1. Isteriku sayang

63 2 6
                                    

Empat bulan sudah saya dan mas Dimas menjadi sepasang suami-istri. Senang dan bahagia rasanya kami melalui hari-hari ini.

Setelah menikah kulepaskan pekerjaanku, yang sudah 6 tahun aku mengabdi.
Di tempat kerjakulah aku bertemu mas Dimas. Mas Dimas selalu membeli obat di apotek Koh Chuan. Mas Dimas adalah pelanggan setia apotek Koh Chuan dimana aku bekerja.

Mas D imas memang ganteng sekali, beberapa temanku menjadi fans beratnya. Bahkan mbak Murni atasanku dibikinnya klepek-klepek.

Bagaimana tidak klepek-klepek melihat mas Dimas yang berwajah tampan, berkulit putih, berbadan atletis, tingginya aku kira sekitar 170 cm. Yah.. mas Dimas seperti peragawan yang mondar-mandir di panggung catwalk, yang memperagakan baju-baju mahal dari rancangan designer terkemuka. Aku pun tak memungkiri ketampanan dia.

Hey.. Tia tuh muka kamu merah, semerah lampu rambu-rambu lalu lintas “kata Asep temanku bagian kurir yang sukanya ikut gabung ngerumpi sama kami para cewek”.

Aah.. mas Asep bisa ajah “timpalku”.

Hey gimana gak merah padam, mas dimas baru beli obat. Pake acara acara curi-curi pandang tuh... “Amel mengejekku dengan puas”. Daaaaan.... hahahaaaa haahaaa.... “mereka tertawa riyuh. Mbak Asih, Gita, dan Rudi.”

***

Aku tak pernah melupakan kejadian dimana awal aku berkenalan dekat dengan orang yang selama ini diam-diam aku cintai. Kisah yang manis dan terlucu dalam hidupku.

Saat itu aku pulang kerja. Biasanya aku selalu nebeng sama Rudi, tapi hari itu Rudi ijin tidak masuk kerja sehingga aku harus naik angkot. Haltenya cukup jauh, apalagi aku pulang larut malam.

Kulirik jam pemberian ayahku. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Batinku “apa masih ada angkot jam segini, oooh... TUHAN aku takut”.

Aku tetap berjalan sambil melihat kesegala arah mata ini melihat. Dan aku merasakan ada yang mengikutiku dari belakang. Aku tenggok kebelakang, tapi nihil yang ada hanya lampu jalan yàng menerangi jalanan.

Semakin dekat aku dengan halte yang ku tuju, semakin bergidik bulu romaku. Yaaah.. benar ada yang mengikuti aku dari belakang “perasaanku berkata”. Tapi siapa...?

Pasti dia orang jahat, aku berdoa di dalam hatiku sambil ketakutan dan tak terasa air mataku menetes. Kuliat di semak-semak sampingku ada sebatang bambu yang biasa di bikin pagar atau pembatas, kuambil bambu itu untuk melindungiku.

Tak seberapa lama aku sudah sampai di halte, aku masih gemetar. Kakiku tak bisa di ajak kompromi, aku takut sekali. Ya TUHAN ada yang memegang bahuku.

***

Tanpa berfikir panjang, orang jahat yang mengikutiku ku pukul dengan tanpa ampun. “rasakan ini penjahat, berani-beraninya kau mengikutiku”. Kataku, dan entah berapa kali aku memukulinya.
Aaauuu sakiiit sakiiit... ampun mbak Tia, ampun... “kata orang itu sambil membuka kaca helmnya”.

Dan baru kusadari aku mengenal suara itu, suara yg selalu bikin hatiku dingin, damai, dan sejuk. Subhanalloh.... mas Dimas “kataku dengan nada terperanjak”.

Maafkan aku mas, aku tak tau kau yang mengikutiku “kataku sambil ku buang bambu itu dan membantu mas dimas berdiri, karena mas Dimas jatuh tersungkur akhibat terkena pukulan bambu saktiku. Aaauuu... “erang mas Dimas”.

Aku merasa bersalah karena mas Dimas kesakitan. Waktu itu halte sangat sunyi karena hampir tengah malam. Mas dimas kenapa mengikuti aku dari belakang “tanyaku”. Tadi saya habis ada meeting di kantor, pas di tengah jalan saya liat dek tia berjalan sendiri, jadi saya mengendarai motor pelan-pelan.

Bunga cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang