Cahaya mentari saling beradu cepat menyongsong petani Desa Boyolali. Burung-burung pun tidak mau kalah, mereka saling berkicau mengiramai pagi seperti ramainya suasana Sunggingan, sebuah pasar besar yang terletak di Boyolali Kota. Seorang gadis kecil berkerudung merah hati duduk dihadapan Bapaknya yang sedang menyetir sepeda motor Astrea tahun 90-an. Matanya masih sayup-sayup jatuh karena masih mengantuk.
"Pokoknya Hajar mau ikut Bapak." Hanya itu yang selalu Hajar ulang-ulang ketika Ibunya meminta Hajar untuk tidak perlu ikut ke Pasar.
"Tuh, Pak, anak kamu. Sudah dibilangin jangan ikut kok ya ngeyel. Udara diluar kan sangat dingin, kalau Hajar ndak kuat nanti jatuh sakit. Duit lagi duit lagi." Gerutu Ibunya.
"Ya ndak apa-apa toh, Bu. Orang Hajar yang minta. Dia suka."
"Yaudah deh, terserah Bapak saja. Kalau Hajar nanti ada apa-apa, jangan salahin Ibu."
"Hus! Kamu ini. Istighfar Bu, mulutmu harimaumu. Mau, gara-gara itu nanti aku sama Hajar kenapa-kenapa?"Pagi selalu ramai. Begitu juga rumah Hajar, selalu ramai. Hajar adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Kedua kakak perempuannya sudah menikah dan dua lainnya masih di bangku sekolah. Toha, adalah kakaknya yang nomor tiga. Dan Sofi kakaknya yang nomor empat. Toha dan Sofi terpaut 3 tahun berbeda. Sedangkan Hajar, satu tahun berbeda dengan kakaknya, Sofi.
Diantara mereka, Hajar adalah seorang gadis yang paling tidak bisa diam. Bandel, dan usil minta ampun. Berbeda sekali dengan kakaknya, Sofi. Dia lemah lembut dan penurut. Tidak ada yang pernah meminta untuk ikut pergi ke pasar kecuali Hajar. Toha pun yang adalah seorang laki-laki, tidak pernah meminta ikut Bapaknya. Jangankan meminta, diajak saja tidak mau. Dingin, katanya.
"Nduk, bangun. Sudah sampai ini. Lihat.." Bapaknya membangunkan.
Hajar mengangkat kepalanya. Matanya masih sipit satu. Namun ketika melihat perahu-perahuan yang terbuat dari kaleng itu berputar, kedua mata dan bibirnya terbuka lebar sekali. Turun dengan segera lalu berlari ke arah Mas Edo, Penjual Perahu Kaleng.
Tokotok kotok kotok
Kurang lebih begitu bunyinya. Perahu itu berputar-putar didalam baskom. Hanya butuh api untuk membuatnya berjalan. Hajar yang sedari tadi jongkok dan asyik menikmati, tiba-tiba berlari dan merebut satu plastik besar berisi jagung ditangan Bapaknya. Meninggalkan Mas Edo."Hajar saja yang bawa, Pak."
"Loh, berat ini, Nduk. Ndak kuat kamu."
"Kuat dong, Pak. Hajar ini, cewek paling kuat di kelas. Nggak ada yang bisa ngalahin Hajar. Bobi aja kalah."Senakal-nakalnya seorang anak, dia pasti memiliki jiwa yang penuh kejujuran. Kedua matanya tidak bisa berbohong, apalagi mata hatinya. Begitu pula Hajar. Sebenarnya dia adalah seorang anak yang penyayang.
"Bobi? Wah anaknya Kang Jono? Yang terkenal preman itu?" Sambung Bapaknya.
"Iya, waktu itu Hajar tantang balap lari, kalah. Tantang panco, K.O" Jawab Hajar dengan bangga.
"Anak Bapak memang juara."
"Iya dong, Hajar."
Gadis itu nyengir hingga sipit sekali kedua matanya. Jagung-jagung harus disetor, untuk biaya kakak laki-lakinya masuk SMA.Jam sudah menunjukan pukul 5.30, selesai menyetor jagung Hajar harus segera pulang untuk siap-siap berangkat ke sekolah.
Masa-masa kecil Hajar berlalu dengan cepat. Ia tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas dan juga hebat. Toha, kakaknya. Mendapatkan beasiswa sekolah di Luar Negeri. Sedangkan ia dan Sofi, masuk ke SMA yang sama. Walaupun berada di luar kota, mereka selalu menyempatkan pulang untuk menemui Ibu dan Bapaknya.
***
Bandung dingin, Boyolali juga dingin. Esa Okzian. Adalah seorang anak tunggal dari perusahaan konveksi ternama di Bandung, Cijerah.
Esa memutuskan untuk berlibur di rumah neneknya. Liburannya bukan untuk liburan, tetapi menemani neneknya yaang sudah beberapa bulan ini meminta Esa untuk datang.
"Esa, nanti kamu harus coba ke Selo, ya?" Usul neneknya.
"Selo, nek?"
"Iya, sudah, nanti Mas Refan yang mengantar kamu. Disana, pemandangannya bagus. Apalagi kalau pagi-pagi. Sekarang istirahat saja dulu, itu sudah nenek siapkan kamar kamu."Esa adalah laki-laki yang sederhana, tutur katanya tertata, juga seorang yang taat beragama. Dan Refan adalah anak Bulik Tati, adik dari Ibunya.
Baru kali ini dia akan menetap agak lama di Boyolali. Namun, Ayahnya tidak bisa menemani. Ayahnya sibuk bekerja, sedangkan Ibunya sudah lama meninggal karena terkena serangan Jantung. Serangan jantunh yang sangat mendadak tanpa ada sebuah gejala. Cukup mencurigakan bagi keluarga mereka, namun ketika akan melakukan otopsi, Ayahnya melarang.
"Aaah, Alhamdulillah." Esa menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Tangannya meraih Mushaf Hijau Tua kesayangan dari dalam tas. Baru akan membuka, Handphone nya bergetar cukup lama. 15 pesan diterima, dari Maudy.
Esa tidak memperdulikan, bibirnya sudah sibuk melafalkan surah Ar-Rahman, ia sampai tidak sadar kalau akhirnya terpejam.
***
Selo pagi itu, adalah esok yang yang dinanti. Esok yang selalu membuat pagi menjadi berarti. Kameranya membidik ciptaan Allah Yang Luar Biasa Indah. Seorang gadis menutup dan mengahalangi sunrise yang sedang meninggi.
"Maaf, Teh. Bisa geser sedikit?"
Esa berteriak dari jarak cukup jauh. Hajar tidak dengar, dia juga sedang asik dengan kamera handphone biasa miliknya."Teh?" Ulang Esa. Hajar membalik badan, dengan tepat cahaya mentari itu membentuk siluet wajah Hajar dengan kerudung lebar yang terkena angin lalu berkibar. Pemandangan yang luar biasa, Esa membidiknya. Cekrek.
Dari kejauhan Hajar mengerutkan dahi. Dia berfikir macam-macam. Apa yang laki-laki itu lakukan? Memotretnya? Untuk apa?
Hah? Jangan-jangan, aku mau dijadikan salah satu daftar korban penculikan? Dijual? Incaran? Atau.. Dipelet?
Hajar bersuudzon, sebab penampilan Esa dan Refan cukup aneh menurutnya. Penutup kepala serta masker berwarna hitam. Jaket kulit berwarna hitam. Hmm, Biasanya, penculik di tv-tv itu kan pakaiannya hitam-hitam, dengusnya. Hajar menghampiri mereka dengan kesal.
Harus diberi pelajaran, berani-beraninya sama anak Bapak Johar. Batinnya.
•••••
MENULIS SEBAGAI HOBI, MENULIS SEBAGAI PEMBEBASAN
aviliaarmiani
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Esok
SpiritualKetika esok tidak pernah mampu menjanjikan kepastian, selalu ada ruang bagi harapan. Hajar. Jatuh cinta pada keduanya; Sebuah ketidakpastian akan masa depan. "Esok, mungkinkah kau menjadi ketetapan?" Tanya Hajar. "Ini perjalananmu, Hajar. Yakinlah...