Hello

5 1 0
                                    

Hello

Kata hello selalu membuat kesan menarik di hatiku. Kata pertama yang selalu diucapkan orang-orang ketika bertemu pertama kali. Kata pertama juga yang Ia lontarkan kepadaku saat ini. Rambut cepak dengan alis tebal serta senyum tipisnya mau tak mau membuatku otomatis memamerkan senyum ramah ketika ia menepuk pundakku pelan. "Hello" sapanya kearahku yang sedari tadi berdiri menatap langit mendung di depan sebuah toko roti. Toko roti yang rutin ku kunjungi setiap hari sabtu. Hari dalam setiap minggunya aku kembali ke rumah setelah 5 hari full menjalani pekerjaan yang terkadang membuatku rindu akan masa-masa sekolah. Aku menoleh, memfokuskan pandanganku ke arah dia yang mau tak mau membuat ku mendongak akibat tingginya yang mungkin berbeda 25 cm dariku lalu mengangguk pelan.
"sering datang ke sini ya?"
kembali aku mengangguk pelan, berdehem sebentar menetralkan suara yang sepertinya mulai serak.
Ah, sepertinya aku kebanyakan minum es dan ngemil coklat . Buktinya suaraku sekarang berubah menjadi serak. Apalagi sekarang musim hujan sudah datang. Lebih baik aku menghentikan kegiatan favorit ku itu sebelum jatuh sakit.
Aku kembali menatap awan yang sekarang sudah benar benar kelabu. mengabaikan pria di samping ku yang juga tengah menatap langit mendung. Hanya keheningan yang menyelimuti kami berdua sebelum akhirnya tetesan air hujan jatuh ke muka bumi tanpa sempat aku beranjak dari depan toko.
Yah hujan deh. Gimana mau pulang ini?
Ku lirik arloji berwarna hijau yang melekat di pergelangan tanganku.
15.25
udah mau sore pula. Mama pasti khawatir . Tapi janjinya pulang jam 2.

Ku hembuskan nafas lelah. Menatap butiran air hujan yang telah membasahi lantai. Memercikkan butirannya sehingga mengenai ujung sepatu flat shoes ku.
"sepertinya hujannya bakalan lama"
Suara berat lelaki yang sejak tadi diam terdengar di telingaku meski tidak jelas karna bercampur dengan suara hujan . kembali aku menoleh ke arahnya. Dan Lagi lagi aku mengangguk. "iya, sepertinya begitu" jawabku begitu saja tanpa tau kalau ia ntah sedang berbicara ke arah ku atau tidak.
Kulirik kembali arloji di pergelangan tanganku.
15.35
Sudah 10 menit berlalu ternyata dan hujan seakan akan mengurung ku berduaan bersama pria asing yang ada di samping ku.
Udara semakin mencekam membuatku mengusap lenganku yang hanya di lapisi baju tipis.
Kenapa tadi nggak pakai kardigan aja gitu.
"dingin?" tanya pria di sampingku sedikit berteriak akibat hujan yang kini tengah turun deras. Dan lagi lagi aku mengangguk . "iya. Tapi it's okay" jawabku diiringi senyum kecil yang hanya di tatap datar olehnya.
Tiba tiba tangannya terjulur ke arahku
"Vion"
Mata ku mengerjab beberapa detik disertai keningku yang berkerut bingung menatapnya sementara tangannya masih terjulur ke arahku. Ku pindahkan paperbag berisi berbagai roti yang kubeli tadi ke tangan kiri ku. Lantas ku jabat tangan nya dengan memamerkan senyum ramah "Vian" balasku yang kini malah membuatnya sedikit tergelak
"nama kita cuma beda satu huruf ternyata"
Aku mengngguk setuju " takdir kali ya" sahutku sekenanya yang malah di balas anggukannya.
Vion kembali menatapku "kamu bawa kendaraan?" tanyanya.
Aku menggeleng .
"kalau kamu mengizinkan, saya bisa mengantar kamu pulang"
Kembali aku menggeleng, menolak ajakannya " nggak usah. Kita ini hanya stranger yang baru aja kenal. " aku tersenyum yang hanya di balas anggukannya. Dalam hitungan detik Ia lalu menerobos hujan yang masih mengguyur kota dengan deras.
Aku menatap punggungnya yang memasuki mobil berwarna hitam yang berada di parkiran. Taklama setelahnya Ia kembali keluar, kali ini dengan 2 payung di tanganya. Satu payung sedang Ia pakai, satu lagi berada di genggamannya.
"kalau kamu tidak mau saya antar ke rumah, setidaknya kamu terima payung saya ini. Dan biarkan saya antar kamu sampai ke halte.
Vion menyodorkan sebuah payung berwarna abu abu ke arahku yang sedari tadi hanya menatapnya bingung.
"Vian?" panggilnya karna payung yang Ia sodorkan tadi belum juga ku ambil.
Aku menggeleng, mencoba menolak
"nggak usah. Aku nunggu hujan reda aja"
Tindakan selanjutny amalah membuat jantungku berdetak cepat. Tangannya dengan cepat memegang tanganku lalu memindahkan payung di tangan kanannya ke tangan kanan ku.
"tolong jangan ditolak"
"tapi kenapa? Kita cuma orang asing yang nggak sengaja ketemu di sini"
Sudut bibirnya naik memperlihatkan senyuman tipisnya " seperti kata kamu tadi. Mungkin aja ini takdir" jawabnya sembari mengendikan bahunya acuh.
Aku terkekeh kecil mendengar jawabannya.
"baru kali ini gue ketemu stranger baik kayak lu" ucap ku pelan yang di balas dengan tatapan herannya. Aku kembali menggeleng " nggak papa"
"yaudah ayo, saya antar ke halte, dari pada nanti kesorean nunggu disini"
Aku mengangguk, mengembangkan payung lalu melangkah menjauhi toko roti yang sejak 35 menit yang lalu ke tempati. Di sampingku masih setia Vion yang menyejajarkan langkahnya dengan langkah kakiku. Kami berjalan beriringan dalam diam. Menikmati suara hujan bercampur dengan suara kendaraan yang berlalu lalang.
Halte bus berada tak jauh lagi. Di sana hanya berisi 5 orang yang entah sedang berteduh atau tengah menunggu bus.
"sudah dekat. Kamu nggak perlu antar saya sampai halte" ucapku dengan suara serak, sedikit mengeraskan volume .
Dia menggeleng. "tak apa" 
Hanya dua kata itu yang keluar dari mulutnya. Kami kembali berjalan dengan diam diiringi backsound hujan.
Aku menutup payung yang ku kembangkan tadi diikuti oleh Vion yang juga ikut menutup payungnya.
"loh kok nggak balik? Aku kan udah sampai halte" 
"nunggu kamu naik bus dulu. Baru saya balik" jawabnya.

