¤| 2 |¤

7.4K 650 47
                                    

Itu hampir satu minggu kemudian saat Bona mengundang -baiklah, lebih seperti memaksa- Taeyong datang menemuinya di tempat kerja. Katanya untuk makan siang bersama. 

Bona baru naik pangkat dan mendapat ruang kantor baru yang lebih besar serta luas -pencapaian yang sebenarnya cukup mengesankan meski baru bekerja sekitar enam bulan- dan ingin Taeyong melihatnya.

"Kau bisa, kan, sayang?" katanya pada Taeyong. 

"Usahakan datang sebentar saja dan jangan kecewakan aku. Di Gala Dinner kemarin, aku juga belum sempat mengenalkanmu pada si penggelar acara sekaligus bosku. Oh, dan satu lagi. Kenakan kemeja rapi dan jangan pakai jeans!"

Taeyong tidak bisa protes meski dia juga sibuk. Dia hanya tidak mau berdebat dengan kekasihnya itu.

Itulah bagaimana Taeyong berakhir disini. Naik lift sendirian sampai ke lantai 12 gedung kantor Bona -yang mengagumkan- di hari Jumat sekitar tengah hari.

Dari pintu lift yang mencerminkan bayangannya, Taeyong melihat dirinya memakai celana bahan dan kemeja biru berkancing rapi, disempurnakan dengan sepatu pantofel hitam yang habis disemir -sesuai instruksi Bona pagi tadi saat menelponnya.

Taeyong memeriksa bayangannya sekali lagi, merapikan poni rambut hitam nakalnya yang jatuh menutupi dahi -juga beberapa anak rambut yang terus mencuat ke berbagai sisi.

Sejujurnya, dia sedikit gugup. Firasatnya agak tidak enak.

Pria -yang waktu itu- memang hadir dipesta itu, tapi dia tidak mungkin ada di sini, kan?

Pemikiran dimana Taeyong akan melihatnya lagi walau sekecil apapun selalu membuatnya was-was.

Sisa malam setelah Gala Dinner itu terasa kabur. Entah bagaimana Taeyong bisa masuk ke apartemennya sendiri, berganti pakaian, kemudian naik ke tempat tidur -dia tidak ingat. Yang jelas dia terbangun jam dua belas malam -dengan sakit kepala dan denyutan-denyutan tak mengenakkan di area selatannya.

Jika malam itu terasa sangat cepat, maka sisa minggu ini, sebaliknya -terasa luar biasa lambat. Semuanya seakan menjadi dua kali lebih lama bagi Taeyong. Pikiran Taeyong juga terus menerus terdistraksi.

Contohnya, saat Taeyong sedang bekerja mengetik sebuah artikel -lalu tiba-tiba, dia akan teringat pada mata cokelat hangat pria itu yang tengah memandangnya instens, dan kemudian, wham, konsentrasinya buyar.

Atau saat dia memotong sayuran dan hendak memasak, tiba-tiba dia terbayang bahu lebar, dada bidang, dan muscled arm yang menonjol sempurna di balik tuxedo pria itu -kemudian tanpa sengaja mengiris jarinya sendiri.

Minggu ini benar-benar diisi frustasi. Apalagi saat malam tiba.

Alasannya lebih karena Taeyong menolak menyentuh dirinya sendiri -karena pasti memikirkan pria itu saat melakukannya. Dia tidak mau menjadikan pria itu sebagai objek fantasinya meski dia adalah sosok pria paling menarik yang pernah Taeyong temui.

Apa karena itu juga? Karena itu adalah pengalaman pertama Taeyong dengan sesama pria? Hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya hingga sedikit sulit dilupakan?

Ya, pasti karena itu, pikirnya.

Mengenai Bona, Taeyong juga menghindarinya.

Itu cukup mudah dilakukan karena jadwal kerja mereka yang memang sama-sama sibuk. Tapi sayangnya, Bona tahu sampai hal terdetail mengenai deadline kiriman artikel di tempat kerja Taeyong untuk cetakan minguan -tepat pukup sembilan di hari Jum'at- dan waktu bebasnya sampai sore saat menunggu hasil editan pihak editor selesai. Makanya, dia tidak bisa lolos dari permintaan kali ini.

Unnatural Thirst [on hold]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang