Prolog

390 35 20
                                    


"Arka kembali! ARKA!" teriak Banas pada Arka yang sudah berlari masuk ke dalam hutan. Ia tak mengira jika Arka akan benar-benar memberi tatapan kebencian padanya. Salahnya juga karena sudah terlalu lama mengabaikan putera semata wayangnya itu. Ia benar-benar belum bisa memaafkan kesalahannya di masa lampau setiap kali melihat wajah Arka yang mirip mendiang ibunya. Ia hanya bisa menghela napas dan mengusap wajahnya kasar.

"Yang Mulia, Arka?" ucap Ashka, anak angkat Banas, sambil mengedipkan mata bulatnya.

Banas tersenyum, mengusap kepala anak perempuan berumur sepuluh tahun itu. "Tidak apa-apa, dia hanya salah paham. Susul adikmu sana, coba hibur dia." Ashka mengangguk, berlari ke hutan mencoba menyusul Arka. Banas mengarahkan matanya pada dua prajurit, memberi isyarat agar mengikuti Ashka.

Saat hendak berbalik ke istana, sesosok pemuda berkulit cerah dengan sebagian badan bagian bawahnya yang berair mulai memadat, muncul tiba-tiba dihadapannya.

"Kau benar-benar mirip hantu. Tak heran para manusia menyebutmu hantu air."

Dhanu terkekeh dan mendekati Banas. Ia membungkuk di hadapan Banas dengan seringai yang masih terpasang di wajahnya. "Sugeng Enjang, Gusti Prabu Banas Wisanggeni."

Banas berdecak lalu menyentil dahi Dhanu dengan percikan apinya hingga keluar sedikit uap dari dahi putih itu. "Kalau kau bukan anak dari sahabatku sudah ku buat kau menguap dari dulu."

"Hahaha, tenanglah paman aku hanya bercanda." Dhanu berdehem menetralkan kembali suaranya. "Aku hendak mengantarkan undangan dari Bawapraba untuk paman. Maaf jika terlambat, Kakek Magi lupa mengantarnya jadilah aku yang dititipi undangan itu untuk paman."

Banas mendesah ketika membaca waktu yang tertera di lontar itu. "Benar-benar terlambat. Pak tua itu terlalu banyak alasan untuk mengunjungiku. Terimakasih Dhanu. Aku akan bersiap-siap segera."

Dhanu tersenyum, pamit, lalu menjelma menjadi air yang menyatu dengan danau di sebelah kanan tempat Banas berdiri.

Tak sampai satu jam Banas bersiap, kini ia telah duduk di balik meja besar di Balairung Istana Cahaya bersama para utusan lainnya. Mendengarkan baik-baik setiap kata yang keluar dari bibir pria paruh baya berkulit cerah dan bermata tajam yang duduk di singgasananya. Pria yang membuatnya menduduki posisi Raja dunia siluman.

"Mungkinkah yang ia maksud pecahan kristal?" gumamnya.

"Kalian pasti sudah tahu, kristal mustika di ujung tongkatku telah pecah berkeping-keping. Terdampar di banyak wilayah dalam lintas waktu. Aku meminta kalian untuk mencari kepingan itu. Sebelum kekacauan terjadi, dan bencana yang tidak terelakkan. Tugas kalian sudah digariskan, wilayah dan waktu sudah disiapkan sang Magi, kalian akan diberikan gulungan peta sesudah keluar dari pintu," kata Bawanapraba menjelaskan.

"Bencana apa yang Sang Hyang maksud?" tanya Adipati Utara.

Bawanapraba menghembuskan napas panjang. "Manusia berkekuatan. Relativitas waktu yang akan dibuat ulang. Aturan hukum alam baru yang akan mengacaukan seluruh kehidupan di atasnya. Itu semua bisa terjadi jika serpihan kristal digunakan oleh penemu yang tidak bertanggung jawab."

Seluruh pejabat yang hadir berbisik-bisik heran, kecuali dirinya. Dugaan Banas benar, kristal itu membuat masalah. Dulu, ia sudah pernah membicarakannya dengan Bawanapraba tetapi karena keadaan yang tengah berduka akibat jumlah korban melawan iblis lebih dari yang diperkiraan, akhirnya Bawanapraba memutuskan untuk menunda pencarian.

"Kenapa bukan Sang Hyang yang mengambilnya? Kau memiliki prajurit lebih handal, adipati, dan sang Magi." Semua hadirin mengalihkan perhatian mereka pada Edma, Pangeran Timur Laut, yang berucap protes pada Bawanapraba.

Banas memandang lekat-lekat pada Edma. Anak dari salah satu sahabatnya itu terlihat tidak suka. Bocah kecil yang dulu berumur lima tahun telah beranjak dewasa. Yang selalu memandangnya takut-takut saat ia berkunjung ke kediaman orangtuanya.

Bawanapraba menanggapi protes Edma dengan tenang. "Anakku, kau mendapat tugas di Selat Malaka. Kau bisa pergi ke luar sana, menemukan kepingan pecahan itu. Kembalikan padaku secepatnya. Dan kedamaian hati akan kau rasakan."

Banas dan seluruh pejabat berdiri, siap memberikan hormat pamit.

"Mungkin Sang Hyang memikirkan risiko meminta bantuan ini sebelum membiarkan Ayahku meninggal," kata Edma tajam, pahit, dan menusuk.

"Jaga bicaramu anak muda!" Banas dan semua yang mendengarnya mengambil ancang-ancang penyerangan pada Edma sebagai hukuman. Bahkan percikan api telah keluar dari jari-jarinya. Edma memandang Banas dengan berani.

Putri Tenggara menghampiri Edma, entah apa yang dilakukannya membuat aura kebencian pada diri Edma meredup. Lalu gadis itu pamit mengajak Edma pergi meninggalkan Balairung. Seluruh hadirin pun ikut pamit meninggalkan Balairung, kecuali Banas yang masih menatap gerbang di mana Edma keluar bersama Putri Tenggara.

"Benar-benar mirip anakku," gumamnya.

Banas menoleh ke samping merasakan tepukan di pundaknya. Bawanapraba tersenyum membuat kerutan di area matanya terlihat jelas. "Kau sendiri juga keras kepala, Banas. Aku merasa kali ini kau akan benar-benar memenangkan hati anakmu."

"Semoga, semoga seperti itu." Banas memberi hormat pamit. Segera keluar menemui Sang Magi. Ingin cepat-cepat menyelesaikan ini dan mencoba kembali berusaha untuk Arka.


*******

HALOOOO  \^o^/  kembali lagi bersama saya SILOryza. Sorry ya ngga pernah muncul. *elah tor mah sok sibuk #nangis di pojokan T_T

Terimakasih untuk bunda  AryNilandari yang telah mengadakan event dan ga menyangka masih ada yang kosong #terhura eh terharu.

Untuk prolognya saya ambil dari cerita kakak  carroll13 yang berjudul "Pertarungan Terakhir Pangeran". Yuk mampir ke sana. Baguuuus banget ^o^

Untuk part selanjutnya maaf kalau slow update. Kelas 12 udah mulai sibuk sekali :")


Arya Penangsang [Perbaikan]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang