Minggu pagi yang cerah. Suara burung berkicau saling menyambut munculnya sang surya. Ayam berkokok mengusik tidur Aruna yang indah. Ia membuka mata lantas melihat jam di nakas, pukul 06.00. Aroma harum menyeruak ke indera penciumannya. Ibu selalu tahu cara untuk membangunkan gadis manisnya itu. Nasi goreng. Segera Aruna menghampiri sang ibu.
"Ibu telur setengah matangku mana?" tanya Aruna.
"Cuci mukamu dulu. Ini sedang ibu buatkan." jawab ibu.
"Jangan dibalik ya bu telurnya, nanti tidak cantik. Hehe" ujar Aruna.
"Apa cantiknya telur?" ujar Bima sang kakak dengan kening berkerut.
"Adikmu memang aneh bim." timpal Sarah.
Selalu seperti itu. Selalu. Minggu pagi dengan ditemani nasi goreng buatan ibu dan telur setengah matang yang cantik milik Aruna. Si bungsu yang aneh dari tiga bersaudara itu. Meskipun demikian Aruna sangat disayangi oleh semua keluarganya. Ayah, ibu, dan kedua kakak kembarnya Bima dan Sarah. Walau ayah seringkali absen karena melaut, keluarga mereka tetaplah bahagia. Sampai saat ini, karena takdir hanya tuhan yang tahu.
"Aruna, ayo cepat. Jangan sampai kami tinggal lagi ya." teriak Sarah dengan sepeda pink-nya.
"Awas saja sampai berani meninggalkanku." sungut Aruna dari dalam rumah.
Kebiasaan yang tak pernah absen. Bersepeda mengelilingi sekitar rumahnya. Sampai salah satu diantara mereka menyerah barulah mereka akan kembali ke rumah, Aruna lebih tepatnya. Ia selalu menjadi pertama yang menyerah ketika bersepeda 'bosan' alasannya.
"Aruna, cepat!" Bima melirik jam tangannya."sudah jam 7 ini. Kalo tidak keluar sekarang juga, kami tinggal." lanjutnya.
"Iya. Iya. Ayo cepat!" timpal Aruna seraya meninggalkan kedua kakaknya.
"Dasar menyebalkan." keluh Sarah.
Walaupun seringkali menjadi yang pertama menyerah dalam bersepeda. Dalam lubuk hatinya Aruna sangatlah menikmatinya. Terlebih lagi dapat menjahili kedua kakaknya. Namun, mungkin ini akan menjadi minggu pagi terakhir untuk bersepeda. Mungkin.
"Kak, ayo kita balapan. Siapa yang sampai pohon itu terlebih dahulu, bisa minta apa aja." tantang Aruna seraya menunjuk pohon besar di ujung jalan.
"Ayo. Tapi jangan coba-coba curang ya Aruna." ujar Sarah.
"Dan... Kalo kalah jangan nangis seperti minggu lalu ya." timpal Bima.
"Oke. Siapa takut." mantap Aruna.
Perlombaan pun dimulai.
***
Di lain sisi, di tengah keramaian ibu kota yang padat. Terdapat rumah sederhana yang ditinggali pemuda berusia dua puluhan. Minggu pagi yang damai dengan secangkir kopi pahit kesukaannya. Menemani bersantai sambil menyaksikan berita pagi di televisi. Headline News terpampang jelas dihadapannya.
"Selamat pagi, gempa berkekuatan 9,1 SR mengguncang Samudra Hindia pada pukul 07.58 waktu setempat. Gempa yang diakibatkan karena pergeseran lempeng Hindia dan Burma dirasakan dibeberapa negara seperti Sri langka, Thailand, India, Maladewa, dan khususnya Indonesia. Gempa berkekuatan 9,1 SR ini sangat dirasakan di daerah indonesia, Aceh. Tidak sampai di situ, gempa tersebut memicu adanya tsunami dengan ketinggian 30 meter yang telah menyapu Aceh dan daerah sekitarnya. Belum dapat dipastika berapa korban jiwa, namun dari laporan terakhir kondisi di sana sangat mengkhawatirkan. Sekian dari kami. Selamat pagi." tutup pembawa berita.
Pemuda itu pun segera bangkit dari singgahsananya. Dengan cepat mengemasi barang seperlunya dan dengan tangan kiri sibuk menelepon seseorang. Bukan. Bukan karena keluarga atau orang terkasih ada di sana. Namun itu sudah menjadi tugasnya, membantu yang terkena bencana. Membantu dengan pengetahuan yang ia punya dan bisa. Relawan. Sebut ia begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
BIRU
Short StorySekali lagi, mungkin takdir memang sedang mempermainkan Aruna. Bukan, bukan hanya Aruna tetapi keduanya. Takdir sedang mempermainkan Aruna dan Biru.