Bertahun-tahun Azzam menuntut ilmu di Mesir memunculkan kerinduan yang mendalam pada tanah air dan keluarga tercinta yang sudah ia tinggalkan. Ia harus segera menyelesaikan studinya agar ia bisa segera pulang. Ia banting tulang berjualan tempe di Mesir untuk membiayai kebutuhan adik-adiknya di Indonesia.
Profesinya sebagai seorang penjual tempe mempertemukan ia dengan seorang gadis cantik bernama Eliana. Entah mengapa kedekatannya dengan Eliana membuatnya merasa berdosa dan merasa jijik pada dirinya sendiri yang begitu mudah terperdaya oleh kecantikan fisik. Apakah sebegitu rapuh dan lemahnyakah iman Azzam hingga begitu mudah tertipu oleh tampilan luar yang bisa saja menipu? Ia marah kepada diri sendiri karena terlalu cair pada lawan jenis yang belum halal baginya. Ia heran mengapa jati dirinya hilang ketika sedang berdekatan dengan Eliana.
Ia berjanji pada diri sendiri untuk dapat lebih menjaga diri dari godaan yang dapat menistakan dirinya. Ia bersumpah untuk dapat menemukan seorang perempuan yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, perempuan dengan perangai yang lebih baik, salihah, juga bertudung tertutup. Ia harus mengembalikan jati dirinya yang sempat hilang. Ia harus tetap menjadi Azzam yang memiliki harga diri. Meski hanya seorang tukang masak dan tukang penjual tempe, harga diri dan kesucian diri dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan dalam agama harus tetap ia miliki.
Azzam meratapi kekhilafannya dan memarahi dirinya sendiri. Dalam hati, ia bersumpah akan lebih menjaga diri dan hal yang menistakan seperti itu tidak boleh terjadi lagi. Ia juga bersumpah untuk segera menemukan orang yang tidak kalah hebatnya dengan Eliana, tapi bertudung tertutup, salihah, serta bisa berbahasa Arab dan berbahasa Inggris dengan fasih. Kalau terpaksa gadis itu orang Mesir, tidak mengapa. Yang jelas, rasa terhinanya harus ia musnahkan.
Ia harus menemukan kembali kehormatannya sebagai seorang Azzam yang memiliki harga diri. Meskipun masyarakat Indonesia di Mesir mengenalnya hanya sebagai tukang masak atau penjual tempe, harga diri dan kesucian dirinya tidak boleh diremehkan oleh siapa pun juga. Ia yakin akan memperoleh istri yang lebih jelita dari Eliana dan lebih baik darinya. Ia yakin itu tekadnya. Ia ulang-ulang tekad itu dalam hatinya. Ia rajut dengan doa. Ia bawa tekad itu ke dalam tidurnya, ke dalam mimpinya, dan ke dalam alam bawah sadarnya.
Cerita yang juga ditulis oleh Kang Abik ini juga diterbitkan oleh penerbit Republika.