Bis Terakhir

227 16 7
                                    



Cerita itu emang pernah aku dengar. Tentang sebuah bis yang dipenuhi para hantu. Konon bis itu adalah bis yang mengangkut arwah orang baru aja meninggal menuju ke tempat mereka yang seharusnya. Tapi selama ini aku nggak pernah menanggapi serius cerita yang disebar dari mulut ke mulut itu. Bukan apa-apa, selain selama ini aku setelah Maghrib selalu ada di rumah, Sejak usiaku 17 tahun aku kemana-mana selalu memakai motor yang dibeliin Papa sebagai hadiah ulang tahunku. Jadi mo ada bis yang ada hantu, setan, jin dan sebangsanya peduli amat. Toh aku nggak pernah naik bis lagi.

Tapi hari minggu ini aku terpaksa harus meralat ucapanku sendiri. Bermula saat aku main ke rumah Dewi, teman sekolah sekaligus sahabatku. Saat sorenya hendak pulang, motorku menolak untuk hidup, bahkan setelah distarter berkali-kali.

"Kenapa, Vi?" tanya Dewi.

"Nggak tau nih..." jawabku terengah-engah.

"Bensinnya habis kali."

Aku menggeleng. Nggak mungkin karena aku udah mengisinya sebelum ke rumah Dewi. Full. Masih cukup untuk pulang pergi dari rumahku ke sekolah besok.

Dalam hati aku heran, kok nih motor bisa mogok? Padahal umurnya kan baru tiga bulan.

"Ya udah, bawa aja ke bengkel," usul Dewi. Usul yang masuk akal, soalnya diantara kami nggak ada yang ngerti soal motor. Apalagi Dewi yang kemana-mana masih naik angkot atau bis.

"Bengkel mana?" tanyaku.

Raut wajah Dewi berkerut mendengar pertanyaanku. Mungkin dia baru sadar, bengkel mana yang ada di dekat sini?

"Ada sih bengkel motor di depan komplek sini. Tapi kayaknya kalo hari Minggu tutup deh."ujar Dewi.

"Jadi gimana dong?" kataku. Kebayang aku nggak bisa pulang, atau pulang kemalaman. Itu juga kalo motornya bisa hidup.

"Lo tinggal aja motor lo di rumah gue. Besok pagi gue suruh kakak gue anterin ke bengkel di depan, jadi siangnya bisa diambil pas lo pulang sekolah. Gimana?" usul Dewi

Aku tertegun mendengar usul Dewi.

"Trus gue pulangnya gimana?"

"Ya ampun, Vi...lo kayak nggak pernah pulang dari rumah gue naik bis aja.." jawab Dewi.

"Naik bis?"

"Iya. Kenapa?"

"Nggak...nggak papa."

Aku berpikir. Usul Dewi bener juga. Dengan kondisi motor yang kayak gini, satu-satunya jalan supaya bisa pulang adalah naek bis. Kebetulan ada bis yang lewat depan komplek rumah Dewi yang jurusannya ke daerah rumahku. Dan lagi rumah Dewi kan deket sekolah, jadi besok sepulang sekolah aku bisa mampir untuk melihat kondisi motorku lagi. Selain itu, motorku pasti aman di rumah Dewi, karena selain Dewi udah dikenal baik oleh keluargaku, rumahnya juga lumayan luas. Paling nanti motorku bakal ditaruh di belakang rumahnya, jadi aman.

"Hayoo..kok malah bengong. Cepetan loh, ntar kalo udah malem nggak ada bis lagi." Kata Dewi membuyarkan lamunanku.

Satu jam kemudian, aku telah duduk di dalam bis. Sebetulnya hanya butuh waktu lima menit jalan kaki dari rumah Dewi ke halte bis terdekat, dan banyak bis ke arah rumahku yang lewat. Cuman karena ini hari Minggu, bis-bis yang kalo hari kerja bisa penuh sesak oleh penumpang itu kebanyakan kosong atau hanya diisi satu atau dua penumpang. Dan aku paling ogah naik bis yang kosong, karena menurutku itu nggak aman. Karena itu, saat azan Maghrib berkumandang barulah aku menemukan bis yang aku tunggu. Bis itu sebetulnya hanya terisi separuhnya, tapi bagiku biarlah, yang penting nggak terlalu kosong. Daripada nanti keburu malam dan aku kehabisan bis.

Bis TerakhirWhere stories live. Discover now