Behind the Screen

642 52 21
                                    

Langkahnya tegap. Wajahnya yang khas Melayu dan bersih terlihat sabar menunggu antrian bagasi di bandara Soeta.  Meskipun bagi orang normal antrian bagasi baik penerbangan domestic maupun luar negeri di bandara Soeta (ataupun Indonesia bagianmanapun) selalu bikin gigi-gigi pada rontok. Gilaaaak ini antrian sembako atau bagasi sih. Lamaa banget.

Setelah mendapatkan kopernya ia menyeretnya menuju parkiran taksi dan langsung mengiyakan ketika di tawari seorang pengemudi taksi berseragam biru (bukan iklan). Ia menyebutkan sebuah alamat dan langsung menyandarkan kepalanya ke badan kursi. Melempar pandangannya ke luar sana. Dua tahun ia baru pulang ke Indonesia. Dan rencana kepulangannya ini memang di sengaja. Ia akan member pelajaran buat seorang.

Taksi memasuki komplek perumahan Pertamina dengan perlahan. kemudian taksi berhenti di depan rumah. Setelah membayar taksi ia membawa bawaannya dan membuka gerbang rumahnya. Sepi. Tak ada orang. Ayahnya masih di kantor pasti. Dan ibunya di pasar besar.  Setelah menyimpan kopernya di rumah ia pergi lagi. Jumper abu-abunya menutupi tubuhnya dengan pas. Jumper bertudung dengan tulisan Nanyang Institute of Technology di punggungnya itu berukuran XL namun tak terlihat kedodoran di tubuh si pemuda.

Ia memakai sepeda polygon miliknya yang lama tidak di pakai. Tapi masih Nampak bersih sepertinya bapak masih rajin memakainya keliling komplek bathinnya sambil tersenyum kecil. Ia menuju ke lapangan basket di depan kompleks. Hanya ada beberapa orang yang masih tersisa. Ini sudah hampir menjelang maghrib. Seorang pemuda bertubuh jangkung sedang meminum air dari botol sambil mengelap keringatnya dengan handuk kecil nya. Ia kemudian menegakkan badan ketika melihat seorang yang dikenalnya berjalan ke arahnya setelah membanting sepedanya ke rumput .

“ Akbar?” Tanya Joe kaget.

 Yang di sapa tak menunjukkan senyum sedikitpun. Wajahnya mengeras.

 Dan tanpa babibu ia melayangakan tinjunya ke arah Joenathan. Tak cukup sekali tapi empat kali. Eh lima kali ding (Allah menyukai bilangan ganjil, phewww…wkwkwkwk, sambil sorak-sorak hajar Bang!). Joenathan yang tak siap langsung terjerembab ke belakang. Akbar mendatanginya dan berdiri  berkacak pinggang di hadapan Joenathan

“ Huh, cuman segini tenaga Loe. Dasar BANCIII” suara Akbar berteriak lantang. Joenathan langsung berdiri.

“ Apa mau Loe” Tanya Joenathan marah.

“ Ayo duel sama gue. Jangan cuman berani sama anak perempuan. Kalau perlu kumpulin semua geng loe. Gue hajar semua” Tantang Akbar dengan menahan geraman.

Ia tidak pernah takut kepada siapapun. Ia bergelar pendekar dan bersabuk hitam dari Perguruan Silat Tapak Suci. Ia memang tak nampak berotot dan kekar. Tetapi tenaganya luar biasa dengan jurus-jurus silat yang indah dan mempesona. ( harap maklum gue baru nonton abang Uwais di The Raid, kebawa sampai sini).

Joenathan menatapnya dengan rasa marah tapi juga rasa bersalah yang mendalam.

“ Gue minta maaf” ucapnya dengan nada rendah.

“ Gue memang salah” tambah Joenathan.

 Teman-temannya yang tersisa di lapangan tak berani mendekat. Mereka hanya menatap ke arah dua orang itu dari pinggir lapangan.

“ Oh” hanya itu jawaban Akbar.

“ Gue benar-benar minta maaf. Gue menyesal” jawab Joe dengan kelu.

Ia tahu di hajar sampai babak belur pun tak akan bisa menghilangkan kenangan buruk tentang hal bodoh yang pernah di lakukannya dulu. Di sana. Di sebuah bangunan kaca di seberang lapangan basket ini. Melakukan hal bodoh pada seorang gadis cantik yang berjilbab rapat yang sekarang sudah terbang ke Inggris Raya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 03, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Autumn in GlasgowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang