendapatkan jawabannya. Menyadari pria di dalam ruangan yang sedang bermain biola adalah Lee Hyun-Woo sontak guru musik itu tertawa, menyadari ia telah salah orang.
"Park Bo-Gum, tingkat 2, jurusan musik dan film," ungkap Bo-Gum sembari tersenyum setelah ditanyai pria berambut kriwil—guru musik yang salah mengenalnya.
Melihat orang lain yang memiliki garis wajah serupa dengan dirinya, Bo-Gum mengerti kenapa banyak orang terus-terusan mengira dirinya adalah si pria pemain biola. Padahal Bo-Gum sama sekali tidak pernah memegang biola. Tapi karena hal itu, Bo-Gum dan Hyun-Woo bisa berteman dekat.
Kata orang setiap individu pasti memiliki kembarannya, entah di mana pun itu. Memang cukup mengejutkan jika sampai dipertemukan. Tapi mendengar hal itu berkali-kali tentunya itu sudah bukan kejutan lagi. Dan beginilah yang dirasakan Bo-Gum, awalnya semua itu hanya omong kosong saja baginya, tapi melihat seseorang yang serupa dengannya, ternyata omong kosong itu benar. Tidak ada omong kosong yang benar-benar kosong, karena dia menyadari setiap omong kosong pasti tercipta oleh kenyataan yang jarang dijumpai. Hanya saja kenyataan itu akan menjadi omong kosong jika terdengar oleh orang yang tidak pernah mengetahui dan tidak pernah ingin tahu.
"Kau melamun lagi?" tebak
Hyun-Woo, pria bermantel biru itu tengah memegang secangkir cokelat panas. Ia duduk di depan Bo-Gum. Wajah mereka benar-benar mirip, orang lain yang tidak mengenal mereka tentunya akan mengira kedua pria itu adalah saudara kembar.
"Aku sedang melihat keramaian, Hyung," jelas Bo-Gum sembari menatap Hyun-Woo.
Hyun-Woo terkekeh, Bo-Gum memang sedikit absurd. Dia suka sekali menatap hal-hal aneh, yang menurut Hyun-Woo sendiri itu sia-sia saja.
"Pabo-ya!" Hyun-Woo kembali terkekeh lalu ikut mengamati lautan manusia yang hilir-mudik di persimpangan. "Apa kau sedang mencari cintamu di sana?"
"Tidak... Sudah kubilang aku suka melihatnya saja," jelas Bo-Gum sekali lagi. kembali dia mereguk kopi, uapnya mulai diterkam dingin.
Hari minggu ini udara cukup lengas. Hidung Bo-Gum terlihat begitu merah, Hyun-Woo menegur Bo-Gum karena sering kali lupa memakai mantel. Apa dia gila? Hyun-Woo tidak habis pikir, kemanakah otak Bo-Gum selama ini? Apa dia sama sekali tidak merasakan kalau tubuhnya kedinginan?
Selama salju terus menjadi puing-puing di seluruh penjuru kota, Hyun-Woo bercerita tentang pengalamannya saat melihat konser musikal di natal tahun lalu. Katanya dia bertemu dengan seorang guru musik muda yang cantik. Gadis itu mahir memainkan piano dan Hyun-Woo sangat mengaguminya.
Sejenak Bo-Gum menepekuri kalimat 'Gadis itu mahir memainkan piano'. Bo-Gum memandangi Hyun-Woo penuh tanda tanya. Lalu akhirnya dia bertanya juga, "Di mana tempat itu?"
"Suatu saat aku akan membawamu ke sana. Tapi nanti pada natal tahun depan," ucap Hyun-Woo diakhiri dengan suara peletukan dari lidah yang dimainkannya.
Bo-Gum hanya mengangguk-angguk, tanpa memrotes bahwa natal tahun depan terlalu lama untuk ditunggu. Dia hanya terdiam dan memandangi kesibukan manusia kembali. Menunggu natal tahun depan, kenapa harus di hari natal? Kenapa tidak besok saja, minggu depan atau bulan depan? Setengah kopinya tersisa hingga seperempat, Bo-Gum menatapnya dan menikmati kembali.
Seperti halnya mereguk kopi, dia tidak suka menelannya sampai habis atau secara terburu-buru, meminum kopi sangat nikmat jika dibarengi dengan mengikuti putaran waktu. Meregupnya perlahan, perlahan, hingga habis dan menyadari betapa nikmatnya kopi ini. []
Sunbae= Senior
Hyung= Kakak Laki-Laki
YOU ARE READING
Disaster
RomanceJika hari itu aku tidak menerima uluran tangannya.... Dan jika hari ini aku menerima uluran tangannya.... Bagaimana waktu 'kan memainkannya?