Chapter 1 - The Showcase

216 17 21
                                    


"Udah stand by nih gue."

Mia duduk di depan laptop butut kesayangannya yang diletakkan di atas bantal segiempat agak keras di atas kasur. Satu jendela di laptopnya tampak aplikasi Skype sementara satu lagi aplikasi pemutar video. Lampu kamarnya sengaja dimatikan. Sumber pencahayaan redup di kamar sewaan itu hanya berasal dari laptop, dua lampu estetik di kiri dan kanan tempat tidur, ponsel, dan lampu natal yang digantung sedemikian rupa di dekat meja belajar, menjuntai sampai ke dinding dan langit-langit di atasnya. Di jendela Skype terlihat seorang perempuan berambut pendek yang posisinya kurang lebih sudah sama dengan Mia, duduk manis di depan laptop sambil memangku semangkuk besar keripik kentang.

"Bentar dulu, ini gue belum connect. Dari tadi suka nyebelin deh nih. Kenapa sih internet di Indonesia ngerepotin?!" perempuan bernama Rhana itu mengomel. Suara klak-klik terdengar lewat speaker laptop Mia. Rupanya Rhana tengah kesal dan menekan tombol mouse dengan terlalu keras. "Nah ini baru bisa. Siap?"

"Satu."

"Dua."

Mereka berhitung bergiliran.

"Tiga."

Di hitungan terakhir keduanya mengeluarkan satu kata yang sama, seperti mantra, lalu menekan tombol play. Malam itu Mia dan Rhana janjian untuk menyaksikan episode pertama dan kedua American Horror Story: Cult. Serial televisi yang sudah mereka saksikan sejak masih di bangku SMA. Rhana sedang liburan di Jakarta dan dia sudah dua minggu ini mengeluhkan koneksi internet di kota besar padat penduduk yang selalu macet ini. Sejak lulus SMA, Rhana ikut orangtuanya yang pindah ke Sydney. Tentu saja dia tidak akan menemukan masalah dengan koneksi internet di sana. Sementara di Indonesia, ini bisa jadi masalah semua millennials dan generasi Z. Sejak berpisah, serial televisi seram inilah yang selalu menyatukan mereka. Dua sahabat itu selalu meluangkan waktu setiap satu minggu sekali untuk menyaksikan serial TV yang kerap kali menampilkan adegan sadis penuh darah itu. Tapi buat mereka berdua, semakin sadis adegan yang ditampilkan dalam film atau serial TV, semakin mereka menikmati itu.

Mia dan Rhana sempat curiga bahwa mungkin sebenarnya mereka berdua punya kecenderungan sebagai psikopat. Kalau-kalau suatu hari mereka menyimpan dendam kepada seseorang dan iman mereka tidak cukup kuat untuk menahan keinginan liar dalam kepala mereka, bisa saja sahabat itu bersekongkol untuk melukai orang itu dengan parah dan berdarah-darah. Mia dan Rhana selalu mengakhiri khayalan mereka dengan mengetuk-ngetuk ke benda apa saja yang mereka temui selama beberapa kali, lalu lanjut mengetuk dahi mereka dengan buku jari sambil bergumam "Amit-amit!" Meski begitu mereka menikmati momen gila itu. Mereka berdua yakin bahwa tidak satupun dari mereka benar-benar berani meniru apapun yang mereka lihat di serial TV, film, atau cerita-cerita dalam novel detektif yang mereka baca.

Mia adalah sosok perasa luar biasa. Cara berpikir dan sifat Mia persis ibunya yang tak jarang terlihat menangis setiap kali dia merasa haru. Baik dalam kesempatan yang memang benar-benar mengharukan sampai momen-momen bahagia yang menurut Mia tak perlu sampai bersimbah air matapun ibunya bisa menangis. Tapi Mia tidak sampai ke level itu. Dia mengaku sebagai orang perasa (atau yang anak-anak zaman sekarang sebut sebagai 'Baper', 'Bawa Perasaan'), tapi dia tidak pernah menangis untuk sesuatu yang tidak esensial. Dia pernah menangis untuk seseorang. Satu kali. Dan itu pun sudah terlalu banyak untuk jenis orang seperti itu. Mia tidak pernah menangis untuk satu hal yang sama dua kali. Sebuah peraturan tidak tertulis yang masih selalu dilakukannya sampai saat ini.

Rhana sedikit lebih kuat dari Mia untuk urusan perasaan. Rhana lebih logis dan tidak selalu main perasaan. Mia selalu berpikir bahwa Rhana tahu segalanya tentang dirinya dan hidup. Tak heran kalau setiap kali Mia merasa butuh teman bertukar pikiran, Rhana adalah orang pertama yang akan muncul di kepalanya. Semua rahasia tentang Mia diketahui Rhana. Secara teknis tidak ada satupun hal yang tidak Rhana ketahui soal sahabatnya itu. Dan Mia bukanlah orang yang bisa menyimpan rahasia. Rhana tahu dengan siapa dia berurusan. Dia tahu kapan Mia merasa seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Rhana juga orang yang pengertian. Jika dia merasa Mia tidak ingin bicara, maka dia akan membiarkan gadis itu berkutat sendiri dengan pikirannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 23, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DiaWhere stories live. Discover now