Wajah itu terlihat masih sembab. Sisa-sisa air mata mengering di pipi gadis itu. Pakaian hitamnya masih melekat di tubuhnya yang kurus. Sinar matahari siang yang masuk lewat jendela kaca yang buram memperjelas ia sendirian. Gelas bening yang ia genggam kosong, juga dengan teko di sebelahnya.
Pandangannya kosong, ia hanya menatap jendela kaca yang terbuka. Tak menanggapi beberapa orang yang datang padanya. Ia bisa memastikan mangkok kuning berisi kuah kari ayam itu buatan Bibi Lia-tetangga sebelah-beberapa puluh menit lalu sudah dingin.
"Wizy! Ayo bantu ibu, sebentar lagi ayah datang," ujar seorang wanita dengan memakai celemek dan memegang spatula.
"Ibu ..." ujar Wizy yang tersenyum penuh kerinduan. Namun bayangan itu menghilang saat Wizy berdiri hendak memeluknya.
"Hey, putri ayah, mengapa kau bersedih seperti itu. Lihat wajahmu, Wizy. Kau kurus sekali,"
"Ayah ... Aku." Lagi-lagi Wizy terjebak dalam ilusinya.
Kali ini ia bahkan melihat sosok ibu dan ayahnya yang sedang berdebat soal sekolah mana kala itu untuk putrinya, Wizy. Ia tersenyum perih, tak akan lagi suara perdebatan ibu dan ayahnya. Yang ada kini hanya bayangannya saja.
Jemarinya menyentuh kertas pemberitahuan bahwa rumah orangtuanya beserta perusahaan yang didirikan ayahnya disita. Sudah lelah ia menangis, menangisi semua yang ia genggam kini hilang.
Ia mengelus setiap kenangan selama 25 tahun tinggal di rumah ini. Kamar orangtuanya, kamarnya, ruang tamu tempat berkumpul bersama. Dan dapur saat ia membantu ibunya membuat kue kering lantai dapur dan meja yang penuh dengan taburan tepung. Itu membuatnya tersenyum.
Ia berdiri di deket tangga dan pintu utama dengan beberapa tas dan koper. Ia berpaling sebelum hatinya kembali memberontak enggan keluar dari rumah yang ia cintai. Sopir taksi yang menunggunya membantu memasukkan koper ke bagasi dan membawa Wizy berlalu.
♧
Taksi itu membawanya berhenti di sebuah apartemen bercat krem, wanita gendut dengan lipstik merah menyala menggiringnya masuk ke apartemen sederhana kosong no 110. Apartemen dengan dua kamar itu bercat krem dengan beberapa jendela besar menghadap barat. Ada lift di ujung lorong, kebanyakan penghuni lantai 5 ini dihuni rumah tangga, tetangga depannya bernama Kak Linda, ibu rumah tangga dengan 2 balita kembar yang ramah padanya.
"Bagimana, jika kau membelinya dekat dengan beberapa kantor yang siapa tahu kau bisa bekerja di sana. Dekat dengan supermarket."
"Baiklah, aku ambil ini, aku akan transfer uangnya," ujar Wizy pada Bibi Elisa.
"Aku tahu kau akan membelinya, aku akan ambilkan surat-suratnya," ujar Bibi Elisa yang keluar dari apartemen Wizy.
Apartemen Lisabeth bukanlah apartemen mewah, mengingat bangkrutnya Wizy saat ini, yang hanya bisa membeli rumah kecil meski berupa bangunan sederhana.
"Semoga kau betah mendengar teriakan mereka," ujar Kak Linda pada Wizy. Bisa ia lihat balita laki-laki dan perempuan Kak Linda bermain kejar-kejaran di balik pintu teralis.
"Tidak akan, Kak. Mereka sangat lucu."
"Dan berisik. Aku Linda."
"Wizy." Ia terdenyum sedikit kala mendengar perdebatan anak kembar Kak Linda.
"Mama!! Aviel menjambak rambutku!" teriak Ava, anak kembar perempuan kembaran Aviel.
"Mereka seperti itu sepanjang hari, Aviel jangan sepert itu pada saudarimu." ujar Linda membuka pintu teralis, keluarlah Ava dari dalam dan memeluk mamanya menatap Wizy.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLARITY OF LOVE (End)
RomanceWizzy tidak tahu sama sekali bahwa dia berada di tengah badai. Bahkan ia menjadi sasaran emosi jiwa-jiwa tersesat.