The Man In The Hoodie

184 12 19
                                    


Aku tahu rasanya patah hati.

Biar kuberi tahu, patah hati rasanya lebih kurang sama seperti jatuh hati.


Lihat dirimu. Telinga tersumbat bingar musik dan mata kecilmu tersapu badai. Hatimu tertusuk pisau berkarat. Mulutmu menelan kekesalan seperti bola pejal yang menyumbat tenggorokan membuatmu sulit berbicara dan hanya bisa mengumpat; anjing! Berikutnya merentet makian serupa kautujukan kepada kilatan-kilatan cahaya lampu disko yang menabrak-nabrak bentukan dua manusia yang sedang berciuman. Siluet erotis mereka terlihat seperti badut yang mengejek.

Lelaki yang kausuka sedang mencumbu seseorang. Ya, aku tahu. Pasti kau berharap orang yang dicumbu itu adalah dirimu. Kau menggeleng, menolak apa yang dilihat matamu, memalingkan muka dan meneguk air yang sebentar lagi akan membuatmu ngompol karena pemandangan yang tak mengenakkan hati. Koridor pengap yang kaupilih untuk bersembunyi darinya terasa semakin mengimpit, membuat paru-paru kecil yang kauandalkan untuk melegakanmu malah memompa racun, tak kuasa memompa udara.

"Being alone, Cutie?"

Lelaki berperawakan model Yves Saint Laurent menyapamu ramah. Kepulan asap ganja meliuk dari sungging bibirnya yang tak simetris. Jangan katakan kau tidak tahu sedari tadi mata Don Juan itu mengawasi gerak gerikmu.

"Actually, I'm with someone."

Jemarimu menunjuk lelaki bertudung di pojok ruangan yang masih sibuk mencumbu perempuan di hadapannya.

"Aku yakin dia tidak keberatan." Lelaki itu tersenyum geli, menertawakan kemampuan berbohong kelas kambingmu. Kaleng soda ringsek pun tahu kau sendirian. Such a bad liar.

Orang akan menjadi bodoh jika hatinya sudah tertutup untuk orang lain, setidaknya itu teori yang kupercaya sejak aku lahir dan menyusu dada ibuku. Hambar air susunya adalah yang terlezat di dunia, pasalnya saat itu aku belum mengenal es krim, cokelat, perempuan, dan mariyuana. Begitu pun teori itu berlaku untukmu saat ini. Lelaki kurus bertudung itu sudah menyegel hatimu dengan cap bertulis: belongs to Arthur. Segel itu berupa senyum yang selalu mampir setiap kali dirimu beranjak ke peraduan. Bahkan, dia juga berhasil mengatup mulutmu rapat-rapat untuk sekedar menyambut bibir ranum lelaki pujaan perempuan sekampus di hadapanmu—yang kini mulutnya sudah setengah terbuka.

"Permisi, aku ingin ke kamar kecil," tolakmu.

Kau melangkah tergesa, menyia-nyiakan Sang Bintang Pesta hanya untuk lelaki yang mengundangmu kemari demi menyaksikan percumbuannya. Kau mengambil jalan memutar, sengaja agar berpapasan dengan lelaki kurus bermata biru itu. Kakimu berhenti beberapa lama pada jarak yang cukup dekat untuk memastikan dia melihatmu memenuhi udangannya. 

Arthur, lelaki bermata sendu itu memandangmu sebentar, lalu tersenyum kecil. Hanya itu! Ia pun kembali merayapi perempuan yang tak pernah melepas lingkaran tangan dari lehernya. Jika telingamu tidak tuli, kau pasti bisa mendengar botol-botol bir kosong berdenting menertawaimu.

Bayangan dalam cermin pun mengolok. Jemari kecilmu mengusap riasan yang memudar karena keringat, riasan yang sudah kausiapkan sejak matahari belum terbenam.

Look, how dorky you are in this herd. Bahkan untuk berkata, Hai, Arthur ... what's that on your head? Lalu, membuka tudung dan menyentuh rambut keritingnya pun kau tak mampu.

Kau melihat sekitar, merasa dirimu tak lebih menyedihkan dari onggokan kloset berdaki dan dinding-dinding kusam saksi mesum orang-orang dalam kamar kecil nan pengap dan kotor ini.

"Should I stay or leave?" Bisikmu kepada bayang di cermin seraya membenamkan wajah, membuat bayangan di dalamnya ikut-ikutan menyentuhkan dahinya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The WingmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang