Tujuh Belas

6.7K 718 144
                                    

Malam itu Puen layaknya adik yang baik hati. Gadis itu menyiapkan air hangat untuk mandinya, memasak sup juga menyeduh cokelat panas setelah itu- bahkan menemani Singto duduk hingga larut malam. Tidak biasanya Puen berbuat baik pada Singto, malam ini pengecualian.

Jam menunjukkan pukul 1 pagi saat Singto duduk hadap-hadapan bersama Puen di ruang tengah rumah minimalis milik Singto.

Mangkuk bekas sup dan dua gelas cangkir berisikan coklat panas terhidang di atas meja. Puen duduk di seberang meja sembari memandangi Singto untuk waktu yang lama. sedangkan pemuda yang dipandangi itu tengah termenung menatap cangkir putih berisikan coklat panas di depannya. Asap mengepul dari cangkir namun hangatnya tak sampai menyentuh kulit dingin Singto.

Puen dan Singto saling diam. Gadis itu tak berencana mengatakan apapun meskipun sudah nyaris 2 jam mereka tak saling bicara.

Pria tampan di depannya tampak tenang, ia memeluk lututnya erat- selimut tebal membukungkus tubuh- sambil menatap cangkir tanpa reaksi berarti. Dia melamun, mungkin.

Tadi Singto pulang dalam keadaan basah kuyup, tentu saja Puen kaget melihat pemandangan itu. Sejak mereka jadi saudara, Puen paling tahu kalau Singto tidak suka hujan, jadi melihatnya kehujanan adalah hal yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi.

Yaa ketimbang kehujanan, Puen lebih yakin jika suatu saat nanti Singto akan pergi Mars atau Bulan.

"P' Sing.." panggil Puen mirip bisikan.

Singto bergumam pelan, tak merubah posisi bahkan tidak melirik Puen sama sekali.

"Kenapa bisa hujan-hujanan?" tanya Puen hati-hati.

"Tidak"

"P' pergi kafe karena ada urusan kampus dengan P'Krist? P' menunggu P'Krist?"

Singto mengangkat wajahnya sedikit, ia meraih cangkir berisi cokelat hangat - menyesapnya pelan-pelan.

"Tidak juga"

Puen menghela nafas berat, "maaf ya, karena aku pakai ponsel milik P' Sing, malah ada kejadian seperti ini"

Singto menggeleng lemah, "tidurlah.."

Puen mengangguk. Sebelum dia menuju sofa yang sering dia gunakan untuk tidur- yaa, Singto memang setega itu menyuruhnya tidur di sofa - Puen menepuk pundak kakak kesayangannya.

"P' juga harus segera tidur"

Singto mengangguk lemas.

Tinggalah Singto sendiri, duduk meringkuk dibalik selimut. Berusaha menghabiskan cokelat hangat buatan Puen.

Entahlah, saat ini dia tidak sedang memikirkan apapun atau memang tak ingin memikirkan apapun. Otak dan hatinya sedang menyuruh dia untuk istirahat sejenak, ia terlalu lelah akhir-akhir ini. Singto rasa dia bisa jatuh sakit jika terus memaksakan hidup yang seperti ini.

Seperti apa??

Seperti yang tak pernah dia lakukan sebelumnya, hidup dalam mode jatuh cinta pada seorang pria.

Singto baru masuk ke kamar saat jam menunjukkan pukul empat pagi. Dia ingin tidur nyenyak hingga rasa lelahnya hilang tak bersisa. Bila perlu, saat dia bangun nanti perasaannya telah kembali ke hari-hari sebelumnya- jauh sebelum hari dimana tak ada lagi Krist dihati dan pikirannya.

**

Singto terserang flu, tubuhnya sedikit demam dan dia terus saja bersin sejak bangun tidur, suara serak dan wajahnya pucat.

Namun hebatnya Singto tetap memaksakan diri untuk pergi jalan-jalan bersama kakak, keponakan, dan- New, hari minggu kemarin. Dia merasa butuh hiburan dibanding tiduran sendiri di rumah memikirkan sakit tubuhnya, atau mungkin sakit hatinya.

Im Not Popular [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang