Prolog | Himitsu

21 0 0
                                    

"Maaf, ya? Aku ada tugas kelompok hari ini."

Laras terdiam. Gadis itu menunduk, entah apa yang dia cari. Tangannya meraih sebongkah kerikil di tanah. Dia mendongak. Sebuah senyum di wajahnya.

"Oh..."

Laras memainkan kerikil berpermukaan halus hingga jemarinya kotor oleh tanah yang melekat pada kerikil. Dipandanginya kerikil kelabu itu sesaat.

"Lama?" tanya Laras.

Satria, lelaki yang Laras tanyai, mengangguk. "Lebih baik tak usah ditunggu, Ras. Nanti kasihan kamu."

"Ah," Laras mengangguk setuju. Dia tersenyum samar. "Ya sudah," ucapnya menyetujui. Tertangkap nada sendu di sana, namun senyuman masih terpatri di wajahnya.

Satria membenahi posisi selempang tasnya yang agak melorot. "Duluan ya, Ras," pamitnya. Diulurkan kepalan tangan pada Laras, yang disambut dengan kepalan tangan juga.

Ditunggunya sampai punggung lebar Satria menghilang di ujung Koridor Cemara - sebutan untuk penghubung antara perpustakaan dengan sayap barat sekolah, deretan kelas 12. Laras menghela nafas panjang. Buru-buru dibereskan meja sebelum ikut pergi menjauh, pulang.

*

Senja minggu kedua semenjak Laras saling bertatap muka dengan Satria.

Gadis itu berada pada meja taman yang sama dekat Koridor Cemara. Hanya saja, kali ini Laras tidak sendiri. Adalah seorang Nursella Ghani, perempuan bertahilalat di sudut bibir dan berlesung pipi, yang menemaninya dalam lembayung jingga matahari.

"Masih sama Satria kamu?"

Sibuk dengan laptop, Laras mengangguk ala kadarnya. Beberapa kali dia melongok pada buku paket yang terbuka di sampingnya.

"Biarpun dia selalu begini?"

Laras meletakkan tangannya di atas keyboard. Berhenti mengetik. Dia kemudian berbalik menatap Sella. "Bisa jadi," jawabnya singkat.

"Sampai kapan, Ras?"

Hening cukup lama. Gadis itu menunduk. "Mungkin..." suaranya terdengar parau, "... mungkin hingga salah satu di antara kami mau jujur."

Sella terdiam.

*

Hujan deras mengguyur sore ini. Payung hitam berpola polkadot putih berada dalam genggam Laras. Dia berjalan beriringan dengan Satria yang sedang membenahi kerah jaketnya. Mereka melintasi deretan kelas yang sepi menuju parkiran siswa.

"Dingin, ya?" celetuk Satria.

Laras tersenyum. "Namanya juga lagi hujan," balasnya. "Tapi memang jarang sedingin ini."

"Benar."

Mereka kemudian terjebak dalam kebisuan. Tidak ada percakapan lagi yang menghiasi. Hanya kecipak langkah kaki memecah genangan air hujan. Mereka tiba di parkiran.

"Mau makan dulu?" tawar Laras kemudian. "Kita sudah lama nggak ketemu."

Satria tertegun, lalu tersenyum singkat. "Maaf, Ras. Kalau sekarang nggak bisa, aku ada janji dengan Raja untuk menemaninya ke bengkel."

Kekecewaan terpercik pada roman Laras. Siapa saja yang ada di sana pasti akan melihatnya. Akan tetapi Laras buru-buru menggeleng. Ditatapnya Satria dengan seulas senyuman. "Nggak apa-apa, kok. Mungkin besok kamu luang?" tanyanya lagi masih berusaha.

"Besok aku ada les."

Itu yang terakhir. Laras mengeratkan genggaman pada payungnya. "Ya sudah, mungkin lain kali."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Art of Letting GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang