Sepatuku basah setelah menginjak genangan air. Hujan dadakan ini malah bertambah derasnya, tidak ada pilihan selain berteduh lebih lama lagi. Seharusnya aku tidak sendirian menghadapi hujan. Sudah dua jam lamanya, dan kamu belum muncul di sini. Leherku penat, melihat kiri dan kanan berulang kali. Penatnya tidak akan hilang kecuali dengan kehadiranmu. Kamu tidak lupa sesuatu di malam ini bukan? Kemarin kamu sudah berjanji. Aku begitu bersemangat sejak kamu mengucapkan janji itu, setidaknya hingga satu jam yang lalu. Apakah kamu sedang menyamar sebagai hujan untuk menemaniku?. Ini tidak lucu. Hujan ada redanya, begitu pula dengan penantian. Berjalan di sela-sela tetesan hujan. Bahkan sebelum mesin motor kunyalakan, aku sempat berbalik lagi ke tempat tadi. Kamu masih tidak ada di sana. Di perjalanan pulang, pikiran penuh dengan tanya mengenai alasan apa yang akan kamu gunakan esok. Ketika kita bertemu, bagaimana kamu akan mengalasankannya?. Bajuku basah kuyup. Beberapa tetesan air hujan yang menempel di kaca helm membuat pandanganku kurang jelas. Sepertinya aku akan masuk angin, tidak seperti pesan darimu tidak ada yang masuk sama sekali.
Keesokannya, aku flu. Berjalan dari depan kelas yang satu ke depan kelas yang lainnya. Aku melihatmu duduk dan sedang bercanda dengan temanmu ketika memasuki kelas. Secara sengaja berjalan melewatimu, namun kamu tidak memanggil. Tentu saja, aku berhak kecewa dan tidak memberikan sapaan pertama untuk hari ini. Hingga jam pelajaran ketiga, kamu sama sekali tidak pernah sekalipun memanggil atau mendatangiku. Bagaimana mungkin kamu melewati hari ini tanpa rasa bersalah? Benar adanya hubungan kita sudah lebih dari satu tahun. Dan aku tidak akan berniat untuk mengakhirinya. Apa itu alasan untukmu menganggap sepele sebuah ingkar dan kekecewaan?. Usai jam pelajaran terakhir, aku berjalan untuk keluar dari kelas.
"Arga," kamu memanggilku.
Mendengar itu, aku berbalik melihatmu, "iya ada apa?".
"Bisa bicara sebentar?" Dia bertanya.
Kemudian kami berdua menuju ke cafe yang biasa kami jadikan tempat untuk bertemu. Tidak lama setelah kami duduk, seorang pelayan datang dan menulis pesanan kami.
"Kamu mau ngomong apa?" Tanyaku, padahal aku sudah tahu kalau dia akan meminta maaf soal tadi malam.
"Sebelumnya aku minta maaf, tapi sebaiknya kita udahan aja," katanya setelah mengembalikan gelang pemberianku.
Aku terdiam. Badanku bersandar dengan sendirinya. Mata ini bahkan tidak sanggup melihat lurus ke depan. Sekarang apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus kukatakan? Atau diam lebih baik?.
Dia memanggilku untuk kedua kalinya hari ini, "Arga?".
"I...iya," jawabku.
"Aku minta maaf ya, tapi kayaknya kita udah gak cocok lagi,".
Setelah menghela nafas, "iya kita udahan aja," ucapku.
Dugaanku salah. Sebuah kalimat ternyata bisa begitu berat bagi mulut ketika berucap. Sesuatu yang sudah kita pegang seerat mungkin, bisa terlepas begitu saja. Terlepas begitu saja, karena suatu alasan. Kita sudah tidak cocok. Satu yang bertahan dan yang satunya mencoba pergi, benar-benar tidak cocok. Kemudian kami hanya diam sambil menikmati minuman yang telah kami pesan. Aku masih belum percaya kalau dia mengakhiri hubungan ini hanya karena itu semata. Tapi aku juga tidak mungkin memaksakan kehendak untuk tetap bersama, apalagi aku tidak terlalu pandai menolak permintaannya. Aku memang bodoh.
"Sekarang, sisa berapa persen besarnya rasa sayangmu buat gue?," dia bertanya setelah meletakkan cangkir minumannya.
"Mmm... sepertinya sembilan puluh lima persen," jawabku.
"Kalau begitu sampai jumpa di sekolah besok, aku harus pulang karena suatu hal," ucapnya kemudian berdiri lalu pergi.
Sementara aku belum beranjak dari tempat ini. Gelang yang dia tinggalkan membuat memori masa lalu menjadi teringat kembali. Gelang yang bertuliskan nama kami berdua, Arga dan Nadia. Gelang yang kubeli dan kujadikan hadiah untuknya. Wajahnya yang memerah, dan spontan berteriak ketika gelang ini kukeluarkan dari kantung celanaku. Lucu juga, kalau diingat-ingat. Hanya karena sebuah gelang, dia bisa seheboh itu. Tidak lama kemudian, aku berdiri sambil memasukkan gelang itu ke dalam kantung celanaku. Aku meninggalkan tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka Untuk Kita
Short StoryUcapmu pecah, menghilangkan harapan yang tadi ada meski hanya secercah.