07

237 26 4
                                    

Jihoon membuka perlahan kedua kelopak matanya. Indera penciumannya langsung disambut dengan bau obat-obatan khas rumah sakit. Begitu juga mata bulat miliknya, sepasang mata indah itu langsung disuguhi pemandangan serba putih.

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum merasakan rambutnya dibelai halus oleh sebuah tangan yang sudah ia hafal.

Sejurus kemudian, irisnya menangkap sosok kekasih tampannya yang tengah duduk di kursi sebelah ranjangnya dengan senyuman yang terpatri di wajah itu.

“Danhh..” lirih Jihoon.

“Iya Hoonie Baby. Aku disini”

Daniel menggenggam erat tangan Jihoon kemudian mengecup punggung tangan sehalus kulit bayi itu beberapa kali tanpa mengalihkan pandangannya pada wajah cantik pria yang tengah berbaring lemah dihadapannya itu.

“Danhh..” kembali Jihoon memanggil namanya, membuat Daniel tak kuasa untuk tak mencium dahi orang terkasihnya itu.

“Maafkan aku Baby, ini semua salahku. Seharusnya kemarin aku tak meninggalkanmu. Seharusnya aku juga ingat obatmu sudah habis.” Daniel menundukkan wajahnya. Ia merasa menjadi kekasih paling bodoh dan paling jahat untuk Jihoon.

“Tidak, ini bukan salahmu Dan.. Tak ada yang salah disini. Mungkin ini memang sudah seharusnya terjadi. Aku tidak akan pernah menyalahkanmu Dan, jadi kau juga tak usah meminta maaf seperti itu padaku.”

Jihoon mengusap pelan pipi pria bersurai coklat itu. Daniel pun menahan tangan Jihoon yang berada di pipinya itu dan mengecup tangan halus itu untuk waktu yang lama. Berusaha untuk memberitau pada sang pemilik tangan bahwa ia sangat menyesali perbuatannya yang menyebabkannya berbaring di rumah sakit seperti ini.

Jihoon hanya membalas perbuatan Daniel itu dengan senyuman manisnya.

Sementara itu...

Di ruang lain dalam rumah sakit yang sama, Guanlin tengah mendudukkan dirinya di sofa ruangan itu sambil sesekali melirik seorang lelaki mungil yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit dengan infus yang bertengger di tangan kanannya serta perban di banyak bagian tubuhnya.

Selang beberapa menit kemudian, Guanlin mendengar rintihan yang samar-samar keluar dari bibir tipis lelaki bernama Lee Daehwi itu.

“eomma.. appa..” Guanlin menghampiri ranjang tempat lelaki itu berbaring.

Dilihatnya namja itu masih menutup matanya rapat, namun bibirnya masih saja menggumamkan kedua orang tuanya.

“Hei, Lee Daehwi. Sadarlah..” ucap Guanlin sambil menepuk nepuk pelan pipi Daehwi.

“eommaaa..” Daehwi tetap tak membuka kedua manik matanya. Ia malah makin gencar memanggil eommanya, bahkan sampai meluncurkan setetes krystal bening dari sudut matanya yang masih tertutup.

Membuat Guanlin tak tega dengan lelaki mungil tersebut.

Dengan hati-hati, ia usap pipi Daehwi dan mengusap air mata yang sempat mengalir di pipi lelaki tersebut. Tangan yang lainnya ia gunakan untuk mengelus surai kecoklatan milik namja mungil tersebut.

Ia mendekatkan wajahnya pada namja mungil tersebut dan berbisik.

“Daehwi-ah, tenanglah. Kau tak apa sekarang. Uljimayo, kau ingin bertemu dengan eomma appamu, hm? Kalau begitu, tenangkan dirimu dan sadarlah. Arrachi?”

Entah dorongan darimana, Guanlin mengakhiri kata-katanya dengan mengecup dahi Daehwi dengan sangat lembut.

Yang ada dipikirannya saat itu adalah hanya menenangkan lelaki yang belum sadar sejak 2 jam yang lalu itu.

Part Of Me • ONGNIELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang