.
.
.
"Kau baik-baik saja, Sakura?" tanya Karin seraya memberikan teh hangat pada perempuan berambut merah muda, yang saat ini sedang duduk dengan kedua kaki ditekuk diatas tempat tidur. Selimut tebal berwarna biru tua dengan corak keemasan menutupi setengah bagian tubuhnya.
Tak menjawab, Sakura menyambut uluran tangan Karin, dipegangnya cangkir itu dengan penuh kehati-hatian. Rasa hangat terasa di telapak tangannya ketika dia memegang cangkir. Pun begitu saat dia mulai meminum sedikit demi sedikit liquid berwarna hijau, kehangatan terasa di tenggorokannya. Tapi tak sehangat perasaannya saat ini. Pikiran Sakura sedang dipenuhi permasalahan masa lalunya. Sang artis tidak bisa bersikap profesional bila sedang dirundung kesedihan seperti sekarang. Oleh sebab itu, Karin tiba-tiba membatalkan seluruh acaranya, dan hal itu berimbas pada yang lain. Otomatis, pihak kedua menanggung kerugian atas pembatalan itu. Karin tak mengambil pusing akan hal tersebut, dia lebih mengutamakan keadaan Sakura.
"Terima kasih." Sakura membuka suaranya, yang terdengar sedikit parau karena dia menangis selama beberapa jam lamanya. Matanya terlihat sembab, dan sedikit bengkak.
"Ceritakan padaku," ujar Karin mendekat, duduk disebelah kanan Sakura dan mengelus-elus pelan punggungnya. Menawarkan diri untuk mendengar curhatan dari Sakura. Perempuan berkacamata itu benar-benar tidak mengerti mengapa Sakura menjadi seperti itu, tiba-tiba menangis tersedu-sedu dan terlihat tersakiti akan sesuatu.
Waktu itu, Karin bersikap refleks pada Sakura ketika akan keluar dari Tokyo Tower, untuk kejadian sebelumnya dia tidak mengetahui secara pasti.
Sakura kembali bungkam, dia menggelengkan kepalanya pelan. Perempuan itu hanya memandangi cangkir teh yang masih berada dalam genggaman tangannya. Kepulan uap terlihat dari cangkir itu. Sakura masih teringat dengan pertemuannya. Dirinya masih tidak percaya bahwa akan bertemu Sasuke beserta anak itu -Sarada. Ya, Sarada Uchiha.
Sakura masih mengingatnya dengan jelas karena secara kebetulan Sarada berada pada urutan terakhir untuk acara jumpa fans. Sarada telah tumbuh menjadi anak yang begitu manis. Faktor dari Sasuke lebih mendominasi. Tanpa sadar, Sakura menyunggingkan senyum walau hanya sedikit, namun tatapannya kosong.
"Aku ingin sendiri," permintaan itu meluncur dari bibir Sakura dengan suara yang lirih. Karin bergegas untuk berdiri, sebuah desahan napas keluar dari mulutnya. Saat ini ia menyerah, ia tak mampu berbuat apa-apa untuk Sakura. Membiarkannya sendiri merupakan solusi yang terbaik.
"Baiklah. Kalau perlu sesuatu, aku siap membantumu." Karin berjalan menuju pintu kamar, dilihatnya sepintas keadaan Sakura lagi sebelum benar-benar menutup rapat pintu itu.
.
.
.
Seorang gadis kecil berambut hitam memandangi kegiatan ayahnya yang sedang mencuci peralatan makan. Segelas air putih masih tergeletak di hadapannya. Mereka berdua telah selesai makan malam. Ia sedang tak ingin membantu sang ayah. Sarada -gadis itu, terlihat takut untuk menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran. Kedua tangan Sarada meremas rok yang ia kenakan saat ini. Kedua matanya kerap melirik ayahnya. Ia takut bila menimbulkan kemarahan pada diri Sasuke. Selepas pulang dari Tokyo Tower, Sasuke tak banyak berbicara. Pria itu memasang wajah muram, yang membuat Sarada tak berniat untuk mengajaknya berkomunikasi.
"Pa-papa.." akhirnya ia memberanikan diri, dengan sedikit terbata-bata.
Sasuke menoleh pada Sarada, kemudian menjawab,"Hm?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Idola
General FictionSasuke Uchiha -pria tampan berusia 30 tahun, seorang pegawai negeri dan single parent. Sarada Uchiha -gadis manis berusia 12 tahun, pintar dan berambut hitam sebahu yang bermimpi menjadi artis seperti sang idola. Sakura Haruno -perempuan cantik be...