" Byurrrr......." Suara keras membuyarkan lamunanku. Tak lama kemudian kulihat berpuluh-puluh benda menghampiriku. Benda yang akhir-akhir ini sudah tak asing lagi bagiku. Untuk kesekian kalinya aku hanya bisa menatap kesal ke pada ibu-ibu gendut yang ada di atas sana. Marah, kecewa, sedih berhamburan di dalam hatiku. Tanpa terasa air mataku mengalir perlahan, berbaur dengan kilau hitam air sungai ini.
Ya, di sinilah saat ini aku tinggal. Di antara kaleng-kaleng mahal yang bertumpukan. Di antara plastik-plastik pembungkus berbagai produk bermerek. Di antara cairan-cairan yang beraroma luar biasa. Inilah rumahku. Sungai yang hitam berkilauan.
Tak kuingat lagi, kapan terakhir kalinya aku bisa mengecap kelezatan akan gemuknya cacing dan suburnya lumut-lumut sungai. Tak ku dengar lagi riuh tawa anak-anak manusia di antara kecipak suara air. Tak kulihat lagi rona mekar teratai yang dulu selalu memanjakan mataku.
Kata nenekku, dulu....
Jauh sebelum raksasa-raksasa pencakar langit itu berdiri, jauh sebelum gubuk-gubuk reyot itu memenuhi pinggiran rumah kami, rumah kami adalah taman yang luar biasa indah. Bunga-bunga liar aneka warna menyemarakkan setiap sisi rumah. Pohon-pohon besar tumbuh rimbun menaungi kami dari teriknya panas matahari. Daunnya yang lebat bergoyang indah saat lirih angin mengecupnya. Titik-titik embun pagi yang bening pun enggan beranjak dari ujung dedaunan.
Kala pagi menjelang, riuh tawa ibu-ibu dan anak kecil yang sedang bermain air tak segan membangunkan seisi rumah kami. Lenguhan kerbau dan senandung merdu para petani begitu akrab di telinga. Kupu-kupu bersayap cantik dengan malu-malu berterbangan mencuri-curi madu. Di atas ketinggian burung-burung kecil bersiul-siul menggoda gerombolan katak yang mulai melirihkan gendangannya karena malu pada sinar matahari.
Siang haripun tak kalah indahnya. Bayang-bayang ranting dan dahan pepohonan yang menjulang tinggi di antara rimbunnya dauh, bak lukisan indah di atas cermin yang bening. Bebatuan di dasar sungai seperti pualam mahal yang tertata rapi, menggoda nenekku dan kawan-kawan untuk berdansa di atasnya.
Saat malam tiba, semarak kehidupan semakin terlihat di sekitar tempat tinggalku. Suara jengkerik bermain petak umpet di antara rimbunan bambu seolah mengajak nenekku dan kawan-kawannya untuk begadang. Cahaya rembulan keperak-perakan terpantul pada jernihnya air sungai, menggoda setiap yang melihat untuk bernyanyi bersama. Suara burung hantu dan lolongan anjinglah yang akan menjadi alarm bagi kami semua untuk menyudahi night party kami. Kami akan beranjak keperaduan dengan perasaan riang dan bersyukur karena hari ini berlalu dengan baik.
Itu dulu, dan itu hanya ada di cerita nenekku. Kini semuanya telah berubah. Pemandangan yang indah itu telah menghilang. Irama yang merdu itu kini tinggallah kebisingan yang memuakkan. Yang tersisa hanyalah cerita-cerita penuh harapan dan doa.
Kokokkan ayam, gendangan katak dan kicauan burung kini telah berganti dengan deru kendaraan yang berlalu lalang tak berkesudahan. Sejuknya aroma embun pagi, rekahan kelopak teratai dan bulir-bulir dandelion yang terbang lembut terhapus oleh aroma gas beracun yang menyesakkan. Terik matahari begitu menyengat karena rindangnya dahan-dahan pohon telah berubah menjadi gubuk-gubuk reyot nan kumuh. Kini tak ada lagi kupu-kupu yang malu-malu bercermin di atas rumahku untuk memamerkan sayapnya yang indah. Ya, siapa yang sudi bercermin di atas hitamnya aliran sungai.
Ku biarkan air mataku mengalir deras bercampur dengan hitamnya air sungai. Kulihat tubuhku yang kurus kering.
" Ah, manusia.... Betapa serakahnya kalian. Setelah kau rusak taman indah kami demi mendongakkan kesombonganmu menantang langit (baca: gedung-gedung tinggi), kini kalian musnahkan makanan kami dengan warna-warni cairan mematikan itu. Lantas, apa yang kau sisakan buat kami, wahai manusia...?"
" Nak..." Panggilan lirih menghentikan umpatanku.
" Ayah..." Ku kepakkan siripku perlahan-lahan. Menyibak pekatnya limbah. Mendekati ayahku.
" Tidak ada gunanya kita mengumpat dan melontarkan sumpah serapah. Kita hanya ikan kecil. Tersisih di antara hiruk pikuk kehidupan manusia milenium. Umpatan kita tak akan mampu mengubah keadaan. Justru itu hanya akan melemahkan semangat kita. Yang kita perlu saat ini hanyalah bertahan dan mencari jalan keluar. Kita harus berjuang sendiri jika ingin bertahan di kehidupan ini. Mengharap uluran tangan manusia, seperti halnya menciduk air dengan keranjang."
" Sulit memang.... Jangankan mengembalikan kembali keindahan rumah kita seperti dahulu kala, menyadarkan mereka agar tak membuang sampah sembarangan saja sungguh butuh usaha yang luar biasa."
" Ayah.... Tapi kita tidak mungkin selamanya tinggal di sini kan?. Lihatlah, tubuh kita kian hari kian mengurus. Bahkan teman-temanku kini telah banyak yang pergi meninggalkanku. Cairan terkutuk itu benar-benar telah merenggut kebahagiaanku juga nyawa sahabat-sahabatku. Masa muda kami harus tergadaikan demi nama 'Kemajuan' manusia-manusia angkuh itu."
" Ya, nak kau benar. Telah tiba saatnya bagi kita untuk mengambil langkah. Bangkit menyibak kebungkaman kita. Dan hari inilah waktunya..."
" Ada apa dengan hari ini ayah?"
Ayah tak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis sambil melihat ke arah belakangku. Aku segera membalikkan tubuh. Kulihat ibu, paman, bibi, saudara-saudaraku, semuanya berkumpul. Mereka tersenyum kepadaku. Bukan senyuman bahagia. Ya, telah lama kami kehilangan senyuman itu. Lebih tepatnya, ini adalah senyum harapan. Secercah harapan baru yang berusaha kami letupkan.
" Ayah, ada apa dengan hari ini? mengapa kita semua berkumpul di sini?"
" Anakku, hari ini kita akan memulai perjalanan yang panjang dan melelahkan. Perjalanan yang akan membawa kita menuju tempat yang lebih baik. Tempat di mana kita akan merajut harapan-harapan baru."
" Di mana tempat itu ayah?"
" Hulu." Jawab ayahku mantap. Sorot matanya menatap aliran sungai jauh di depan sana.
" Hulu ayah?" Tanyaku sedikit kaget. Aku membayangkan betapa beratnya perjalanan menuju ke hulu.
" Ya, kita memang harus berpayah menentang arus agar bisa sampai ke hulu. Berat memang, tapi lebih berat lagi jika kita hanya berdiam diri di sini sembari menanti datangnya ajal. Mati dalam penyesalan karena kita tak pernah berusaha mengejar mimpi pasti akan terasa lebih menyakitkan dari pada mati saat kita tengah dalam proses berjuang." Sahut paman.
" Ya, pamanmu benar." Ibuku iku ambi rembug. " Apapun nanti yang akan terjadi di tengah perjalanan, kita tak pernah tahu. Entah kita akan sampai di tempat tujuan kita, ataukah langkah kita harus terhenti di tengah jalan, biarlah takdir yang akan berbicara. Kita hanya perlu berusaha yang terbaik untuk kehidupan yang singkat ini." Kulihat senyum lembut ibu mengembang. Senyum yang meneguhkan hati setiap yang melihat.
" Baiklah, saya rasa semuanya telah siap. Mari kita bersama-sama bergandengan tangan mengejar tujuan kita. Karena dengan bersama-sama, sederas apapun arus sungai akan terasa lebih ringan untuk melampauinya."
Kecipak-kecipak sirip kami mulai meramaikan hamparan hitam lengket itu. Perlahan-lahan tapi pasti, kami bersama-sama melangkah menuju cahaya pengharapan. Meski belum pasti, akan tetapi setidaknya kami terus bergerak, tidak hanya berdiam diri meratapi nasib.
Kulihat sekali lagi rumahku yang telah menjauh di belakang sana. Tempat di mana kami saling bercengkrama dan tertawa. Kini kami harus meninggalkannya. Ya, aku rasa ini adalah keputusan terbaik. Aku hanya berharap semoga dapat segera menemukan tempat baru untuk bernaung. Tempat di mana manusia-manusianya masih peduli dengan hewan-hewan kecil tak diperhitungkan seperti kami. Manusia-manusia yang masih rindu pada sentuhan lembut bulir-bulir dandelion yang berterbangan berdansa dengan semilir angin.
Aku rindu ocehan si cerewet temanku, kulitang. Aku rindu gendangan merdu si hijau di pagi hari. Aku rindu teriakan jengkerik-jengkerik yang sedang berlarian mencari temannya yang bersembunyi di antara gelapnya malam. Semoga malam-malam kami selanjutnya akan kembali semarak. Hanya itulah harapan ku, si ikan kecil yang tersisih dari pandangan manusia.
YOU ARE READING
KEMBALIKAN RUMAHKU
Science FictionCairan terkutuk itu benar-benar telah merenggut kebahagiaanku juga nyawa sahabat-sahabatku. Masa muda kami harus tergadaikan demi nama 'Kemajuan' manusia-manusia angkuh itu.