"kenapa ditungguin. Aku nggak papa kok, btw ini payung nya aku kembaliin lagi. Thanks ya."
Ku sodorkan payung yang baru saja ku gunakan itu ke arahnya. Vion menggeleng.
"buat kamu saja. Anggap saja hadiah perkenalan dari saya"
Jawabannya itu refleks membuatku terkekeh kecil. Kalau  laki-laki lain memberikan bunga atau coklat sebagai hadiah ke perempuan, laki-laki di sampingku ini malah memberikan payung sebagai hadiah.
"kenapa?" tanya nya melihat ku yang terkekeh di sampingnya.
Aku berdehem lantas kembali menggeleng "nggak papa, cuma aku ngerasa kamu itu unik banget ya. Dan sekali lagi aku katakan, kita ini hanya stranger yang kebetulan bertemu. Tapi lihat apa yang sudah kamu lakukan . Kamu seolah olah mengganggao aku bukan orang lain. Tapi seperti teman dekat mu. "
"kamu percaya dengan yang namanya love at the first sight?" tanyanya yang ku balas dengan gelengan.
Laki-laki yang mempuyai nama mirip denganku itu tersenyum. Pandangannya mengarah ke jalanan di depannya. Menatapi butiran air hujan yang jatuh menyentuh bumi.
"kalau saya katakan saya jatuh cinta dengan kamu sejak pandangan pertama, kamu percaya tidak?"
Aku menatap nya tidak percaya.
Ini gue yang salah dengar atau gimana?
"ha?" akhirnya kata itu lah yang keluar dari mulutku setelah terdiam beberapa detik.
Dia menoleh ke arahku. Mata bulatnya seakan akan membakar tubuhku hanya dengan menatapku saja.
"abaikan saja, anggap saja kamu tadi sedang berhalusinasi" jawabnya disertai senyuman tipis khasnya . Dalam waktu beberapa menit saja aku seakan akan sudah familiar dengan senyumannya itu. Ingin aku menanyakan apa maksud kalimat nya tadi, tapi bumi sepertinya tidak mendukung karna bus yang akan aku naiki sudah berhenti di depanku.
Kepalaku mendongak menatap matanya. Aku tersenyum. Kali ini senyuman yang benar benar tulus dalam hatiku.
"terimakasih atas ojek payung nya." canda ku yang di balas anggukannya.
Aku berdehem "kalau ini memang takdir, semoga kita di pertemukan lagi di keesokan harinya" ucapku dengan volume sedikit kencang, mencoba untuk menandingi suara hujan.
Lagi, dia mengangguk kali ini di sertai senyuman nya. Bukan senyuman tipis yang tadi ia tampilkan tapi senyumanyang entahlah aku juga tidak tau bagaimana menjelaskannya.
"sekali lagi trimakasih Vion" ucapku sebelum menaiki bus didepanku.

------
Seminggu berlalu.
Seminggu yang monoton. Kerja dari pagi hingga sore. Pulang ke kost an hanya untuk tidur. 5 hari ku lalu seperti itu. Sangat membosankan.
Dan tibalah hari ini, hari Sabtu, seperti biasanya aku kembali mengunjungi toko roti langgananku. Kali ini cuaca sangat bagus. Langit memamerkan warna biru lautnya. Awan putih menghiasi sisi-sisi langit berwarna biru. Matahari bersinar terik tapi tidak begitu menyengat kulit. Aku tersenyum kecil menatapnya.
Ah sepertinya hari ini hujan tidak akan datang
Aku menghembuskan nafas lega lalu kembali menatap ke depan setelah mendongak selama beberapa menit hanya untuk memperhatikan langit.
Hampir saja paperbag berisi roti di tangan kanan ku jatuh menyentuh lantai karna objek yang berdiri tak jauh dariku.
Kusadari jantungku langsung berdetak cepat seperti melihat hantu.
Laki-laki itu. Vion, menatap ku dari parkiran. Di berdiri disamping mobilnya lalu melambaikan tangannya diiringi anggukan kecil seakan menyapaku. Aku refleks menggenggam erat paperbag ditangan ketika Ia melangkah mendekat.
Senyum tipis terukir di wajahnya yang menampilkan ketegasan. Dia mungkin bukan pria yang tampan. Tapi Ia mempunyai kharisma yang mungkin membuat perempuan manapun jatuh hati.
Langkah Vion hanya tinggal hitungan jari lagi ketika Ia memutuskan untuk berhenti.
"saya selama 3 hari selalu datang kesini. Berharap kamu akan datang. Tapi nyatanya kamu tidak ada. Sia-sia 3 hari saya menunggu. Akhirnya saya putuskan untuk berhenti berharap. Mungkin kita bukan di takdirkan lagi untuk bertemu"
Dia terlihat menghela nafas lalu kembali berbicara
" Mungkin saya bodoh sekali menunggu hal yang tidak pasti. Jatuh cinta hanya dalam pandangan pertama. Iya saya rasa saya sudah jatuh cinta dengan kamu, nama yang hanya berbeda satu huruf dengan nama saya." jelasnya diiringi kekehan kecil ketika melihat keningku yang berkerut tanda bingung.
Jatuh cinta pandangan pertama?
Aku menertawakan diriku yang sepertinya juga setuju dengan kalimat itu. Kalimat yang dulunya ku cemooh. Tidak ada yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dulu aku berfikir begitu. Dulu, sebelum akhirnya laki-laki ini muncul.
"Tapi lihat apa yang terjadi ketika saya sudah benar-benar tidak berharap untuk bertemu kamu disini. Hari ini. Bumi seolah-olah sedang mempermainkan saya dengan adanya kamu disini. Di depan saya. Nyata"
Aku lagi-lagi tersenyum mendengar kalimat yang diucapkannya. Seminggu ini juga aku mencoba untuk mengusir semua bayangan tentang laki-laki di depanku ini. Berusaha memfokuskan diri dengan pekerjaan. Mensugesti diriku jika pertemuan aku dan dia hari itu hanya sebuah kenangan singkat yang manis. Kenangan aku dengan stranger bernama Vion.
Ku tatap wajahnya lagi. Dia masih disana. Sekitar 3 langkah di depanku, tersenyum tipis.
"bolehkah saya berharap jika pertemuan ini memang takdir yang sudah di tuliskan untuk kita berdua?" tanyanya yang kubalas dengan senyuman kecil lalu tanpa sadar mengangguk setuju dengan ucapannya.
Akupun sepertinya juga berharap jika ini memang takdir yang sudah di tuliskan di kehidupanku.
Takdir yang di awali dengan kata hello.









HelloWhere stories live. Discover now